Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego
Pegiat Politik Gagasan
_____
PEMILIHAN legislatif telah usai. Hal ini ditandai dengan berakhirnya pleno rekapitulasi perhitungan surat suara pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Para caleg yang terpilih dan perolehan kursi partai politik juga sudah diketahui tinggal menunggu pelantikan pada bulan Oktober 2024.
Dalam konteks pemilu kali ini memang tidaklah mudah karena selain mempersiapkan dan membangun infrastrukturnya juga terjadi berbagai macam permasalahan. Permasalahan selain pada aspek prosedur pemilu juga pada aspek perolehan angka-angka. Kemudian, masalah terkait sistem informasi rekapitulasi pemilu (Sirekap), dan berbagai permasalahan lainnya.
Lebih jauh, para caleg juga ditemukan banyak yang nakal. Misalnya, pada beberapa kesempatan mereka bersekongkol membayar para penyelenggara untuk menggelembungkan suara dengan cara mencoblos sisa surat suara, suara rusak ditambahkan ke caleg tertentu, saat perhitungan suara petugas membaca nama orang lain padahal bukan nama mereka yang dicoblos, menginput ke sirekap dengan angka yang tinggi padahal di form C1 suara hanya sedikit. Ketika dikoreksi oleh KPU, Bawaslu dan saksi dari partai politik di tingkat kabupaten mereka kemudian berdalil salah input, akhirnya dilakukan hitung ulang untuk perbaikan. Kemudian dugaan pemerintah desa dan ASN tidak netral mereka terlibat aktif memegang kandidat dengan cara menyuruh dan mengarahkan masyarakat untuk memilih dan menangkan salah satu kandidat.
Selanjutnya, modus operan dijual beli suara ini juga marak ditemukan. Mulai dari istilah serangan fajar hingga pemberian uang pasca pencoblosan. Jika dibandingkan dengan pemilu 2019, tentu memiliki ragam masalah tetapi pemilu 2024 memiliki masalah jauh lebih kompleks. Berbagai macam rentetan kekacauan mulai dari politik uang hingga politik identitas juga kerap kali ditemukan.
Pada titik ini tentu menjadi catatan penting bagi kita semua bahwa masa depan demokrasi Indonesia berada di ambang kehancuran. Momentum pemilu tidak lagi dijadikan sebagai medium untuk berkompetisi secara sehat, menyeleksi, memilah dan memilih wakil rakyat yang bermutu, berkualitas dan memiliki kualifikasi tetapi sebaliknya melahirkan pemimpin dari proses politik uang.
Sebetulnya, jika melihat wajah politik hari ini adalah potret politik masa lalu. Jadi, apa yang terjadi pada pemilu kita hari ini adalah bentuk pengejawantahan dari politik masa lalu. Para caleg yang sudah membiasakan membeli suara rakyat dan sebaliknya rakyat juga gemar dan senang menerima uang dari caleg akhirnya pemilu tidak melahirkan pemimpin yang beretika tetapi melahirkan pemimpin yang krisis etika.
Ruang politik gagasan semakin sempit di tengah gempuran politik uang. Ketika para caleg menawarkan politik gagasan rakyat kemudian mengatakan setujuh dengan cara “menganggukkan” kepala tetapi tiba pada saat pencoblosan mereka berdalil “ada uang ada suara”, ini sangat miris. Jadi, politik gagasan pada tingkat akar rumput dengan kondisi ekonomi masyarakat hari ini yang kian menjerit hanya menjadi seremoni, tidak bernilai praktis.
Untuk memutus mata rantai politik uang, salah satu solusi yang dapat diambil yaitu tindak para pelaku jual beli suara sesuai aturan yang berlaku. Ketika kasusnya sudah terpenuhi baik barang bukti dan saksi maka harus ditindak. Sehingga ada efek jera bagi mereka dan menjadi contoh bagi politisi yang lain. Gakkumdu harus benar-benar menegakkan supremasi Undang-undang pemilu. Marwah demokrasi ada di tangan kita semua, membiarkan tercerabut atau mengobati sehingga tidak meninggalkan luka bagi generasi yang akan datang.
Terlepas dari berbagai pandangan di atas, Halmahera Utara membutuhkan pemimpin yang cerdas dan beretika. Dan tentu mendapatkan pemimpin tersebut hanya dapat dilakukan melalui proses pemilu yang sehat, jujur dan adil. Pemilu diharapkan menjadi momentum untuk melahirkan pemimpin terbaik untuk memperjuangkan hajat hidup orang banyak. Memilih pemimpin secara transaksional maka akan melahirkan pemimpin yang korup dan melahirkan kebijakan yang korup bahkan merampas hak-hak politik masyarakat.
Beberapa daerah di Halmahera Utara masih terbelakang dan tertinggal dari aspek infrastruktur. Misalnya daerah Loloda Utara dan Loloda Kepulauan. Di sana ditemukan jalan masih banyak yang rusak, jembatan di beberapa kali belum dibangun, akses internet masih terputus-putus belum merata, listrik masih mati-hidup, dan ketimpangan pembangunan lainnya terdapat di depan mata.
Sehingga kita membutuhkan wakil rakyat yang beretika dan memiliki kemampuan untuk mengawal dan berbicara menyampaikan aspirasi rakyat ke pemerintah daerah dan pusat. Di pundak mereka terdapat harapan rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan yang prima. Konkretnya, hak-hak politik rakyat harus diwujudkan. Semoga! (*)