Opini  

Apakah Ada Selain Politik ?

Oleh: Nurcholish Rustam
Ketua Rampai Nusantara Malut

_____

APAKAH ada selain politik? Apa yang lebih menarik untuk dibahas atau didiskusikan saat ini? Seorang sahabat yang mengaku awam politik membuka perbincangan. “Oh banyak,” kata saya. Sebut saja soal usaha warung kopi, perikanan, potensi pariwisata atau kuliner khas Ternate, atau “baku malawang” soal Malut United yang selalu seri bermain di Liga 2, atau soal kekalahan Timnas Indonesia di Piala Asia Qatar, bagaimana membedakan rasa kenikmatan durian Ternate, Jailolo dan Tidore. Atau mungkin membahas ulang siapa yang mengelilingi Bumi pertama? Kesimpulannya, selain politik ada banyak hal yang bisa dibahas.

Tapi karena menjelang pemilu, terpaksalah kita menyinggung sedikit soal politik. Artinya banyak orang yang “terpaksa” untuk membahas politik saat ini. Baliho, poster, stiker para caleg bertebaran dimana-mana di sepanjang jalan hingga lorong-lorong, tembok, tiang listrik, bahkan pohon. Bukankah sangat mampu memicu dan menghadirkan perbincangan politik? Kalau soal parade para caleg, katanya iya susah menentukan pilihan. Ibu-ibu /’bibi-bibi’ di tetangga rumah saya, jauh hari sudah ada yang menetapkan pilihannya karena kesengsem dengan foto caleg anak muda dan bapak-bapak yang punya tatapan dan senyum manis. Terus ibu-ibu yang lain coba mengkritisinya begini; “Ya kalau milih caleg karena senyum dan tatapannya, gimana bisa memastikan apakah si pemilik senyum manis bisa lebih baik ketimbang yang lain?” Ibu-ibu pencinta senyum manis menjawab “Ya tak tahu lah itu, yang penting ganteng yang saya pilih, apalagi kalau sudah berikan uang”.

Perbincangan politik kecil-kecilan yang demikian mungkin juga sering terjadi di tempat anda. Banyak yang belum menentukan pilihan, apatis sejak awal, tetapi banyak pula yang sudah peroleh preferensi, terutama dari baliho, poster, stiker atau bahkan dari media sosial seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan lainnya. Jurus “pokoknya ganteng” tadi setidaknya menggambarkan bahwa baliho, poster, stiker dan media sosial ada pengaruhnya juga. Tapi berapa besar tipe pemilih model demikian dibandingkan dengan pemilih kritis? Itu belum bisa saya pastikan.

Tapi apakah politik kita hari ini menarik? Jawabnya macam-macam. Ada sisi yang menarik, sebaliknya ada sisi-sisi yang membosankan. Orang memiliki subyektifitasnya masing-masing untuk mengatakan politik menarik atau tidak. Yang jelas tampaknya semua orang bersepakat bahwa kita butuh perubahan ke arah yang lebih baik. Apa gunanya politik kalau harga-harga kebutuhan pokok melambung, jumlah orang miskin meningkat, pengangguran bertambah, akses Pendidikan dan Kesehatan tak terjangkau. Politik mesti membuat “segalanya” membaik, bukan memburuk. Tapi kata sahabat saya itu, banyak “orang awam” yang sangsi kalau politik kita sekarang langsung membuat “kondisi hidup” masyarakat menjadi lebih sejahtera. Tema “perubahan” atau “lanjutkan” masih akan laku, walaupun pasca pemilu kita dihadapkan pada “perubahan yang tidak berubah”.

“Yang penting tanggung jawab politisnya, Bung,” kata saya. Sayangnya, banyak yang tak menyadari beratnya tanggung jawab itu. Mohon maaf, bagaimana kalau yang dicari para caleg politisi kita itu sekadar kedudukan politik an sich, apa bedanya dengan mencari pekerjaan? Padahal mestinya mereka para pejuang yang memperjuangkan perubahan, agar “segala sesuatunya” menjadi makin baik. Soal tanggung jawab yang berat ini rupanya sering dilewatkan, walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang oleh rekan saya sering menyebutnya “Tim 3 Huruf” sudah menjerat banyak politisi nasional hingga lokal. Apakah ini berarti para politisi punya potensi yang lebih besar berbuat khilaf? Mungkin iya, karena godaannya besar sekali.

Jadi, selain politik, apa yang menarik? Banyak hal. Tak semuanya bisa dikaitkan dengan politik. Tapi khusus Maluku Utara “mungkin” ada pengecualiannya. Ujar sahabat saya tersebut sambil tersenyum lebar. “Pemilih cerdas, memilih wakil rakyat yang cerdas. Wakil rakyat yang cerdas menghadirkan kebijakan yang cerdas pula.” (*)