Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego
Pegiat Politik Gagasan
_____
PEMILIHAN umum pada tanggal 14 Februari 2024 telah dilaksanakan. Pleno pada tingkat TPS dan Kecamatan sebagian besar sudah selesai tinggal menunggu pleno KPU di tingkat Kabupaten/Kota.
Sebelum pleno pada tingkat Kabupaten selesai perolehan suara di internal partai dan masing-masing partai sudah teridentifikasi. Bahkan perangkingan perolehan kursi partai politik yang masuk parlemen sudah diketahui.
Selama pemilihan berlangsung banyak fenomena dan fakta menarik dan menyayat hati ditemukan. Mulai dari ekspansi kepungan politik transaksional hingga politik gagasan. Dua kutub pemikiran ini mengalami pertarungan dahsyat untuk menjadi pemenang kontestasi.
Namun, fakta di lapangan politik transaksional tampak unggul mendominasi. Apa indikatornya? Politik gagasan pada level calon legislatif tingkat Kabupaten yang dikampanyekan berbulan bahkan bertahun-tahun marwahnya tercerabut akibat hegemoni transaksional. Istilah serangan fajar hingga pemberian penghargaan (reward) pasca pencoblosan pun acap kali terjadi. Namun, sayangnya pengawasan di tingkat bawah masih jauh dari harapan. Sudah ditemukan indikasi pelanggaran pemilu tetapi masyarakat tidak memiliki bukti foto, video atau rekaman. Sehingga kasusnya tidak dapat dilaporkan ke Bawaslu.
Tidak hanya politik uang dugaan pelanggaran pemilu di tingkat TPS pun kerap kali ditemukan pada saat hari h pencoblosan. Seperti yang ditemukan di TPS 5 Desa Ngidiho terjadi penggelembungan suara kemudian dihitung ulang hingga suara para caleg terkoreksi. Kasus ini diduga akibat dari politik uang antara kandidat dan pihak penyelenggara di tingkat TPS (Halmaherapost.com, 2024). Dan masih banyak kasus pelanggaran pemilu di beberapa desa terjadi dugaan pelanggaran pemilu hingga berujung pada pemungutan suara ulang (PSU).
Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya karena mental kandidat, penyelenggara dan masyarakat kita pada akar rumput belum siap menerima politik gagasan secara totalitas. Hal ini karena efek praktik politik hitam pada masa lalu kemudian diterapkan kembali pada hari ini. Politik uang sengaja dihidupkan ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan.
Dari rangkaian pemilu yang sudah berlangsung ketika diamati secara komprehensif maka cita-cita masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya untuk memilih wakil rakyat yang terbaik bak panggang yang jauh dari api. Pilihan masyarakat yang ideal ini mengalami dekadensi dan disorientasi karena iman politik masyarakat yang lemah akibat politik transaksional.
Manuver politik lewat kekuasaan, bantuan rumah ibadah, sumbangan duka, bantuan sembako dan sebagainya menjadi juru kunci kemenangan. Sementara para caleg yang berpotensi, cerdas, bermutu, dan berkualitas tetapi tidak memiliki dana terpaksa harus tersingkir.
Ini fakta politik hari ini yang terjadi di depan mata. Visi misi dan program kandidat tidak lagi menjadi parameter masyarakat dalam memilah, memilih dan menentukan pilihan politiknya. Alih-alih mereka berdalil ini persoalan kebutuhan, keluarga, suku dan lain-lain.
Yang rugi siapa? Sudah jelas rakyat sendiri. Lima tahun adalah waktu yang lama dan panjang. Masyarakat siap-siap menjadi penonton dan menikmati berbagai macam ketimpangan pembangunan. Kenapa begitu? Karena hak-hak politik rakyat akan sulit dikawal dan dituntaskan.
Hal di atas selaras dengan pemikiran R. Graal Taliawo (2023), seorang pegiat politik gagasan Maluku Utara. Bahwa memilih pemimpin secara transaksional atau politik uang maka akan melahirkan pemimpin yang korup. Pemimpin yang korup sudah pasti melahirkan kebijakan yang korup. Dan kebijakan yang korup sudah pasti mengorupsi kesejahteraan rakyat.
Berangkat dari pandangan tersebut mengafirmasikan bahwa politik transaksional merupakan politik hitam, kotor dan jahat karena bertentangan dengan hati nurani dan nilai-nilai demokrasi. Lebih jauh, politik ibarat pedang bermata dua di satu sisi membawa manfaat jika jatuh di tangan wakil rakyat yang bermutu dan amanah dan pada sisi lain membawa kehancuran jika jatuh di tangan wakil rakyat yang salah.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan jika rakyat salah memilih wakilnya maka hak-hak politik rakyat seperti hak mendapatkan kesejahteraan, hak mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu, hak mendapatkan kesehatan yang prima, hak mendapatkan perlindungan keamanan lingkungan, keselamatan dan ketertiban mustahil tercapai. Wallahualam bissawab. (*)