Opini  

Warga Lelilef Butuh Edukasi Tentang Lingkungan

Oleh: Raihun Anhar, S.Pd
Pemerhati Umat & Lingkungan

___

JIKA sebelumnya sudah disampaikan masalah krisis air bersih dan lingkungan Lelilef Waibulan yang memprihatinkan. Sekarang kita bahas soal lingkungan setelah Desa Lelilef Waibulan menjalankan tugas untuk menjaga lingkungan yang diberi nama Laskar Sampah. Laskar Sampah dibentuk pada tanggal 15 Agustus 2023. Namun, lucunya saat di-launching itu bukan sosialisasi terkait masalah lingkungan melainkan saling menyalahkan antara Kades kepada Pj Bupati yang waktu itu diwakilkan oleh mantan Camat Weda Tengah (Pak Hakamil). Pak Hakamil juga balik menyalahkan kades mengenai tata kelola ruang. Lucu kan?

Alhamdulillah sejak Agustus hingga kini, Laskar Sampah telah menjalankan tugasnya dengan baik yaitu mengangkat sampah. Akan tetapi, karena tidak ada edukasi kepada masyarakat, walhasil masih ada yang buang sampah plastik ke pantai. Hal itu saya buktikan langsung di September lalu, saya jalan-jalan ke pantai saat air surut. Banyak sampah plastik yang saya temukan, waktu itu niatnya liat pemandangan tetapi yang dapat malah sampah. Saya kumpul dapat sekantong kresek besar karena hanya satu kantong yang saya dapat. Mengingat saya tidak berniat awalnya untuk membersihkan. Itu kantong saya dapat di pantai juga.

Ada juga salah seorang warga yang kaget saat lagi santai menikmati suasana di pesisir tiba-tiba ada yang mengagetkannya yaitu lemparan sampah plastik ke pantai. Ini sungguh sikap yang merusak tetapi dia seperti tidak merasa bersalah. Lagi-lagi kembali ke kesalahan Pemdes yang tidak mengedukasi dengan baik agar masyarakat sadar dan peduli lingkungan. Oleh sebab itu, dibutuhkan edukasi terkait lingkungan yang makin prihatin. Untuk itu, inilah sedikit ilmu yang bisa dibagi semoga kita sadar dan mau menjaga lingkungan.

Klasifikasi Sampah Berdasarkan Jenisnya

Sampah dibagi menjadi tiga macam, pertama sampah organik seperti sisa makanan dan dedaunan. Sampah ini bisa hancur dengan sendirinya. Bisa juga dimanfaatkan menjadi kompos.

Kedua, sampah non organik seperti plastik dengan segala jenisnya. Sampah jenis ini butuh pengelolaan khusus seperti membuat hiasan dinding, aksesoris dan karya lain yang bermanfaat. Bahkan lebih baik bila plastik dikelola karena hancurnya lama yakni sekitar 50-100 tahunan.

Ketiga, sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) contohnya seperti pecahan lampu neon yang mengandung merkuri, jarum suntik, limbah B3 dan bahan-bahan yang mengandung zat beracun lainnya. Sampah jenis ini juga mesti diperhatikan. Bahaya dan racun yang ada padanya bisa menimbulkan sakit dan bisa juga merusak lingkungan.

Untuk limbah hasil pengelolaan nikel, cara pengelolaannya kami diajarkan waktu Prakerin (Praktek Kerja Industri) di PT Weda Bay Nikel/WBN 2015. Di sana kamu diajarkan dan diperlihat bagaimana pengelolaan limbah B3. Cara yang dipakai dibuat sedimen pont seperti kolam dan nantinya diuji konsentrasi zat beracun di dalam air tersebut. Waktu itu mereka mengujinya dengan memelihara ikan, jika ikannya bisa hidup menandakan bahwa sudah tidak ada lagi zat beracun.

Sampah B3 ini juga bisa dikelola namun akan menyulitkan jika limbah B3 itu besar jumlahnya. Walhasil akan sangat mempengaruhi lingkungan sekitar. Terlebih lagi Lelilef sudah menjadi daerah industri yang dikelilingi oleh perusahaan tambang. Jika dulu WBN bisa mengelola limbah B3 dengan mudah, tentu berbeda dengan hari ini yang sudah dibangun smelter. Tentu limbahnya juga makin banyak. Cara pengelolaannya juga akan lebih sulit karena membutuhkan wadah yang lebih besar untuk menampung limbah tersebut.

Dari ketiganya yang terbanyak dan meresahkan adalah plastik dan B3. Dalam aktivitas sehari-hari kita tidak lepas dari penggunaan plastik. Begitupun setiap hari PT IWIP senantiasa produksi nikel yang tentu jumlah limbahnya lebih banyak dari WBN dulu. Maka dibutuhkannya edukasi agar masyarakat sadar dan peduli pada lingkungannya. Serta mencari solusi atas lingkungan hidup yang telah tercemar.

Solusi yang bisa kita lakukan untuk penanganan sampah plastik saat ini adalah mengurangi penggunaan plastik (less west) seperti kantong plastik. Dengan usahakan saat belanja menggunakan paper bag atau tas rajut untuk mengisi belanjaan. Jika belanja ke pasar bisa bawa keranjang. Hal ini pernah dicontohkan oleh seorang dosen di Surabaya dalam video YouTube-nya Hijab Alila beberapa tahun lalu. Less west adalah solusi sementara dalam menjaga lingkungan terhadap sampah plastik. Juga pernah disuarakan oleh artis-artis dan ulama-ulama di Indonesia dalam Barisan Bangun Negeri (BBN). Ini solusi hanya untuk sampah plastik sedangkan sampah/limbah B3 belum.

Solusi Tepat Masalah Sampah di Lelilef

Solusi sementara soal sampah plastik adalah less west. Untuk sampah organik dan B3 tetaplah buang di TPA melalui Laskar Sampah (petugas kebersihan desa). Dengan tidak mencampurkan sampah melainkan dipisah sesuai klasifikasinya. Agar warga paham, dibutuhnya sosialisasi tentang lingkungan. Bukan hanya sekali, melainkan berulang kali. Terlebih lagi kita hidup di desa lingkar tambang yang tentu mendapat masalah lingkungan yang lebih parah dari industri pertambangan.

Setelah sosialisasi dibuatkan juga peraturan yang membahas soal sanksi agar tidak ada lagi yang membuang sampah plastik di pantai. Juga harus diadakan pembersihan besar-besaran di darat dan juga pantai. Sudah banyak sekali sampah plastik di pesisir pantai Lelilef. Baik Desa Lelilef Waibulan maupun Lelilef Sawai. Dapat disimpulkan bahwa warga butuh edukasi lingkungan agar kita paham tugas kita untuk menjaganya. Serta bergerak untuk menyelamatkan lingkungan kita.

Solusi yang lebih tepat lagi adalah mengusir kapitalis (perusahaan-perusahaan) tambang yang ada. Ini adalah solusi mengatasi sampah/limbah B3. Dari mereka hutan menjadi gersang karena dibangunnya smelter. Serta debu dan polusi yang dirasakan warga Lelilef. Namun, itu tidak bisa dilakukan oleh desa melainkan harus negara. Akan tetapi, negara ini telah memberikan peluang masuknya investor melalui UU penanaman modal. Jadi tidak mungkin mereka mengusir karena ada keuntungan yang didapat dari investor yang menggiurkan.

Jika negara membiarkan investor masuk baik itu investor di bidang pertambangan dan industri plastik. Maka kita butuh negara yang memiliki cinta pada lingkungan. Bukan hanya sekadar mengatakan cinta lingkungan, tetapi ia juga membuktikannya. Negara itu bukan demokrasi, melainkan Khilafah. Mengapa harus Khilafah?

Jawabannya karena Khilafah tidak mengizinkan harta umat dikelola investor. Sehingga tidak ada industri yang merusak lingkungan seperti pertambangan hari ini dan industri plastik. Walaupun ada tidak akan merusak alam separah hari ini. Dengan demikian lingkungan akan terjaga. Namun, tidak lepas untuk terus mengedukasi masyarakat tentang lingkungan agar tercipta kehidupan yang terbaik dan diridhai Allah SWT. Islam memerintahkan kita menjaga lingkungan dengan ketaatan kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman.” (TQS. Al Araf ayat 85).

Sudah cukup lingkungan desa ini rusak oleh ulah kita. Marilah kita memperbaikinya sebagai bentuk pertanggungjawaban kita terhadap lingkungan. Juga untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik. Wallahualam bishawab. (*)