Opini  

Prostitusi Politik

Oleh: Bachtar S. Malawat

___

APHROMDITE Pandemos perempuan yang diabadikan dalam cerita masyarakat Athena Yunani kuno kala itu sebagai dewi kenikmatan seksual dalam budaya prostitusi klasik. Prostitusi sendiri kali pertama lahir pada 2400 sebagai pekerjaan tertua di muka bumi, dimana para perempuan dibagi dalam tiga kelas, kelas pertama adalah perempuan yang hanya diizinkan melakukan ritual hubungan seks dengan para pria, sementara kelas kedua hanya melayani pengunjung, dan kelas ketiga hanya untuk orang-ornag yang tinggal di dalam kuil tersebut. Prostitusi dianggap sebagai pekerjaan spritual dalam konteks memuaskan nafsu laki-laki untuk cinta dan kasih sayangnya terhadap dewi kehidupan yang diyakini masyarakat Yunani kuno kala itu.

Prostitusi dianggap sebagai pekerjaan mulia yang menghubungkan diri mereka kepada dewa dan dewi. Pekerjaan ini melibatkan perempuan yang rela secara batin bahwa diri mereka dijual dan ditukar dengan apa yang diberikan laki-laki untuk semata-mata mendapatkan imbalan kasih sang dewa atau dewi. Dalam prostitusi modern, kita kenal dengan istilah pelacur, tradisi ini bukan pada budaya spritual, melainkan untuk kebutuhan tertentu. Supratiknya (1995) menyatakan bahwa prostitusi atau pelacur adalah layanan hubungan seks demi imbalan uang.

Dewasa ini, kata “Prostitusi” (Pelacur) tidak hanya disematkan untuk kaum perempuan semata, hal ini biasa saja terjadi di semua kalangan manusia yang terjerat kepentingan individu dalam mencapai suatu keinginan tertentu. Dalam berdemokrasi, orang menggunakan politik sebagai media untuk memenuhi semua kebutuhan yang diinginkan, hal ini didasari pada patron kekuasaan yang terdoktrin bahwa kekuasaanlah yang mampu memberikan segala-galanya.

Politik seakan-akan menjadi investasi bagi kalangan tertentu dengan memperkosa prinsip dasar demokrasi bahwa semua yang berasal dari rakyat akan kembali kepada rakyat. Sejatinya politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia, Robert (1997). Agar bisa melahap sesuap jabatan yang ada dalam parlemen, orang-orang akan dengan berbagai cara melakukan hal dengan sadar menjual diri demi kebutuhannya. Porne yang artinya menjual diri dalam bahasa Yunani. Istilah Porne sendiri tidak hanya melekat pada diri perempuan pelacur, hal ini bisa saja terjadi pada diri setiap manusia. Apalagi dalam konteks politik, orang akan rela menjual apa saja termasuk Agama, Idealisme, Suku, Ras dan bahkan diri mereka semata-mata untuk kepentingan tertentu. Budaya menjual diri dalam tubuh politik sendiri adalah upaya untuk mendapatkan kepercayaan guna menduduki tahta dengan dalil kesejahteraan.

Dalam memperoleh sesuatu yang dikehendaki, momentum pesta demokrasi 2024 sudah terlihat aktor politisi beradu gaya memuja rakyat berdalil sejahtera berkedok agama, idealis, disertai janji-janji manis. Kita akan menyadari betapa buruknya tradisi politik Indonesia yang berlandaskan pada gila kekuasaan bermental penjilat. Jika prostitusi ialah praktik menjual diri demi kebutuhannya, maka politisi telah banyak berprostitusi. Hari ini kita saksikan calon politisi yang menjual diri dengan meyakinkan pada masyarakat terkait perubahan dan lain sebagainya. Apalagi ada yang mencari kawan dan orang lain demi memuaskan hasratnya dan menebalkan isi dompet pribadinya mereka meskipun dengan cara yang haram sekalipun.

Orang yang mempraktekkan hal demikian tidak akan malu untuk datang ke pihak atau partai politik manapun dan menawarkan dirinya agar diusung sebagai calon. Perilaku seperti ini tak bedanya dengan yang dilakukan oleh Pelacur atau para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang mana mereka menawarkan semua orang untuk ditiduri demi melampiaskan keinginannya. Akan jauh lebih bahaya lagi jika mereka dengan kapasitas yang lemah, kemampuan yang terbatas, pengetahuan serta pengalaman yang tidak ada namun diberikan kepercayaan oleh partai untuk ikut bertarung, fenomena ini kita kenal dengan prostitusi dalam tubuh politik. (*)