Opini  

Fenomena Pemilu Dalam Demokrasi

Oleh: Raihun Anhar, S.Pd

Pemerhati Umat
_____

PADA tanggal 14 Februari 2024 telah dilaksanakan Pemilu serentak di seluruh Indonesia. Namun, hingga 24 Februari 2024 belum juga usai perhitungan suara. Berbagai video memperlihatkan kecurangan yang terjadi. Kecurangan dalam pemilu bukan baru kali ini diperlihatkan. Tahun 2019 juga terjadi kecurangan dan lebih heboh yakni meninggalnya ratusan petugas KPPS.

Kecurangan-kecurangan adalah hal biasa saat pemilu. Bisa terjadinya di TPS atau yang paling tinggi bisa dilakukan oleh KPU. Kecurangan bisa berupa rekayasa hasil suara dimana ada suara yang sengaja disembunyikan karena ada jagoan mereka yang Caleg. Ada pula yang menggunakan sisa surat suara untuk coblos siapa jagoannya. Hal ini disampaikan langsung oleh salah seorang petugas Pemilu.

Dalam perhitungan cepat Capres nomor dua sudah unggul. Akan tetapi beberapa wilayah mengajukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Adapun kisah unik di Desa Lelilef yakni salah seorang Caleg yang ngamuk tidak terima suaranya sedikit. Ia sepertinya yakin kalau dia bisa menang. Namun sayang sekali saat dihitung kembali oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) ternyata memang sedikit suaranya. Namanya juga pemilihan berarti ada yang banyak dipilih ada yang sedikit dipilih. Ada kalah dan ada yang menang. Kalau tidak siap kalah jangan ikut bertanding.

Dari pemilu kemarin harusnya kita bisa sadar bahwa demokrasi bukan yang terbaik untuk hidup bernegara. Mengapa? Karena dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat saja penuh kecurangan. Bagaimana bisa sesuatu yang diawali dengan buruk akan menghasilkan kebaikan yang selamanya. Hal ini telah terbukti di Indonesia merdeka sudah 78 tahun, telah berganti Presiden tujuh kali dan wakil rakyat berulang kali namun tidak kunjung sejahtera rakyatnya.

Untuk itu kita perlu mengganti demokrasi dengan sistem lain yang lebih baik. Emang ada? Ada sistem pemerintahan yang lebih baik dari demokrasi yakni Khilafah. Sudah baik pengaturannya dan diridhoi Allah sebagai pencipta manusia serta pengatur hidup ini lagi. Kurang apa coba?

Perbedaan Demokrasi dan Khilafah

Jika demokrasi meletakkan kedaulatan tertinggi ada pada rakyat. Khilafah meletakkan kedaulatan pada Allah. Demokrasi diusulkan oleh Cleisthenes yang merupakan kafir. Sedangkan khilafah disepakati oleh Sahabat Rasulullah Saw saat Beliau Saw wafat. Dimana kala itu orang-orang Muhajirin mulai memilih wakil mereka untuk menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin. Namun, diselesaikan oleh para Sahabat Nabi dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah. Jadi dapat dikatakan bahwa khilafah datangnya dari kesepakatan Sahabat Rasulullah (Ijma Sahabat) yang merupakan sumber hukum Islam setelah Alquran dan Sunnah.

Khilafah juga telah sepakati para ulama termasuk empat imam Mazhab sebagai mahkota kewajiban. Dimana khilafah memang tidak dijelaskan kewajibannya seperti wajibnya puasa yang begitu jelas. Namun bukan berarti khilafah tidak wajib. Sesuatu yang tidak wajib bisa menjadi wajib dalam kondisi tertentu misalnya nikah itu hukum asalnya Sunnah, namun bisa menjadi wajib jika dikondisi seseorang harus menikah apabila tidak ditakutkan akan terjerumus ke zina. Sama halnya khilafah juga menjadi wajib dan hal ini berdasarkan pada kaidah berikut ini:

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu yang menjadi syarat bagi sebuah kewajiban, maka hukumnya juga menjadi wajib. Maksudnya sesuatu yang asalnya tidak wajib bisa menjadi wajib, apabila ia menjadi syarat terlaksananya suatu kewajiban. Khilafah sendiri menjadi wajib karena dengan khilafah perintah Allah yang wajib yang belum diterapkan saat ini seperti pencuri dipotong tangannya bisa terlaksana.

Saat ini sebagai kaum muslim kita belum melaksanakan perintah Allah SWT secara menyeluruh sehingga kita butuh khilafah untuk menjalankan semua perintah Allah. Ingatlah firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah [2] : 208).

Jangankan potong tangan pencuri yang wajib, shalat wajib saja masih ada kaum muslim yang tidak melaksanakannya. Maka dari pada itu kita sangat membutuhkan khilafah untuk totalitas dalam berislam.

Dalam khilafah memilih pemimpin tidak serumit demokrasi. Dimana pemimpin yang dipilih adalah mereka yang benar-benar memahami Islam dan tanggung jawab sebagai pemimpin. Sebagaimana dahulu Abu Bakar dipilih menjadi Khalifah karena ketaatannya. Ia bisa menjaga Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia sehingga tercapailah kehidupan yang rahmatan lil alamin. Kemudian saat memilih Umar pun awalnya Umar menolak karena ia paham beratnya menjadi pemimpin umat. Namun karena ketakwaannya ia bisa membawa masyarakat menuju kesejahteraan dan kehidupan yang diberkahi Sang Pencipta.

Jadi saat ini tugas kita adalah bersatu untuk mewujudkan khilafah. Sebagaimana dahulu orang Yastrib (Madinah) bersatu untuk hidup dengan Islam hingga Rasulullah Saw hijrah dari Mekkah ke Madinah dan mengatur kehidupan mereka disana. Rasullullah Saw menjadi Nabi sekaligus pemimpin kaum muslim yang mendakwahkan Islam ke penjuru dunia. Diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin hingga Khalifah terakhir kaum muslim di Khilafah Utsmani di Turki. Telah menorehkan kehidupan yang sejahtera bahkan pernah terjadi kisah di wilayah Afrika dimana mereka tidak menemukan orang yang wajib menerima zakat. Saking kayanya Negara saat itu. Hewan-hewan pun hidup rukun tidak saling merebut makanan karena kehidupannya diridhoi Allah. Tidakkah kita menginginkan kehidupan demikian? Wallahu alam bii sawwab. (*)