Opini  

Deforestasi dan Ancaman Ekologi Berkelanjutan, Islam Solusi Masa Depan

Oleh: Zahra Riyanti

_____

INDONESIA sejak lama sudah digelari sebagai “The super power of diversity state” atau negara dengan kekayaan hayati dan non hayati terbesar di dunia, termasuk di dalamnya adalah kekayaan hutan dengan luas secara akumulatif menurut data Badan Informasi Geospasial (BIG), pada 2022 mencapai 102,53 juta hektare (ha). Namun sayang, saat ini Indonesia tengah menghadapi sederat problem berat yang berkenaan dengan tata kelola hutan yakni deforestasi atau penebangan hutan secara liar dan di sengaja. Selain itu deforestasi telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Sehingga saat ini, Indonesia hanya memiliki 10% hutan tropis dunia yang tersisa.

Melanjut dari pada itu menurut Databoks Katadata pada 19-1-2024 Indonesia dalam dua dekade terakhir menjadi negara kedua yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis (humid tropical primary forest). Hutan primer tropis adalah hutan berusia tua yang memiliki cadangan karbon besar dan kaya akan keragaman hayati. Selain itu dalam Laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI) tengah menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan 10,2 juta hektare area hutan primer tropis yang mengalami deforestasi (perubahan lahan hutan menjadi nonhutan secara permanen, seperti menjadi perkebunan atau permukiman) serta degradasi (penurunan fungsi atau kerusakan ekosistem hutan, baik yang disebabkan aktivitas manusia maupun peristiwa alam). Mirisnya, jika untuk memulihkan kembali hutan primer itu maka perlu waktu puluhan tahun hingga berabad-abad lamanya.

Disamping itu, dlam rentang periode 2018–2022, wilayah yang paling banyak kehilangan hutan di Indonesia adalah Pulau Kalimantan dengan pengurangan luas hutan mencapai 526,81 ribu hektare. Hal senada pun terjadi secara berentetan di beberapa pulau besar seperti Sumatera, Papua, Sulawesi, Jawa, dll. Dikutip Dalam dokumen Enchanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada September 2022 lalu, pada skenario kondisi normal (business as usual), dalam periode 2021–2030 Indonesia diproyeksikan mengalami deforestasi rata-rata 820 ribu hektare/tahun. Selain itu, Pemerintah telah menargetkan deforestasi pada 2021-2030 akan turun sekitar 56% menjadi rata-rata 359 ribu hektare/tahun. (Katadata, 29-12-2023).

Saat ini wilayah yang paling banyak mengalami deforestasi adalah Riau. Menilik Catatan Akhir Tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023. Angka deforestasi tersebut lebih luas dari rata-rata per tahun dalam lima tahun terakhir. Walhi mengungkapkan bahwa sekitar 57% daratan Riau telah dikuasai investasi. (CNN Indonesia, 12-1-2023). Karena hanya untuk investasi di wilayah tersebut, pemerintah telah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 hutan tanaman industri (HTI), 2 hak pengusahaan hutan (HPH), dan 19 pertambangan. Luas kebun kelapa sawit di Riau yang berada dalam kawasan hutan mencapai 1,8 juta hektare. Walhi memandang UU 6/ 2023 tentang Cipta Kerja telah memberi karpet merah akan investor kebun sawit di dalam kawasan hutan. Mirisnya, pemerintah berdalih untuk menghentikan alih fungsi hutan, namun justru memutihkan 3,3 juta ha kebun sawit. Artinya, deforestasi tersebut seolah dibenarkan dan mendapat restu negara.

Oleh karna itu, akibat masifnya deforestasi, bencana dan kesulitan pun akhirnya terus menghantam hidup rakyat. Rakyat banyak kehilangan ruang hidup dan menjadi korban atas bencana alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor, kenaikan suhu secara global, hilangnya sumber air, punahnya ekosistem, dan lainnya. Dan pada saat yang sama, para komprador kapitalis (pemilik modal) berpesta duit dari hasil menggunduli hutan, rakyat menderita mereka riang gembira.

Maraknya dan masifnya aktivitas deforestasi merupakan akibat langsung dari penerapan sistem sekuler kapitalisme saat ini. Sistem kapitalisme telah menghilangkan hak istimewa wahyu Allah dalam menata perihal lingkungan dan segala derivatnya. Berbagai aktivitas publik telah dipisahkan dari perintah agama. Seolah agama menjadi batu sandungan dalam eksplorasi alam dan seolah melesatnya pembangunan hanya bisa diperoleh dengan mengorbankan lingkungan. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi menjadi primadona. Demi meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan harus digenjot, meski dengan merusak hutan.

Realitas pahit lainnya ketika ada hutan yang dialihfungsikan menjadi investasi perkebunan atau pertambangan, bukan aktivitasnya yang dihentikan dan pengusahanya diberi sanksi keras malah status hutannya yang diubah sehingga menjadi legal untuk digunduli. Sistem kapitalisme juga telah menjadikan materi sebagai orientasi tertinggi sehingga keuntungan itu bisa dilahap habis. Akibatnya, pengusaha kapitalis menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan, halal haram sikat, termasuk dengan merusak tatanan hutan, membakarnya, menambangnya dll. Hal ini berbeda secara diametral dengan prinsip Islam. Di dalam Islam, manusia dititahkan untuk menjaga ekosistem alam dan kelestariannya dan tidak boleh melakukan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” ayat ini jelas amanah berat yang harus ditunaikan oleh semua pihak.

Selain itu, sejatinya pembangunan di dalam Islam bertujuan untuk kemaslahatan dan kepentingan masyarakat sehingga dilakukan dengan cara yang penuh tanggung jawab dan kehati-hatian, bukan dengan cara yang eksploitatif. Pembangunan di dalam sistem Islam membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam semesta baik manusia, hewan, maupun alam. Penjagaan kelestarian lingkungan, termasuk hutan, di dalam Islam dilakukan dengan pelaksanaan syariat Islam. Adapun syariat terkait pelestarian hutan adalah adanya ketetapan hutan sebagai harta milik umum. Dengan demikian, negara wajib mengelola agar hutan tetap lestari, sehat dan dapat membawa maslahat untuk umat.

Oleh karena itu, klasifikasi hutan harus dipenuhi dengan baik, bukan sekadar formalitas. Mana hutan yang dilindungi dan mana hutan yang boleh diambil hasilnya, baik kayu maupun nonkayu. Komitmen pelestarian hutan harus kuat dan ketat, sebagai wujud ketaatan pada Allah, dan tidak boleh sekadar kamuflase, seperti sebuah video yang menunjukkan ada sebuah kawasan hutan dari pinggir jalan yang tampak lebat, tetapi di bagian dalam ternyata gundul parah.

Islam juga telah memiliki berbagai aturan untuk menjaga kepemilikan umum, termasuk hutan. Berdasarkan syariat tentang kepemilikan, hutan termasuk kepemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai swasta, baik untuk perkebunan, tambang, pariwisata, maupun yang lainnya. Negara harus mengelola hutan dengan bertanggung jawab dan menggunakan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Negara bisa memproteksi kawasan hutan tertentu untuk cagar alam demi melindungi flora atau fauna tertentu, bisa juga memproteksi hutan lindung demi kelestarian lingkungan dengan melarang masyarakat untuk mengambil apa pun dari hutan tersebut.

Sehingga dari perbandingan realitas sistem kapitalisme dan Islam di atas nampak sangat mencolok perbedaannya. Oleh karena itu, kaum muslim sejatinya harus mengembalikan tata kelola hutan yang benar yang manusiawi dan rasional hanya pada Islam saja, sebab Islam telah membuktikan keberhasilan management ruang hidup yang sempurna dan sesuai fitrah manusia selama belasan abad yang tidak menimbulkan residu krisis ekologi yang berkelanjutan. (*)