Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Partai Perindo nomor urut 03
HEGEMONI merupakan pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan lain sebagainya atas suatu ideologi kekuasaan terhadap kelompok lainnya. Kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu eugemonia. Seperti dilansir dari Encyclopedia Britannica, hegemoni di Yunani menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota secara individual contoh misalnya Athena dan Sparta yang mendominasi negara-negara lainnya.
Hegemoni dalam teori Antonio Gramsci, menjelaskan bahwa hegemoni adalah adanya suatu kelas menjalankan kekuasaannya terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan kekerasan dan persuasi. Maka dari itu, hegemoni bukan saja tentang dominasi yang menggunakan kekuasaan, tetapi ada hubungan konsensus (persetujuan) dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi.
Merujuk pada pengertian tersebut, maka konsep hegemoni mengacu pada pengetahuan, kepemimpinan, ideologi yang dilakukan secara terselubung, pembiasaan dan dengan pemaksaan secara halus ke dalam kesadaran tanpa disadari kelompok masyarakat lainnya oleh ideologi kekuasaan tertentu. Jean Baudillard mengatakan hegemoni adalah tingkatan lebih lanjut dari dominasi. Dominasi lebih pada soal fisik, sedangkan hegemoni lebih pada taraf ideologi.
Saya menggunakan konsep hegemoni untuk mendialogkan dinamika perpolitikan—dalam hal ini permainan politik yang digunakan oleh politisi yang tergolong kaum tua untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka bahkan seringkali menggunakan instrument tertentu dalam menghambat manuver kaum di panggung kekuasaan.
Instrument yang sangat sering digunakan oleh kaum tua adalah, relasi kuasa dan politik saudagar atau patron-klien yang memiliki basis ideologi ekonomi untuk mempertahankan status kekuasaannya. Kenyataan ini dapat kita mencermatinya dalam system kepartaian terkait kekuasaan suatu partai terhadap partai lainnya yang di dalamnya didominasi oleh politisi tua.
Dalam suatu negara demokrasi, partai politik pemenang pemilu akan menguasai lembaga-lembaga pemerintah dan menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi opini publik demi untuk mempertahankan kekuasaannya, kebanyakan dari mereka didominasi oleh kaum tua. Hasil investigasi Litbang KOMPAS pada tahun 2019 menunjukkan, dapil dengan calon legislatif wajah lama (kaum tua) terbanyak terdapat pada lima wilayah dan salah satunya adalah Maluku Utara, dikutip laman kompas.id.
Laksono H. Wibowo melalui sebuah artikelnya yang diterbitkan harian KOMPAS (2015) menjelaskan, jagat politik Indonesia didominasi oleh para politisi berusia di atas 60 tahun—bahkan banyak yang sudah lebih mendekat 70 tahun. Mereka yang masih bersedia menjadi pemimpin puncak partai dalam usia yang sudah akhir 60-an tahun dalam bahasa lebih sopan disebut sebagai “politisi senior”. Namun, dalam istilah sedikit peyoratif—meminjam ungkapan yang lazim dalam politik Amerika Serikat—mereka aging politicians, politisi lanjut usia atau politisi yang sudah makan umur.
Dalam kancah ilmu politik, terminology lebih umum digunakan adalah gerontokrasi. Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang kian didominasi politisi tua dengan perilaku politik patronizing. Dampak gerontokrasi terhadap politik adalah terhalangnya mobilitas vertikal politik politisi generasi lebih muda. Sehingga menurut Al-Ghazali, mayoritas anak muda mengalami marginalisasi peran yang dahsyat dalam konstelasi pembangunan politik. Hal ini dikarenakan kekuatan praktek politik patronizing atau patron-klien.
Politik Patron Klien
Hubungan patron-klien menurut James C. Scott adalah hubungan pertukaran antara peran dapat didefinisikan sebagai kasus khusus ikatan diadik (dua orang) yang melibatkan persahabatan yang sebagian besar bersifat instrumental. Di mana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya sendiri untuk memberikan perlindungan atau manfaat, atau keduanya, bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien) yang, pada gilirannya, membalas dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk layanan pribadi, kepada patron.
Patron-klien merujuk pada fakta mengenai suatu hubungan atas sistem patron-klien dalam kehidupan masyarakat. Teori ini sudah sangat tua, setua politisi sudah termakan usia yang selalu berkeinginan kuat menancapkan tarung kekuasaannya—sehingga selalu diulang-ulang kegunaannya untuk merawat relasi saling menguntungkan.
Kenyataan mengenai hubungan patron-klien dalam dimensi politik bukan suatu hal baru dan merupakan satu dari sekian instrument yang sering digunakan oleh politisi tua di lingkaran legislatif untuk mempertahankan status kekuasaan. Ketika mencalon diri menjadi legislatif dan menduduki kursi kekuasaan mereka jarang sekali memikirkan nasib rakyat—apalagi generasi penerusnya. Yang adalah haus akan kekuasan dan kemapanan sekalipun tidak lagi produktif.
Politik patron-klien merupakan hubungan relasi kuasa, dalam artian meraih dan mempertahankan kekuasan dan status ekonomi. Para politisi tua (patron) ataupun rekan bisnis (klien) menganggap hubungan antara mereka sebagai personal, mirip dengan hubungan dalam keluarga. Namun, berbeda dengan keluarga yang tanpa pamrih, hubungan dalam sistem politisi dan rekan bisnis berpamrih atau ada kepentingannya.
Sebab itu hubungannya tidak permanen, hanya ada selama komoditas yang dipertukarkan antar kedua pihak mengalir lancar dan menguntungkan. Juga, terjadi semacam pembaruan “kontrak” baik yang diajukan oleh politisi sebagai patron dan rekan bisnis sebagai klien seputar komoditas yang dipertukarkan tersebut.
Rekan bisnis pada umumnya menyerahkan kerja, pendapatan, suara, kepatuhan politik, dan dukungan bagi politisi, agar patron dapat terus memelihara jabatan dan kekuasaannya. Sebagai imbal-balik, rekan bisnis memperoleh perlindungan, akses informasi maupun sumber daya, identitas kelompok, dan kesempatan meraih kemajuan pribadi.
Apabila ditelusuri secara teliti banyak alur kekuasaan baik dalam system kepartaian maupun politisi tua yang menduduki legislatif selalu saja tak abai mengeroperasi politik transaksi patron-klien pada setiap momentum politik. Contoh misalnya, pada saat pemilu tim sukses seorang tokoh politik bekerja mati-matian dengan bayaran mahal demi patronnya hingga menduduki kursi kekuasaan dan sumber dananya biasanya berasal dari klien bisnisnya.
Setelah patronnya menduduki jabatan publik, klien akan diberi posisi sebagai staf ahli, juru bicara, diberikan proyek dan mengatur regulasi ekonomi melalui lobi oleh klien bisnisnya yang disebut pemburu rente (baca: investasi simbolik). Ini tentu saja banyak terjadi dan bukan rahasia umum. Pola hubungan timbal-balik yang terus-menerus membuat ikatan patron-klien menjadi solid. Bahkan kerap terjalin sikap saling percaya dan emosi antara mereka.
Pada saat klien membutuhkan pinjaman atau bantuan orang tatkala berurusan dengan pemerintah, maka ia tahu bahwa patronnya menduduki jabatan publik yang dapat diandalkan. Patron juga tahu bahwa sebagai imbalan, klien atau “orangnya itu” kelak akan membantunya apa yang ia rencanakan di masa mendatang yaitu mempertahan kursi kekuasaan di ranah legislatif misalnya.
Hubungan patron-klien ini seperti yang saya singgung sebelumnya di atas, merupakan hambatan terbesar bagi politisi muda melakukan manuver dalam memenangkan pertarungan politik. Sekalipun politisi muda yang memiliki watak progres, gagasan tentang kemajuan dan pembangunan berkeadilan—politik gagasan. Tetapi mereka selalu saja kalah saingan dikarenakan tidak didukung dengan ekonomi finansial yang kuat seperti halnya politisi tua—yang memiliki basis kekuasaan, dukungan ideologi partai dan relasi bisnis kuat sebagai alat hegemoni.
Di sini dapat dipahami bahwa praktek politik patron-klien merupakan hambatan sekaligus tantangan bagi politisi muda dan lebih jauhnya menjadi ancaman tatanan demokrasi. System demokrasi tentu akan berjalan baik apabila politik patron-klien, relasi bisnis, politik saudagar, transaksi ditinggalkan. Caranya adalah mereproduksi politik gagasan dan menyentuh alas kesadaran masyarakat bawah oleh politisi muda yang benar-benar progresif dan militansinya telah teruji. Hingga pada level menggerakkan perubahan sikap dan perilaku yang disebut partisipasi mobilisasi masyarakat.
Hal tersebut bisa saja terjadi jika ada penyadartahuan bahwa politik patron klien nyatanya menguntungkan pejabat dan rekan bisnisnya. Begitu juga politik uang yang tentunya akan berefek pada merusaknya moral masyarakat serta menyabotase roda pembangunan. Sebab corak politik patron-klien adalah salah satu bentuk korupsi dalam hubungan kekuasan politik.
Hubungan tersebut biasanya terjadi ketika elite politik yang memiliki otoritas kekuasaan atau posisi politik mengeksploitasi simpatisan atau warga dengan janji-janji demi “dipertukarkan” dengan dukungan materi dan loyalitas politik pragmatis. Di sini dapat dikatakan politik patron-klien merupakan politik barbarisme, watak kolonialisme yang terus-menerus dipraktikkan politisi tua yang tak mempertimbangkan masa depan banyak orang.
Pada titik inilah politisi muda ditantang sekaligus diuji integritasnya. Apakah mengikuti jejak aging politicians (politisi makan usia) ataukah mendekonsktruksi logika politik konvensional dan menciptakan pemimpin atau pejabat publik yang sunguh-sungguh lahir dari rahim masyarakat karena aktivitas praktisnya yang disebut Gramsci sebagai intelektual organik. (*)