Opini  

Solusi Ekonomi atau Bencana Lingkungan Lagi di Pulau Gebe

Oleh: Sahawia Firdaus
Mahasiswi Pendidikan Kimia Unkhair

___

“Bisa jadi, warna lautnya akan sama dengan dengan warna senja”.

PULAU Gebe adalah salah satu pulau kecil dengan status kecamatan di Kabupaten Halmahera Tengah. Terletak di ujung kaki Halmahera bagian Tenggara dengan luas 223,83 km² dan diapit dua pulau kecil di bagian Utara dan Selatan yakni Pulau Yoi dan Pulau Fau. Pulau Gebe memiliki delapan desa yaitu Desa Elfanun, Kapaleo, Kacepi, Yam, Mamin, Sanaf Kacepo, Umera dan Umyal. Secara Geografis terletak tepat di garis khatulistiwa pada 0⁰.

Kecil-kecil tapi ada isinya, itulah Pulau Gebe. Gebe yang tata letaknya di Tenggara Halmahera yang berderet dengan Halmahera lainnya di sana terdapat banyak deposit kekayaan alam. Kita tahu sendiri kandungan di Kepulauan Halmahera yaitu kandungan batuan ultra basa atau mineral-mineral berat seperti timah, silika, magnesium, besi, krom dan nikel. Sebab, letak Kepulauan Halmahera diapit oleh 3 lempeng yakni Indo-australia, Samudera Pasifik, dan Eurasia yang merupakan lempeng benua. Sehingga menurut para ahli, dari lempeng Samudera Pasifik inilah kemudian naiknya bahan-bahan ultra basa di daerah Indonesia Timur. Kandungan ultra basa itulah membuat Indonesia menjadi tempat sebaran cadangan nikel paling banyak didunia seperti di Halmahera, Pulau Obi sebagian di kepala burung Papua, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Sebelum dibukanya lahan pertambangan, mata pencaharian masyarakat pada umumnya termasuk di Pulau Gebe adalah nelayan dan bertani. Hasil komoditas pertanian dan nelayan berupa pala, cengkih, kelapa, ikan tuna, ikan cakalang, ikan julung, ikan teri, ikan nila, ikan merah dan ikan ekor kuning. Tapi sejak dibukanya lahan pertambangan semakin jauhlah mencari ikan ke laut.

Keuntungan atau Kebuntungan

Perusahaan yang masuk yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Antam yang mengeksploitasi nikel sejak tahun 1977 sampai di tahun 2005 yang banyak mengubah ekonomi masyarakat sebagai berkah keuntungan. Akhirnya membuat masyarakat semakin bergantung apalagi dilengkapi dengan fasilitas seperti bandara, perumahan karyawan, dermaga, lapangan golf, perkantoran, sekolah, pembangkit listrik , gedung pertemuan, dan koperasi.  Tapi, jika ada sisi baik tetap ada sisi negatif seperti rusaknya ekosistem karang dan menghilangkan mata pencaharian nelayan yang akhirnya membuat ketergantungan yang tinggi secara ekonomi sebagai pekerja tambang.

Tapi setelah berpamitan pada tahun 2005, masyarakat dibuat gelisah akibat dari ketergantungan tersebut. Sehingga tidak berselang lama atas permintaan masyarakat banyak perusahaan  yang datang silih berganti mengeksploitasi Pulau Gebe. Sebut saja PT Gebe Karya Mandiri (GKM), PT Fajar Lintas Nusantara (FBLN) dan sembilan Izin Usaha Pertambangan (IUP) lainnya yang seharusnya menjawab ekspektasi masyarakat akan kondisi ekonomi yang sudah mereka gantungkan malah kini menjadi bumerang.

Dampak yang dihasilkan juga sama dengan  yang ditinggalkan oleh perusahaan sebelumnya berupa debu lebat akibat lewatnya alat-alat berat di area pemukiman. Selain di darat, laut juga mengalami kerusakan seperti rusaknya  terumbu karang yang disaksikan langsung oleh masyarakat yang kemudian dibuktikan oleh Wahab Hasyim dari Fakultas Ekonomi Universitas Khairun, melalui disertasinya yang berjudul Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Tanpa Tambang Nikel Studi di Pulau Gebe, Maluku Utara, yang menemukan adanya kerusakan lingkungan serius di beberapa ekosistem. Inilah jejak dan dampak yang ditinggalkan.

Pulau Pelindung yang Disasar

Setelah pulau utama yang menjadi daerah sebaran tambang. Pulau kecil yang terletak tepat di depan dermaga yaitu Pulau Fau menjadi target pembongkaran pertambangan, karena menurut info telah mendapat izin usaha pertambangan oleh PT Aneka Niaga Prima (ANP). Terlihat sejumlah alat berat telah diangkut yang hendak diturunkan di Pulau Fau. Pulau kecil dengan luas sekitar 9 km² yang memiliki letak strategis sebagai pelindung utama angin selatan di beberapa desa di Pulau Gebe, seperti Desa Elfanun, Desa Kacepi, Desa Yam dan Desa Mamin.

Padahal berdasarkan Peraturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri tidak boleh adanya penambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Tapi sayang, jika berkaca dari beberapa pulau kecil yang telah dieksploitasi seperti Pulau Pakal dan Pulau Mabuli di Halmahera Timur, ternyata terkelupas dan berwarna merah setelah dibuka oleh PT Antam pada tahun 2006 setelah pindah dari Pulau Gebe. Bisa jadi, warna lautnya mirip dengan warna senja di sore hari. Tidak jauh berbeda dengan pulau kecil di bagian Sulawesi Tenggara Pulau Wawonii  yang dibuka oleh PT Virtue Dragon yang memberikan dampak lingkungan berupa asap tebal dan debu serta pencemaran daerah pesisir. Akibatnya banyak nelayan dan penambak yang kehilangan mata pencaharian karena diiming-imingkan pekerjaan yang lebih terpandang, padahal bisa saja penghasilannya lebih besar saat jadi nelayan.

Kapitalisme dan Solusi Paradoksnya

Solusi  yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme hari ini, yakni setelah terjadi perubahan iklim yakni beralih menjadi energi hijau sebagai penanganan atas masalah lingkungan. Tapi kalau dilihat energi hijau memang menjadi solusi dan menghijaukan beberapa kota di dunia, tapi memerahkan wilayah lain karena aktivitas pertambangan.

Jika dilihat secara definisi ekonomi hijau sendiri menurut (Nugroho, 2022) adalah upaya menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan dan mendukung pengurangan emisi karbon. Dalam menanggulangi climate change  berbagai kebijakan konferensi dilakukan. Salah satunya adalah momentum Presidensi G20. Indonesia melalui Menkeu unjuk gigi dalam membiayai rendah karbon dan mengundang investasi pada energi baru dan terbarukan. Indonesia juga berkomitmen akan menyusun mekanisme transisi energi untuk mengakselerasi sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan.

Sehingga sebagai respons pemerintah muncullah Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang sebagai percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan. Untuk menjalankan Perpress Nomor 55 Tahun 2019, harus adanya ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum yang memadai.

Bahan utama baku kendaraan listrik adalah nikel, sehingga bisa dinilai kebijakan ini nampak paradoks. Karena setiap kebijakan dengan tujuan ramah lingkungan, hanya menghijau di kota-kota tertentu dengan penggunaan kendaraan listrik dan memerahkan wilayah  yang ditambang. Apalagi masyarakat yang hidup di wilayah itu ikut merasakan dampak secara langsung. Wilayahnya porak-poranda dan terkelupas akibat lahan-lahan yang ditambang.

Semua ini tidak lepas  akibat adanya hadiah paket 1967 tentang Undang-undang penanaman modal yang akhirnya mengeksploitasi kehutanan untuk dijadikan daerah pertambangan secara legal. Apalagi jika dilihat perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia bukanlah milik negara, tapi lebih didominasi oleh negara besar seperti Cina. Sehingga kebijakan hilirisasi bijih nikel sebenarnya untuk kepentingan siapa, kalau bukan para pemilik modal seperti Cina. Inilah buah dari sistem kapitalisasi demokrasi yang menjamin kebebasan kepemilikan Pertambangan.

Akibatnya negara mengalami kebuntungan bukan keuntungan. Karena berdasarkan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pendapatan negara dari perusahaan pertambangan berupa royalti atau iuran produksi hanya sebanyak 10 %. Dan di perusahaan smelter royalti 5% dari harga jual pig iron. Belum lagi kerusakan lingkungan,  sumber daya alam yang dirampas dan juga semakin tingginya angka kemiskinan dan kebodohan.

Tambang dan Solusi Islam

Secara permukaan, orang akan menganggap Islam hanya membahas masalah spritual. Padahal jika diselami lebih dari pada itu yakni mencakup dimensi vertikal yang menyangkut hajat hidup matinya manusia. Begitu juga dengan pertambangan. Sebab, Islam memiliki konsepsi dan kekayaan khasanah ilmu yang menjadikan visi misi untuk menyelesaikan masalah energi. Dalam Islam terdapat pilar ekonomi yang terdiri dari aspek kepemilikan, pengembangan dan distribusi.

Islam memperhatikan kerangka ekonomi politik, dan peran negara dalam meletakkan energi untuk kepentingan rakyatnya, bukan segelintir orang sebagaimana kapitalisme hari ini. Akibatnya terjadilah kebijakan privatisasi, padahal ini merupakan tindakan kezaliman dan keharaman. Apalagi dikuasai oleh asing, kebijakan ini sangat mutlak dilarang di dalam Islam.

Sebab, dalam Islam tanah yang ditambang adalah sumber pendapatan yang keuntungannya harus dikembalikan pada rakyat, sehingga perlu adanya pengaturan secara politik Islam. Pasti dianggap bahwa politik itu kotor jangan disamakan dengan Islam, sehingga dijauhkan aktivitas politik dengan Islam. Padahal dalam bahasa arab, politik dikenal dengan sebutan siyasah  yang berasal dari kata Sasa, yasusu,siyasatan yang maknanya adalah mengatur urusan umat. Ini sejalan yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa politik adalah pengaturan urusan umat di dalam dan di luar negeri.

Karena Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Maka Islam sebagai agama mengamanahkan pada pemimpin sebagai junnah (penjaga) dan rain (tameng) untuk melindungi kepentingan rakyat sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Pemimpin yang diamanahkan juga bertanggung jawab memberikan pekerjaan yang layak kepada rakyat. Sebagaimana di dalam hadis lain disebutkan:” Imam atau Khalifah adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.”(HR Muslim ).

Kebijakan dalam negara Islam akan menghindari liberalisasi investasi yang memberikan mudharat pada rakyat dan negara. Negara tidak akan memberikan karpet merah pada negara-negara asing untuk masuk mengelola negeri-negeri Islam untuk memenuhi visi misi energinya.

Dengan demikian, penerapan syariat Islam akan menjamin kekayaan SDA yang terkandung dalam bumi berupa bahan tambang, gas bumi, minyak bumi, sektor perikanan, hutan akan dinikmati oleh rakyat dan secara luas akan memberikan keberkahan pada seluruh aspek kehidupan individu, masyarakat dan negara. (*)