Opini  

Mengarungi Gelombang Kekacauan Pemerintah Halmahera Barat

Oleh: Gusti Ramli

___

DALAM diskursus ilmu Hukum, penulis mendapati sebuah adagium (pepatah/peribahasa) Hukum yang berbunyi “Salus Populi Supremasi Lex (Kesejahteraan Rakyat adalah Hukum tertinggi).” Meskipun penulis bukan seorang Mahasiswa Fakultas Hukum maupun seorang yang paham tentang Hukum, tetapi berangkat dari adagium tersebut dapat kita menyimpulkan bahwa Pemerintah wajib memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, baik birokrasi pemerintahan tertinggi dalam hal ini Pemerintah Pusat hingga birokrasi pemerintahan terkecil yakni Pemerintah Desa.

Penulis juga sudah lupa, ini opini yang ke berapa kalinya. Akan tetapi semua opini yang penulis curahkan melalui beberapa wadah Demokrasi Digital merupakan akumulasi kekesalan serta kritikan terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat. Bagi Penulis, akumulasi kritikan yang datang dari berbagai macam pihak semata-mata hanya untuk membenahi jalannya roda pemerintahan di Negeri ini. Sehingga ada kemajuan dan perubahan yang terjadi pada setiap Pemerintahan yang mungkin saja masih mengalami degradasi atau kemunduran, baik pada aspek ekonomi, pendidikan, sosial, politik dan lain sebagainya.

Pada season ini penulis masih menyentil persoalan kasus kematian bayi yang menimpa Ibu Sarni (Desa Gamlamo, Kecamatan Jailolo) pada tanggal 15 Februari 2023 dan Ibu Ningsih (Desa Kediri, Kecamatan Jailolo) tanggal 11 Mei 2023. Faktor kematian kedua bayi tersebut disebabkan oleh kurangnya dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jailolo dan juga minimnya fasilitas medis.

Atas kasus tersebut beberapa organisasi, masyarakat, dan juga LSM JONG HALMAHERA 1914 sudah melakukan aksi demonstrasi terhadap Bupati James Uang untuk segera melakukan pembenahan manajemen Rumah Sakit.

Tepat pada tanggal 15 Mei 2023, beberapa di antara anggota LSM JONG HALMAHERA 1914 melakukan advokasi dan investigasi di Rumah Sakit serta mendatangi pihak korban (Ibu Ningsih). Besoknya, pada tanggal 16 Mei, segelintir Mahasiswa dan Pemuda beridentitas JONG HALMAHERA melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Halmahera Barat untuk meminta kepada Bupati agar segera mencopot Direktur Utama (Dirut) RSUD JAILOLO, Dr Novimaryana Drakel. Pada saat masa aksi hearing dengan Bupati, beliau berjanji akan mencabut Dirut Rumah Sakit melalui eselon II dan III di bulan Juli mendatang pada beberapa OPD, termasuk mengganti Dirut RSUD dan sesegera mungkin membenahi manajemen di dalamnya.

Namun realitas yang terjadi, Bupati malah mengingkari janjinya terkait pencopotan Dirut RSUD Jailolo. Hal ini mengundang amarah seorang Hardi Do Dasim (Papa Di). Papa Di dengan sigap dan berani mendatangi Kantor Bupati Halmahera Barat untuk mendapatkan jawaban atas janji Bupati terhadap massa aksi. Ia diusir oleh Satpol PP dan beberapa orang yang baru saja dilantik.

Melalui kronologis yang telah penulis tuturkan di atas, barangkali itulah dinamika dan kondisi Halmahera Barat yang masih jauh dari kata Sejahtera.

Terbengkalainya perhatian Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat pada aspek Pendidikan juga terlihat ketika pembangunan Asrama Mahasiswa Halmahera Barat yang berada di Kelurahan Kasturian, Kota Ternate, mengalami pemberhentian pembangunan lantai dua asrama. Entah apa yang menyebabkan sehingga pembangunan lantai dua asrama Mahasiswa Halbar tidak selesai, namun bagi penulis ini sudah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah agar melihat kebutuhan mahasiswa saat mengenyam pendidikan di Kota Ternate.

Yang selanjutnya, penulis mendapati sebuah informasi terkait tanah di kelurahan Sasa yang merupakan aset Kabupaten Halmahera Barat dan akan dihibahkan oleh Bupati kepada Polda Maluku Utara. Informasi yang penulis dapat ini bersumber dari salah satu Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Barat, maka dalam hal ini penulis merasa informasi ini bukan informasi hoax.

Penulis juga menghimpun informasi terkait kasus tender obat 2,2 miliar yang saat ini tahapannya sudah ditangani oleh Polda Maluku Utara, namun sampai saat ini kasus tersebut tidak ada kejelasan sama sekali. Maka selaku anak daerah kami menilai kasus tersebut akan ditutupi dengan tanah yang dihibahkan oleh Pemerintah Daerah kepada Polda Maluku Utara.

Sampai pada detik ini penulis masih berkomitmen untuk tetap mengontrol serta memberikan kontribusi pikiran serta pendapat terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat. Sebab Pramoedya Ananta Toer berpendapat bahwa segala yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir. Di sisi lain, akumulasi kritik yang dilayangkan setiap warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terhadap Pemerintah dilindungi oleh Undang-Undang, yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Akhir kata, “Kalau sudah tidak sanggup, lebih baik gulung tikar saja”. (*)