Opini  

Pelanggaran Pemilu Tidak Kadaluwarsa?

Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego
Pegiat Politik Gagasan

_____

SEBAGAI warga negara yang baik yang menjunjung tinggi nilai etika berdemokrasi maka harapannya melalui pemilu dapat melahirkan wakil rakyat yang bersih, jujur, adil dan memiliki kualifikasi. Dalam konteks Indonesia, kita sudah melaksanakan pemilu serentak pada 14 Februari 2024. Namun sayangnya, pemilu kali ini di satu sisi menimbulkan kegembiraan dan pada sisi lain menimbulkan tsunami politik akibat terdapat beberapa oknum calon wakil rakyat diduga melakukan pelanggaran pemilu berupa politik uang.

Sebelum melangkah ke substansi permasalahan, terlebih dahulu kita memahami makna dari pelanggaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2024) pelanggaran adalah perbuatan (perkara) melanggar, tindak pidana yang lebih ringan daripada kejahatan. Jika digabungkan maka ada pelanggaran berat Ham, pelanggaran besar, pelanggaran biasa, pelanggaran hak cipta, pelanggaran pidana, pelanggaran pribadi, pelanggaran serupa, dan pelanggaran terhadap kewajiban hukum.

Dari definisi di atas, menimbulkan pertanyaan apakah pelanggaran hukum bisa kadaluwarsa? Misalnya ketika terjadi politik uang maupun pelanggaran pemilu lain seperti menjanjikan/memberikan uang/materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

Terkait landasan hukum larangan dan ancaman politik uang ini sudah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 pada pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Kemudian termaktub dalam PKPU No. 20 Tahun 2023 Pasal 72. Seperti tertuang dalam pasal 280 ayat (1) huruf j menyebutkan, “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.”

Kemudian untuk sanksi pidana politik uang. Dalam pasal 523 ayat 1 menyebutkan, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24 juta”.

Berpijak dari dasar hukum di atas dapat dipahami bahwa politik uang (money politic) merupakan pelanggaran pemilu. Politik uang merupakan upaya untuk melakukan suap-menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa supaya suara pemilih dapat diberikan kepada penyuap. Politik uang juga memiliki ragam jenis. Beberapa hal dapat dikatakan politik uang seperti pemanfaatan fasilitas negara untuk keuntungan pribadi kaitannya dengan pemilu dan pilkada. Jenis lain yaitu berupa pemberian fasilitas umum menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pribadi (Kompas.com, 2023).

Hukuman bagi pelaku politik uang tidak main-main, bisa didiskualifikasi sebagai peserta pemilu hingga ancaman pidana penjara dan denda. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Kordiv Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Provinsi Maluku Utara, Adrian Yoro Naleng bahwa, “Sanksi paling tepat bagi para pelaku politik uang adalah diskualifikasi agar menimbulkan efek jera. Menurutnya, ganjaran diskualifikasi ini setimpal karena pelaku politik uang ini sangat mengurangi kepercayaan masyarakat akan kualitas pemilu, bahwa kandidat yang menang adalah calon berkantong tebal yang mampu membeli suara rakyat”. Hal sejalan juga disampaikan oleh Kordiv Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Halut, Jenhanfer Lahi, “Kita menginginkan proses Pemilu berjalan tanpa politik uang. Sebab, politik uang ini mencederai proses demokrasi”, (Independenpos.com, 2024).

Beberapa kasus pelanggaran pemilu yang terjadi di Kabupaten Halmahera Utara mulai dari Dapil I sampai Dapil IV dalam tahapan pemilu hingga pasca pemilu ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Bagaimana tidak, pelanggaran pidana pemilu seperti yang terjadi di TPS 5 Desa Ngidiho, Kecamatan Galela Barat, dimana diduga kuat terjadi perselingkuhan antara para caleg dengan Ketua PPS untuk dilakukan penggelembungan suara. Kemudian diprotes oleh Panwas Desa dan saksi dari partai lain hingga dilakukan perhitungan surat suara ulang. Dalam waktu yang sama akhirnya suara para caleg terkoreksi. Bahkan para caleg dan Ketua PPS sudah diperiksa Gakkumdu Halmahera Utara dan kasusnya ada yang sudah naik pada tahap II (penyidikan). Begitu juga kasus lain seperti yang terjadi di Desa Igobula sampai dilakukan PSU, Desa Soa Hukum, Kecamatan Kao Barat dan beberapa desa lainnya (Publikmalutnews.com, 2024).

Lebih jauh, kasus sebagaimana dipaparkan di atas merupakan sedikit contoh dari banyaknya kasus pelanggaran pemilu di Halmahera Utara yang sudah ditangani Gakkumdu. Namun, perlu diperhatikan bahwa kasus serupa juga terjadi di beberapa desa yang tidak dilaporkan secara langsung seperti terdapat bagi-bagi sembako, sumbangan kursi, belanga, dandang, sendok makan, gamis, dan lain-lain.

Kasus-kasus di atas apabila dilaporkan hari ini apakah sudah kategori kadaluwarsa atau masih berlaku? Jika masyarakat bersedia memberikan kesaksian dan terdapat barang bukti yang jelas, apakah Panwas dan Gakkumdu masih bisa mengkategorikan sebagai pelanggaran pemilu dan pelakunya harus ditindak? Tentu ini adalah pelanggaran pemilu dan seharusnya tidak kadaluarsa, pelakunya harus ditindak tegas sesuai dengan perintah Undang-undang Pemilu. Politik uang di Halmahera Utara harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Masih banyak pelanggaran pemilu yang terjadi tetapi terlewati begitu saja akibat dari kelemahan pengawasan. Jika, pelanggaran pemilu ini tidak diselesaikan secara jujur dan adil maka kepercayaan publik pasti menurun dan para caleg yang terpilih adalah buah dari politik uang.

Dengan demikian, kasus Ngidiho adalah pintu masuk untuk menelusuri kejahatan politik para caleg. Wajah demokrasi di Halmahera Utara sudah tercoreng. Gakkumdu perlu menginvestigasi ke TPS-TPS lain di setiap Desa di Dapil IV Galela-Loloda. Karena ada dugaan kejahatan politik para caleg ini terorganisir secara rapi. Dari kasus ini menunjukkan bahwa Bawaslu khususnya Panwas Kecamatan dan Desa tidak punya kemampuan pengawasan Pemilu. Salah satu kasus di antaranya adalah keterlibatan PNS dan Kepala Desa mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk memilih salah satu caleg sehingga di beberapa titik dengan leluasa mengkampanyekan bahkan mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk memilih caleg tertentu. (*)