TERNATE, NUANSA – Lingkar Studi Pemerintahan Daerah (LSPD) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Problematika 24 Tahun Keberadaan Sofifi Sebagai Ibukota Imajiner Provinsi Maluku Utara”, bertempat di Ballrom Gamalama Sahid Bella Hotel, Selasa (28/11).
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya akademisi Fakultas Hukum Unkhair Abdul Kadir Bubu, Dr Aziz Hasyim selaku dosen Fakultas Ekonomi Unkhair, Dr Darsis Humah selaku dosen Fakultas Hukum IAIN Ternate, dan Asisten III Bidang Administrasi Umum Setda Provinsi Maluku Utara Ir Asrul Gailea, serta Sultan Tidore Husain Alting Sjah.
Abdul Kadir Bubu mengatakan, FGD ini dilakukan dengan tujuan mengurai masalah Ibukota Provinsi Maluku Utara di Sofifi yang kurang lebih 24 tahun tidak ada perkembangan dari sisi pemerintahan, sehingga didiskusikan aspek-aspek yang menjadi dasar atau kendala kelancaran pembangunan Sofifi sebagai ibukota provinsi.
Pertama, Sofifi sebagai sebuah ibukota yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara. Di mana, pada pasal 9, Sofifi berada di wilayah Oba dan berada di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah. Kedua, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2003 Sofifi bagian dari Ibukota Tidore Kepulauan (Tikep).
Di sisi lain, tertuang dalam Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 Sofifi sebagai suatu kawasan yang berada di Tikep. Sehingga, kata Abdul Kadir, pertentangan payung hukum inilah yang kemudian menjadi aspek penting menghambat kemajuan provinsi sebagai ibukota dalam percepatan pembangunan. Sehingga apapun yang dijanjikan pemerintah pusat dalam hal percepatan pembangunan Sofifi terhalangi karena payung hukum yang belum jelas.
“Diskusi ini dilakukan dalam rangka memecahkan akar persoalan payung hukum dari Sofifi sebagai ibukota. Ini yang menjadi poin penting pembangunan Sofifi pada aspek percepatan pembangunan. Selain itu, menjadi solusi selama 24 tahun Sofifi sebagai ibukota dalam tanda petik ibukota imajiner, karena sampai saat ini Sofifi adalah sebuah wilayah yang berstatus kelurahan dan belum ada peningkatan status,” paparnya.
Kontroversi payung hukum ini hingga sekarang belum selesai. Karena itu, dengan FGD ini dilakukan untuk mencari akar permasalahan dengan harapan menjadi bagian dari rekomendasi untuk pemerintahan provinsi dan pemerintah pusat untuk memecahkan akar permasalahan dalam rangka percepatan pembangunan Sofifi sebagai sebuah ibukota.
“Pemerintah provinsi berkeinginan Sofifi dijadikan kota mandiri, sementara secara administratif Tidore adalah daerah induknya. Bagi pemerintah Tikep tidak ada masalah dimekarkan, tetapi apa kompensasi yang layak bagi Tidore selaku kota induknya. Jangan sampai Sofifi berpisah dan kota induknya menjadi mati. Ini yang kita tidak inginkan bersama. Semestinya yang dilakukan sekarang adalah memberikan kompensasi yang layak kepada Tikep,” jelasnya.
“Begitu Sofifi menjadi kota mandiri, Tidore tumbuh bersama-sama dan tidak menjadi kota mati. Itu yang paling penting diperhatikan dan perlu dipikirkan oleh pemerintah provinsi bersama dengan Tikep serta pihak kesultanan,” sambung Dade, sapaan akrabnya.
Hasil diskusi tersebut banyak melahirkan alternatif. Pertama, menyelesaikan payung hukum apakah ini judicial riview, legislatif reiview ataukah dengan jalan memajukan sebagai DOB Sofifi.
Kendati begitu, Dade menekankan bahwa poin paling penting merupakan komunikasi yang intens guna mencari akar masalah Tidore sebagai kota induk Sofifi yang di dalamnya terdapat intensitas pemerintahan yang lain yaitu Kesultanan Tidore.
“Ini harus diklirkan dulu. Artinya, duduk bersama antara pemerintah provinsi, pemerintah Tikep dan pihak kesultanan untuk membicarakan dengan baik agar Tidore dikasih kompensasi yang layak jika pemerintah provinsi menginginkan DOB,” tutur dia.
Sementara, Dr Aziz Hasyim menambahkan, FGD ini dilakukan berangkat dari kegelisahan mengenai progres akselerasi pembangunan di Sofifi sebagai ibukota provinsi.
Dengan menghadirkan unsur pemerintah, akademisi dan Sultan Tidore, guna mendengar perspektif dan pandangan mereka untuk dijadikan tambahan informasi dalam mengisi penyempurnaan naskah kajian status Sofifi.
“Perspektif ekonomi menjadi penting bagi Sofifi, karena percepatan pembangunan yang dilakukan pemerintah Tikep, Pemprov dan pemerintah pusat akan berimplikasi pada peningkatan ekonomi masyarakat. Baik untuk Kota Tidore maupun masyarakat yang mendiami Sofifi dan sekitarnya,” kata dia.
Dalam pengamatan LPSD, lanjut Aziz, penting bagi pihak terkait bersinergi memikirkan status Sofifi dari berbagai problem, terutama pada aspek hukum Sofifi sebagai ibukota, untuk diperlukan sebagai langkah cepat dan tegas perkembangan pembangunan.
“Berdasarkan pengamatan selama 24 tahun Sofifi sebagai ibukota provinsi, progres pembangunanya sangat lambat dibandingkan dengan daerah lain. Kenapa Sofifi pembangunannya bergerak agak lambat, padahal ada daerah lain yang sama-sama dimekarkan atau belakangan dimekarkan, tapi pembangunanya lebih cepat,” tuturnya.
Azis menambahkan, ada beberapa permasalahan yang menyertai lambatnya pembangunan Sofifi. Misalnya, kewenangan pengelolaan dan kebijakan pembangunan Sofifi yang masih berada di bawah kendali Kota Tidore Kepulauan.
Hal tersebut berkaitan dengan RT RW. Provinsi bisa melakukan pembangunan, namun harus berkoordinasi dengan pemerintah Tikep untuk sinergi dalam rangka pemanfaatan ruang yang sudah ditetapkan. Begitu pula dengan keterbatasan fiskal Kota Tidore akan berpengaruh pada percepatan pembangunan Sofifi.
“Forum ini menghendaki Pemprov bisa bersinergi dengan Kota Tidore untuk percepatan pembangunan Sofifi sebagai the city atau berwajah kota,” tutupnya. (ano/tan)