Oleh: Basri Amin
___
NEGERI ini sudah sering memilih bupati-bupati hebat. Kiprah mereka sudah banyak kita baca. Kita menyimak dengan takzim (karakter) kerja mereka. Meski demikian, bupati-bupati yang menghina akal sehat, yang merendahkan martabat warganya dan yang menistakan dirinya karena korupsi dan penyalahgunaan jabatan, juga sudah banyak dicatat oleh sejarah. Tidak main-main, di antara kepala daerah itu, ratusan orang/pelakunya adalah Bupati/Walikota.
Wibawa pemerintah makin goyah. Di mana-mana, integritas elected leaders makin menyesakkan dada bangsa ini. Uang sudah menjadi sesembahan elite/pejabat kita. Cerita ini terkesan berulang setiap saat, bahkan pusat guncangannya terjadi di Jakarta, Ibukota republik ini. Nah, bagaimaa di tingkat lokal? Bupati dan Wakilnya adalah figur pemerintahan yang rill. Kepada merekalah rakyat banyak berharap. Kepada merekalah rakyat merekahkan perbaikan nasib anak-anaknya.
Apa yang terjadi berulang? Kegairahan kelompok dan warna-warni (afiliasi) politik yang berlebihan atas nama “koalisi” sering berubah menjadi “pasukan” yang melilit kelincahan bergerak di pemerintahan. Begitu juga dengan heroisme kemenangan Pilkada lebih sering berlarut-larut karena masih banyak “sisa cerita/janji” yang tidak tuntas. Tak jarang kita menyaksikan bagaimana sengketa-sengketa uang dan fasilitas jabatan, pengaturan kursi jabatan dan proses seleksi yang distortif masih terus berlanjut sepanjang waktu.
Kita butuh Bupati –dan tentu saja juga Wakilnya—yang punya “energi belajar” secara memadai. Seorang tokoh yang terbuka atas habituasi baru ketika menjalankan pemerintahan dan mewujudkan perbaikan-perbaikan. Dengan itulah ia akan terus tumbuh sebagai pribadi yang aktif menempa potensi dan legitimasi ke-pemimpinan-nya –atau paling tidak sebagai Tokoh masyarakat—yang kelak tetap dirujuk oleh zaman.
Tentu saja, untuk bisa punya legacy, waktu masih akan terus menguji, karena akan sangat tidak cukup kalau sebuah legasi kepemimpinan di level kabupaten hanya diukur oleh deretan gedung-gedung baru, jembatan yang di-cat, sejumlah kerumunan acara dan sambutan, ratusan foto-foto bantuan sosial atau karena semburan jargon-jargon yang ditempel di sudut-sudut jalan dan/atau karena publikasi media yang menggincu “sang-Aku”.
Bupati sewajarnya adalah “pendidik publik” di wilayahnya. Ini mungkin dirasa terlalu ideal, tapi jika seseorang hanya berhenti membesarkan kesadaran (palsu) tentang diri-yang-menjabat-punya kuasa, maka orang itu akan selamanya (hanya) pantas dipanggil sebagai “penguasa-pejabat” dan masih jauh dari derajat sebagai “pemimpin”. Orang seperti itu akan dengan mudah berhianat dan menerima penghianatan, sembari tersedot jiwa-pikirannya menikmati bentuk-bentuk penggerusan sumberdaya publik, termasuk menelikung uang publik dan memanfaatkan sepihak fasilitas negara.
Moralitas (pejabat) kita, setidaknya jika kita cermati dua puluh tahun terakhir ini, sungguh-sungguh menyesakkan dada. Karena itu, berhentilah terlalu banyak “menasehati” orang banyak dan mencitrakan diri melalui bayang-bayang kebesaran jabatan. Berhentikan mem-personal-kan kerja-kerja pembangunan. Marilah sama-sama kita membangun konsen dan etika publik; bersama-sama berbagi tanggung jawab dan mengerjakan tugas-tugas pemajuan daya saing negeri ini, demi masa depan generasi baru. Jangan monopoli! Jangan manipulasi! Jangan menumpuk kapital untuk kemewahan Anda sendiri dan keluarga…Lihatlah, betapa kehinaan di zaman ini karena harta-benda, kuasa yang pongah dan karena ambisi-kemewahan diri.
Kemacetan menemukan terobosan kemajuan di daerah berulang-ulang terhambat karena kekerashatian menerima masukan dan nasehat. Di luar itu, ikatan-ikatan masa lalu, gairah “kemenangan keluarga” dan janji-janji “berbagi” kesempatan material dengan rombongan (kelompok) pendukung berubah menjadi penjerat paling akut untuk bisa melahirkan pejabat-pemimpin-pembaharu. Di antara mereka, belang-belang integritas yang buruk sudah sama-sama tahu. Itulah sebabnya mengapa di antara elite kita mereka setiap saat bisa saling menelikung dan saling “menikam dari belakang”.
Sudah lama beredar ungkapan bahwa, “janji politik setiap saat bisa ditinggalkan. Tak butuh ketaatan!”. Begitulah pula tentang janji kepada publik dan orang per orang! Kata-kata “iya” tak selamanya sebagai “iya” yang sebenarnya –sebuah “iya” yang meng-iya-kan maksud, intensi, dan isi dari apa yang Anda ucap-ungkapkan. Di arena kuasa dan hipokrisi, “iya” adalah ruang pelarian-bebas yang paling sempurna untuk mengelak perbedaan dan kebenaran. Dengan “iya” seseorang bisa jadi hanya meng-iya-kan keberadaan dan motif Anda sendiri (sebagai lawan bicara), tetapi samasekali bukan meng-iya-kan dan/atau mem-benar-kan plus menerima-menyetuji maksud dan tujuan Anda dalam suatu pembicaraan.
Bupati yang hebat retorikanya tak akan bermakna apa-apa bagi masa depan sebuah daerah jika dalam perkara sehari-hari (hubungan-hubungan manusiawi dengan peminta-minta di jalan-jalan, observasi ringan tentang sampah-sampah di kotanya, pergaulan dengan pelaku-pelaku usaha, keakraban dengan kelompok cerdik-pandai daerahnya, dst) tidak membuatnya betah-bercakap dan menemukan aspirasi kerja yang segar. Bupati yang sibuk dari acara ke acara hanya akan terterima baik di kalangan media dan hanya akan memanen rasa puas diri di antara kalangan mereka sendiri (birokrasi).
Tantangan fundamental daerah-daerah kita adalah (1) performa kebijakan yang efektif dan terkontrol merubah ketimpangan (keadilan) di masyarakat; (2) kekuatan akses dan partisipasi yang melembaga dan berjangka panjang kepada semua golongan untuk menikmati kemajuan (pelatihan/pendampingan, pelebaran pekerjaan, fasilitas, inovasi teknologi, akses pasar, dst); (3) akuntabilitas layanan publik yang memediasi kegiatan-kegiatan produktif di masyarakat; (4) kepemimpinan birokrasi yang interaktif-memihak dan lincah membuat terobosan; dan (5) adaptasi institusi dan basis data yang mampu menampung kasus-kasus perbaikan dan percepatan kemajuan, sesuai dinamika kewilayahan dan sumberdaya yang tersedia/terbuka dikonversi keberlanjutannya.
Bagaimana managing-nya ke masa depan? Butuh ruang dan kesempatan lain untuk menjelaskannya. Tapi, dengan modal leadership yang kuat-interaktif-pembelajar yang berintegritas dan berkomitmen tinggi, percepatan dan pemajuan daerah tinggal menuggu waktu. Ini sudah terbukti di banyak tempat! Tapi semuanya sangat tergantung pada momentum sebuah pemerintahan, ketika landasan pacu tersiapkan sedemikian rupa bagi semua pikiran terbaik dan kesadaran-bergerak yang gesit dan terukur. Di tahap ini, jejaring pemerintahan, akurasi skenario yang adaptif dan konsensus bersama adalah faktor kunci. Jangan sampai “hanya pemain yang berganti tapi permainan dan tabiat sama saja! (*)
Penulis adalah partner di VoiceofHale-Hepu.