Opini  

OTORITAS

Yahya Alhaddad

Oleh: Yahya Alhaddad, S. Sos, Msi

Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti Partai Perindo nomor urut 03

 

Dalam corak kehidupan suatu masyarakat mengalami perkembangan atau kemunduran tak bisa dilepaskan pisahkan dengan dorongan realitas perpolitik dan kekuasaan. Kedua hal ini ibarat pinang dibelah dua sehingga terkadang secara pemaknaan orang sulit membedakan dan di sini saya akan menjelaskan pengertiannya. Politik mengacu pada distribusi kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Sedangkan kekuasaan menurut Steven Lukas (1994), adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi individu lain agar individu tersebut melakukan sesuatu yang dikehendakinya.

Untuk menjelaskan persoalan tersebut, digunakan konsep kekuasaan, status sosial dan legitimasi. Konsep kekuasan akan berjalan efektif apabila didukung oleh otoritas dan atau legitimasi secara keabsahannya. Dalam kerangka teoritis, diskusi otoritas—dalam dimensi sosiologis—selalu merujuk pada Max Weber. Otoritas dapat dipahami sebagai kekuasaan untuk mempengaruhi dan mengontrol orang lain. Otoritas tidak dimiliki oleh sembarang orang, melainkan dimiliki oleh sebagian orang yang pantas (Mushonnif, 2013: 167).

Max Weber membagi otoritas menjadi tiga jenis, yaitu otoritas tradisional, karismatik dan legal rasional. Otoritas tradisional dapat dipahami secara sederhana bahwa suatu legitimasi yang didasarkan pada suatu kepercayaan yang sudah mapan dalam tradisi. Otoritas ini didasarkan atas klaim tradisi bahwa terdapat kebajikan yang dikemukakan oleh sang pemimpin dan mendapat kepercayaan dari pihak pengikut, sehingga menciptakan sistem relasi (personal attechment).

 Otoritas karismatik diasumsikan bahwa seorang karismatik memiliki kualitas-kualitas luar biasa (Ritzet, 2012). Kebanyakan orang berhenti pada arti katanya bahwa kharisma adalah “karunia istimewa”. Weber tentunya ingin melampaui makna harfiah itu. Karunia istimewa digunakan untuk menandai seorang pemimpin yang mampu merangkul suatu masyarakat yang sedang dirundung kesulitan. Orang-orang yang dirangkul oleh seorang kharismatik dapat mengikutinya karena merasa terdapat keutamaan luar biasa pada dirinya, seperti Yesus Kristus (Max Weber, 2009: 62) dan dalam Islam Nabi Muhammad.

Penjelasan tersebut dapat dipahami karisma adalah suatu kekuatan revolusionar. Effendi Chairi (2019) mengatakan kekuatan revolusioner ini menuntut reorientasi internal di satu sisi dan eksternal di sisi lain. Kekuatan revolusioner internal dapat mengubah pikiran sang aktor. Sedangkan kekuatan revolusioner eksternal dapat mengubah struktur-struktur masyarakat yang akhirnya juga mengubah pikiran dan tindakan individu selaku anggota masyarakat.

Sehingga munculnya seorang kharismatik yang mampu memberikan ancaman dan perubahan di dalam masyarakat (Ritzer, 2012: 228). Salah satu contoh di dalam Islam adalah upaya Nabi Muhammad dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Nabi Muhammad berhadapan langsung dengan petinggi-petinggi Arab untuk tidak menimbun harta kekayaan dan membaginya kepada fuqara’-masakin dan yatim piatu, walaupun ajakan itu ditentang berkali-kali karena status quo dan vested interest (Mas’ud, 2006: 50).

Hal tersebut sangat penting dalam Islam maupun kehidupan sosial sebagai bentuk perlawanan terhadap pemusatan ekonomi kepada kalangan tertentu sekaligus upaya pemerataan kekayaan dan sumber ekonomi (Choiron, 2017: 98-99). Nabi Muhammad dalam diskusi ini merupakan seorang kharismatik yang membawa misi revolusioner untuk mengubah tatanan sosial yang pincang dan berat sebelah.  Dalam konteks politik ketika munculnya figur publik dengan niatan baik mengubah dan menerobos dinding kekuasaan yang korup, maka, ia akan selalu cegah apabila melakukan manuver untuk merebut legal otoritas rasional.

Sedangkan otoritas legal rasional (legal otoritas) adalah otoritas yang mendapatkan legitimasi berdasarkan legalitas aturan untuk mengeluarkan perintah, seperti birokasi (George Ritzer, 2012). Otoritas jenis ini adalah tahapan perkembangan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat sudah semakin kompleks, masyarakat industry atau masyarakat modern dimana masyarakat diatur berasaskan ketentuan regulasi. Pemimpin legal rasional dipilih menggunakan system demokrasi yang sekarang kita kenal dengan pemilu. Pemimpin legal rasional inipun pada dasar diharapkan dapat mengubah kepincangan, ketimpangan, menghadirkan pemerataan dan kemakmuran masyarakat.

Ketiga jenis otoritas yang digagas oleh Max Weber tersebut, saya gunakan untuk mendialogkan fenomena demokrasi, politik dan system kekuasaan yang tengah berlangsung saat ini. Tatkala panggung demokrasi dan politik terbuka kita menyaksikan bermunculannya calon DPRD maupun DPR RI mengerahkan segala sumber daya, atribut, slogan dan semua itu adalah upaya mempertontonkan citra mereka sebaik mungkin untuk memperebutkan perhatian publik.

Selain politik pencitraan, digunakan juga analisis tokoh kunci atau tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat pada lapisan masyarakat dengan harapan agar mereka dapat meraih legal otoritas rasional. Fenomena ini bukan lagi suatu hal baru yang perlu ditutupi, setiap momentum politik analisis tokoh kunci menjadi penting oleh setiap caleg dan terutama mereka yang memiliki otoritas baik tokoh pemuda, masyarakat, adat, agama dan aktivis maupun intelektual yang dikategori sebagai figur publik.

Pengaruh mereka bagian dari kekuasaan dalam merangkul dan mengarahkan anggota masyarakatnya pada apa yang mereka kehendaki—memobilisasi masa untuk memenangkan pertarungan. Bila kita menelusuri dampak perjalanan kompetisi politik, cukup banyak catatan hitam—yang bahkan masih terus berlangsung hingga kini dan mungkin saja ke depannya. Catatan hitam yang saya maksudkan adalah, demokrasi yang konon katanya system kebebasan, kerahasiaan dan persaingan secara sehat—justru mencederai prinsip demokrasi itu sendiri.

Watak fanatisme pendukung sehingga melibatkan konflik kekerasan, politik uang, manipulasi dan lainnya. Implikasi lebih jauhnya adalah, ketika mereka yang memiliki otoritas (karismatik-tradisional) mengerahkan anggota masyarakatnya memilih kandidat yang jauh dari kata baik secara pengetahuan intelektual dan moral. Akibatnya adalah harapan besar, amanah masyarakat yang diembankan kepada pejabat publik (wakil rakyat) tidak diperjuangkan dan justru tergadaikan oleh kepentingan segelintir orang.

Fakta ini dapat kita mengamatinya misalnya masalah sengketa lahan di Kelurahan Fitu yang hingga sekarang tidak ada titik terangnya. Pemerosotan pendapatan Kelompok Nelayan Pantai Selatan di Keluharan Kalumata, adalah akibat dari tertutupnya muara tambatan perahu dan pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan reklamasi pantai tidak didasarkan atas kajian yang matang dan mengikuti pola alam. Kedua probem ini menjadi contoh fakta untuk membaca kesungguhan perjuangan Wakil Rakyat dalam menyelesaikan problem mendasar yang dihadapi masyarakat.

Bahkan yang lebih riskan lagi adalah mereka yang memiliki otoritas, kekuasaan tradisional maupun karismatik terasa tumpul, redup dan tak berdaya untuk mendesak Wakil Rakyat pada masing-masing Dapil dalam menyelesaikan ragam persoalan dihadapi masyarakatnya—otorita mereka hanya dikerahkan pada saat momentum politik. Padahal, kapasitas tersebut dalam konteks gerakan sosial, tentu teramat sangat potensial dapat mempengaruhi dan menjebol labirin kekuasaan pemerintah yang kian macet. Caranya adalah mendesak Wakil Rakyat, karena tugas dan fungsi mereka adalah mengontrol dan mengawasi kinerja pemerintah.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa Wakil Rakyat yang selama ini dipilih menggunakan logika pragmatism, politik uang, patron klien, kekerabatan tanpa mempertimbangkan sepak terjang, rekam jejak, sikap peduli dan rasa tanggung jawabnya. Pepatah yang mengatakan, pengalaman adalah guru kehidupan bagi saya kira cukup relevan dalam konteks pemilu; kekecewaan, ketidakpercayaan akibat dari rasa ketergiuran kita pada politik pencitraan (bukan substansi) dan pembelian suara akan berdampak pada makin diabaikannya kebutuhan masyarakat.

Di sini pula pejabat pubik (Wakil Rakyat) perlu menyadari sikap dan perilakunya mengapa selama ini publik kehilangan kepercayaan pada pejabat dan munculnya istilah politik itu kotor. Adalah penyebab perilaku politisi tidak etis dan sikap mementingkan kepentingan pribadi—politik di mata politisi adalah meraih dan mempertahankan kekuasaan. Sebagai pemilih yang cerdas, masyarakat sudah saatnya kembali pada substansi politik.

Substandi politik sebagaimana berulang kali saya tegaskan pada artikel saya sebelumnya, yaitu sebagai suatu investasi, relasi pertukaran timbal-balik secara etik—bahwa dibalik kursi kekuasaan Wakil Rakyat terdapat hak-hak dasar masyarakat yang harus mereka wujudkan. Maka, 14 Febuari adalah momentum teramat sangat berharga untuk menentukan apakah hak-hak masyarakat terpenuhi dengan baik atau justru sebaliknya seperti yang sekarang ini kita rasakan: ketimpangan dan ketidakadilan. Dengan demikian, bila ada seorang figur publik yang rekam jejaknya baik, matang secara intelektual moral dan kemampuan merangkul tanpa pilih kasih, maka harus diperjuangkannya untuk memperebutkan legal otoritas rasional.  Adalah sebagai bentuk intervensi terhadap kekuasaan dalam memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. (*)