Oleh: Basri Amin
___
NEGERI ini punya beberapa Presiden sejak 1945. Baik ketika Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan, pun ketika zaman guncangan politik di saat berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS, 1949-1950). Ketika Negara Indonesia Timur (NIT, 1946-1950) berdiri, juga punya Presiden terpilih. Hampir seluruh sejarah presidensi kita membanggakan kita sebagai bangsa besar. Mereka adalah orang-orang terpilih karena berhasil “membaca suara” zamannya di tengah-tengah pergaulan dunia yang selamanya tarik-menarik antara Timur dan Barat.
Kita selamanya ingin Presiden Indonesia memahami benar prinsip luhur Republik ini –-sesuai apa yang pernah tegas diingatkan dan dibahasakan oleh Cendekiawan Indonesia, Taufik Abdullah, tepat di usia 60 Tahun Kemerdekaan R.I, yakni…”Mempertahankan Negara adalah kemestian, meningkatkan Kesejahteraan rakyat adalah keharusan yang tidak bisa diabaikan, tetapi Mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah kemutlakan yang total…” (2005: 71).
Sangat jelas apa makna bernegara dan berbangsa, serta tujuan utama (kita) berIndonesia. Camkanlah kata-kata Taufik Abdullah di atas! Dengan itulah pula kita bisa berkaca hari-hari ini.
Di beberapa negara di dunia, Presiden hebat tidaklah otomatis dilahirkan dari Pemilu. Banyak di antara presiden hasil Pemilu justru memalukan dan memilukan. Jika tidak dipermalukan oleh rakyatnya, dia sendirilah yang mempermalukan negerinya.
Dalam urusan Presiden Indonesia, selamanya abadi kita merujuk Presiden Soekarno dan jejak-jejak besarnya untuk Republik ini.
Dulunya, ketika Presiden Joko Widodo menggetarkan jargon “Revolusi Mental” di awal pemerintahannya di periode pertama, saya terkesima. Menyentuh! Historikal! Jargon itu dibuat Soekarno.
Soekarno bukan hanya akar tunggang Partai Nasional Indonesia (PNI), tapi ia adalah sekaligus tokoh sentral penyatu bangsa ini. Orator dan aspirator hebat. Tak heran kalau Soekarno demikian bermimpi mensinergikan Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom, 1959-1966).
Gagalkah legacy Soekarno? Sejarah masih akan terus memberinya penilaian…
Sebagai Presiden, Soekarno, adalah sosok abadi: proklamator kemerdekaan dan Presiden pertama Indonesia. Sungguh tak ternilai jasa-jasanya. Meski demikian, dari sekian banyak jasanya yang terpenting, dalam hemat saya, adalah bahwa Soekarno melentingkan wibawa Indonesia di panggung dunia. Bukan hanya karena memang Soekarno adalah figur terdidik yang retorik, ia berhasil memerankan itu semua karena memang ia punya bacaan luas dan kemampuan mendunia.
Soekarno punya dunia banyak karena menguasai banyak bahasa dunia. Tak heran kalau sejumlah blok kerjasama, inisiatif kawasan, dan forum-forum internasional berhasil digalang oleh Soekarno di masanya. Ia melahirkan sebuah “generasi” yang mendunia dalam peran-perannya. Generasinya amat cinta buku; mereka dewasa berdebat, berjiwa merdeka, dan kokoh moral dalam berpolitik. Bertarung dengan kebesaran cita-cita. Tentu, tetap saja ada ironi tapi tak pernah ada dendam membara. Dan, satu lagi yang terang: tak pernah ada di antara mereka yang memperkaya diri sendiri karena uang negara.
Ideal memang. Soekarno adalah Presiden cerdas dan penyatu yang pemberani. Hal serupa diwujudkan oleh Presiden Gus Dur. Untuk semua presiden kita, tugas sebagai “penyatu” bangsa memang terkesan terdepan dikerjakan. Gejolak sedikit saja, Presiden pasti tak tinggal diam. Caranya saja yang berbeda. Ada yang cenderung militeristik demi stabilitas (Soeharto), ada yang memilih cara dialog dan humanitarian seperti Gus Dur dan ada pula yang melalui aksi afirmasi nyata (desentralisasi) di masa B.J. Habibie dan Megawati, serta pelembagaan ruang publik-demokratis dalam sistem bertata-negara dan tata-hukum di zaman SBY.
Dalam banyak hal, peran kita di tingkat dunia cenderung tak menggetarkan “keseimbangan internasional”. Sebagai contoh sederhana, meski sudah beberapa kali diselenggarakan pertemuan “diaspora Indonesia” –sebagai forum manusia Indonesia yang berkiprah membanggakan di berbagai bidang utama di berbagai negara–, tapi kita belum sepenuhnya berhasil mendayagunakan jaringan dan kapasitas mereka untuk kepentingan nasional yang lebih luas. Praktik-praktik cerdas yang mereka capai selama ini dan apa-apa yang mereka telah kontribusikan di negara-negara maju, sepertinya belum sungguh-sungguh kita “copy” untuk berbagai bidang dan institusi di negeri ini.
Di lembaga pendidikan misalnya, kultur akademis dan leadership yang progresif hingga kini masih terbayangi oleh “feodalisme” posisi, klik kelompok, dan fasilitas. Bahkan tak jarang, kolusi (kepentingan ‘gerombolan’ pertemanan jangka pendek) dan nepotisme (jaringan keluarga dan afiliasi organisasi) masih menyelinap diam-diam. Ia terus mengakar dan menyebar di banyak situasi.
Presiden cerdas yang pemberani kita butuhkan karena putaran zaman yang melilit Indonesia membutuhkan haluan yang kokoh. Terpaan global yang menusuk semua titik lokalitas kita meniscayakan visi bersama yang terkonsolidasi. Ledakan informasi menerpa semua orang, tapi tak semua golongan siap mengunyah itu semua dengan kadar kesadaran dan volume pemanfaatan yang sama.
Teknologi, di masa kini, adalah sesuatu yang meliputi banyak hal. Kita tak bisa menghindar darinya. Ia ibarat makanan. Harus selalu ada! Tapi, ia tak akan memberi faedah apa-apa kalau takaran, perlakuan, dan kandungannya tak kita perhitungkan. Ledakan masif inilah yang kini merasuki masyarakat kita. Pengaruhnya sangat besar: hoaks, kriminalitas, kehampaan, agresifitas, hipokrisi, dst. Lalu, negara berperan di mana? Pengatur signal dan frekuensi udara? Berkuasa memblokir akun? Perluasan propaganda anti teror? Kampanye damai di ruang-ruang publik?
Banyak perkara silih-berganti di depan mata setiap presiden. Cukupkah waktu untuk menangani dan mengelola itu semua? Bagi presiden hasil Pemilu 2024, tantangannya makin kritikal: ancaman pangan, perubahan iklim, sebaran penyakit, kesenjangan sosial, kebebasan sipil, radikalisme, internasionalitas kondisi Papua, serta “hadiah demografi” semuanya hadir bersamaan. Belum lagi gelombang (industri) berbasis teknologi digital disertai big data di tengah-tengah ekonomi dunia yang bergejolak. China, India, Korea Selatan, dan Vietnam yang kini makin tampak besar.
Ratusan juta penduduk, tapi dengan kesenjangan yang belum jua membaik. Lalu, Presiden hendak “menggerakkan” yang mana? Saya kira, jargon “presiden penyabar” adalah sangat positif di tengah-tengah bangsa super majemuk seperti Indonesia. Tapi, dalam skala yang lebih luas, penyatuan yang sabar seperti ini adalah sekaligus sebagai penanda bahwa bangsa ini –dari waktu ke waktu– demikian membebani presidennya dalam urusan pluralisme dan faksi-faksi politik.
Presiden harus menjamin harmoni sosial negeri ini. Presiden memegang amanah “melindungi segenap hajat hidup orang banyak”. Bersamaan dengan itu, Presiden juga tentulah sangat paham tentang tugas-tugas konstitusionalnya yang lain. Hanya saja, perspektif presidensial seperti ini belum seutuhnya menunjukkan “kebesaran” Indonesia sebagai negara-bangsa.
Amanah untuk aktif “menjaga ketertiban dunia”, adalah juga sebuah tuntutan yang tak kalah seriusnya diperankan. Ingat dan ingat dengan hak merdeka Palestina dan kebrutalan Israel yang tanpa jeda!. Di sinilah Presiden harus berani melihat dan memperlihatkan kepada bangsanya, bahwa Indonesia adalah bangsa yang aktif di tingkat dunia. Tak cukup dengan rutin bersidang di forum-forum dunia dan merativikasi konvensi-konvensi internasional.
Lebih jauh dari itu, Presiden juga haruslah lebih lantang memberi gagasan bandingan dan praktik baik tentang isu lingkungan, tata kelola pemerintahan, pembangunan mutu manusia, demokrasi, keamanan, kesehatan global, hak azasi manusia, dst. Selanjutnya, yang butuh disatukan adalah cita-cita bangsa, mutu manusia Indonesia yang mengelola alam negeri ini, serta kesetiaan kita mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama.***
Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: basriamin@gmail.com