Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Partai Perindo Nomor Urut 03
___
PERUBAHAN demi perubahan yang terjadi di masyarakat global maupun Indonesia dipastikan melibatkan kaum muda sebagai pelaku utama, Widhyharto & Adiputra, dalam Derajad S. Widhyharto (2014). Kaum muda lahir dan berkembang dari masyarakat yang sedang menghadapi berbagai persoalan, mereka muncul bukan karena hasil penunjukkan, tetapi muncul dari kekuatan pribadi dan integritas moralnya yang kuat.
Mengapa harus kaum muda, bukan pemuda, generasi muda atau istilah yang lain. Kaum muda dianggap mewakili subjek otonom (mampu mengambil keputusan dan melakukannya sendiri maupun bersama), kemudian juga mewakili nilai dan budaya (pencipta maupun peraga nilai-budaya itu sendiri). Merespons definisi tersebut kemudian kaum muda mempunyai irisan dengan berbagai isu perubahan, kaum muda menghadapi pertarungan nilai sosial, ekonomi, budaya dan politik (Derajad S. Widhyharto, 2012).
Eksistensi kaum muda sebagai agen perubahan hadir untuk menjawab problem yang dapat menghambat arus kemajuan. Misalnya peran politik kaum muda pra kemerdekaan yang begitu menonjol yaitu Hatta, Soekarno, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Sukiman, Natsir dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh muda yang muncul karena prestasi intelektual yang telah teruji melalui gerakan sosial dan politik.
Eksistensi mereka bukan tanpa gagasan—gagasan mereka berangkat dari kenyataan dan untuk misi tentang masyarakat yang adil dan makmur. Misalnya, Tan Malaka, Hatta, Soekarno mereka tampil dengan gagasan brilian dan sangat progresif. Bahkan hingga hari inipun mereka masih terus hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia maupun dunia. Pramoedya Ananta Toer menulis: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Mereka adalah kategori intelektual organik ala Gramsci karena aktivisme politik dan intelektualnya.
Tak sebatas itu, mereka pun mengambil posisi karena reputasi politik sehingga dapat mempengaruhi dan menentukan arah pembangunan bangsa diletakkan. Seperti misalnya pasca kemerdekaan akhir 1940-an Syahrir menjadi Perdana Menteri. Bahkan dalam beberapa periode, pengaruh kelompok Syahrir dalam politik Indonesia sangat menonjol dan berperan penting dalam proses pengambilan kebijakan pada periode awal kemerdekaan.
Kelompok Hatta, Soekarno dan Natsir pun memiliki pengaruh pada periode 1950-an, kecuali Hatta yang karena alasan-alasan moralitas dan etika politik, mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada dekade 1950-an akibat silang pendapat dengan Soekarno yang sudah semakin otoriter (Syarifuddin Jurdi, 2012). Inilah yang disebut oleh Harold Laswell sebagai sekelompok kecil yang memperoleh sebagian besar dari nilai apa saja, mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik (ibid, 2012).
Karier politik mereka berbasis pada fakta prestasi intelektual dan politik gagasan yang sejatinya lahir dari hasil perjuangan mereka bersama rakyat yang menuntut tentang keadilan. Tradisi ini nyaris hilang, tidak ditemukan pada politisi, pejabat publik kekinian—yang ada justru tradisi hedonis-pragmatis sehingga jauh dari substansi demokrasi sebagai media pemenuhan hak-hak warga negara tanpa melihat perbedaan kelas atau status sosial.
Moralitas dan Politik Kaum Muda
Sebelum mengulas lebih jauh kita perlu mempertanyakan eksistensi kaum muda kekinian di dunia perpolitik yang menurut hemat saya justru semakin mengalami kemunduran baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tantangan seperti apakah yang dihadapi dan perlu dibenahi oleh kaum muda? Bagaimana semestinya kaum muda berkiprah dalam politik? Etika atau moralitas politik seperti apa yang dijadikan modal perpolitikan?
Masalah besar yang dihadapi politisi muda dalam manuver di panggung politik sekarang ini adalah: pertama, politik dinasti. Sekalipun system pemilihan pemimpin atau pejabat publik menggunakan prinsip-prinsip demokrasi, akan tetapi praktek politik kita masih berkutat dengan apa yang disebut dinasti politik. Cukup banyak fakta yang dapat kita amati dimana untuk mempertahankan kekuasaan, politisi makan usia menggunakan system dinasti politik dan harapan besar mereka adalah kekuasaannya dapat diwariskan kepada keturunan atau keluarga.
Kedua, citra politik yang buruk atau istilah “politik itu kotor”. Istilah “politik itu kotor” adalah akibat dari praktek politik konvensional (menjalankan dan mempertahankan kekuasaan), pembelian suara dan kasus korupsi serta perilaku buruk para politisi membuat kaum muda yang progres pun enggan terjun di dunia politik. Ketiga, hegemoni politisi makan usia yang cenderung mempertahankan kursi kekuasaan (baca: Hegemoni Kaum Tua). Politik gagasan tak dianggap relevan oleh mereka—sekalipun retorika demokrasi terasa subur di pentas politik, akan tetapi dibalik itu politik patron-klien dan dinasti politik bergerak liar seperti jaring spider man.
Ketiga persoalan tersebut merupakan tantangan untuk menguji politisi muda yang bermodalkan semangat intelektual dan integritas dalam memperjuangkan politik gagasan sebagai agenda menuju masyarakat adil dan sejahtera. Inilah sesungguhnya kiprah politik politisi muda dalam panggung demokrasi, yakni meletakkan fondasi politik gagasan yang berpijak pada proses dialognya dengan kondisi hidup masyarakat yang semakin terbelenggu. Dan tentu gagasan politik ini menitikberatkan pada politik moral yang disebut teman abadi sebagaimana telah diulas dalam artikel saya sebelumnya bertajuk: “Investasi Politik”.
Antonio Gramsci adalah seorang intelektual yang hidup pada situasi dengan hegemoni negara kuat dengan kebangkitan fasisme reaksioner mengajukan gagasan politik cemerlang dalam kaitannya dengan system politik demokrasi dalam bias hegemoni negara. Dalam konteks tersebut, negara dengan hegemoninya tidak mengabdi pada pemenuhan kebutuhan seluruh masyarakat tapi hanya melayani kepentingan kelas-kelas sosial tertentu (Franz Magnis Suseno, 1992).
Atas dasar ini sehingga menurut Antonio Gramsci, politik bukan sekedar aktivitas otonom dalam konteks perkembangan sejarah kekuatan material, tapi politik lebih dari pada itu yaitu sebagai pusat aktivitas manusia yang dengannya kesadaran tunggal bersentuhan dengan alam dunia dan kehidupan masyarakat dengan segala bentuknya, dikutip laman jurnal.uin-alaudin, Kurniati, 2018.
Politik gagasan Antonio Gramsci ini mengisyaratkan bahwa hegemoni negara—dalam ini pejabat publik maupun figure public perlu mengarahkan sumber daya pada upaya memberikan kesadaran bagi seluruh warga negara untuk terlibat aktif dalam pembangunan yang dilandasi oleh kesadaran bersama, bahwa: apa yang dilakukan tersebut, merupakan kerangka aplikatif dari demokrasi dimana konsensus aktif lahir dari rakyat, dilakukan oleh rakyat untuk selanjutnya kembali pada rakyat.
Pada konteks ini praktek perpolitikan harus berbasis pada politik gagasan yang berpijak pada fakta ketidakadilan. Dalam artian bahwa calon pejabat publik diharuskan memiliki gagasan, ide, konsep yang lahir dari hasil pergulatan atau aktivitas praktisnya yakni dapat mengenal, menyelami suatu masalah yang dihadapi masyarakat, lalu mengemukakan argumentasi, dan menyusun jalan pikirannya secara logis.
Sebagaimana dilakukan oleh kaum muda terdahulu, Hatta misalnya, mengatakan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur maka kita perlu berpijak pada konsep ekonomi kerakyatan. Oleh karena budaya Indonesia adalah budaya gotong-royong yang sarat akan moralitas. Fakta mengenai karakteristik masyarakat ini yang mestinya disoroti, dianalisis dan kemas menjadi program pembangunan.
Contoh fakta misalnya kelompok masyarakat di Kota Ternate yang terus berusaha mengembangkan perekonomiannya seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel saya bertajuk: “investasi ekonomi” yaitu petani kangkung, UKM dan kelompok nelayan yang tengah masih mempraktekkan budaya gotong-royong; budaya pemberian, pertukaran timbal-balik tanpa memandang status dan golongan.
Dengan demikian, masyarakat akan mengalami kemajuan apabila model pembangunannya berbasis pada warisan budaya masyarakat tempatan. Inilah sejatinya politik gagasan, bahwa pengetahuan tempatan harus dikemas dan dikonseptualisasikan untuk menciptakan masyarakat baru yang adil dan makmur. (*)