Opini  

Makan Siang Gratis atau Pudding Gratis?

Oleh: Rahmat A Abdina

_____

PERKEMBANGAN teknologi telah sedemikian cepatnya. Hal tersebut membuat setiap orang harus lebih peka dan membuka diri agar tidak sampai tergerus zaman. Hal ini selaras dengan perkataan Stephen Hawking yang fenomenal “Kecerdasan adalah kemampuan beradaptasi terhadap perubahan”.

Atas dasar inilah setiap orang dari berbagai latar belakang mencoba memanifestasikan diri sebagai orang cerdas menurut Stephen Hawking tersebut termasuk para politisi. Tahun politik membuat para politisi dituntut harus cerdas menyikapi perubahan untuk dapat memperoleh simpati masyarakat. Maka tak ayal muncul politisi-politisi dengan model dan motif kampanye yang terkesan nyeleneh namun berefek positif bagi kenaikan suara dalam Pemilu legislatif kemarin.

Mulai dari Cosplay jadi Ultraman hingga desain baliho yang kocak dipilih sebagai model kampanye para caleg. Model kampanye kocak dan unik juga banyak berseliwiran di media sosial. Dengan memanfaatkan perubahan teknologi, politisi menampilkan konten-konten di media sosial, bahkan ada caleg yang hanya modal kuota internet dengan memanfaatkan aplikasi Tiktok sebagai ladang kampanye.

Namun, tahukah anda bahwa model kampanye nyeleneh yang viral di Indonesia pada pemilu kali ini juga sudah dilakukan politisi di negara-negara lain puluhan tahun silam. Tepatnya pada tahun 1987, seorang tokoh politik di Inggris mencalonkan diri sebagai kandidat pemilu. Bukannya menampilkan wajahnya di baliho dan spanduk-spanduk, ia justru memakai jubah hitam dan menutup kepalanya dengan ember besar yang membuatnya dikenal sebagai Lord Buckethead.

Lord Buckethead lalu dikenal sebagai aktor satir yang kerap mengkiritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Inggris saat itu.

Tak hanya itu, di negara yang sama namun di waktu yang lebih silam, ada sebuah partai politik yang berdiri pada tahun 1983. Namun karena para pendirinya ialah sekumpulan pelawak, maka mereka menginginkan atmosfer politik yang lebih santai dan berbeda. The Moster Raving Loony Party menjadi satu-satunya partai dengan terobosan diluar nalar. Dalam kampanyenya, mereka menjanjikan pudding gratis untuk setiap orang jika mereka menang pemilu.

Akan tetapi, kampanye nyeleneh mereka justru berbuah manis layaknya pudding. Partai The Monster Raving Loony Party berhasil meraih beberapa kursi di parlemen Inggris ketika itu.

Kampanye pudding gratis punya korelasi dengan janji kampanye salah satu bakal calon presiden yang pada Rabu (20/3) malam telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Program makan siang gratis menjadi salah satu program yang dijanjikan pasangan Prabowo-Gibran dalam janji kampanye mereka.

Lantas, kalau disuruh pilih, mau makan siang gratis atau pudding gratis. Tentu makan siang gratis lebih cocok untuk kebutuhan nutrisi generasi. Sedangkan pudding justru sebaliknya. Selain itu, orang Indonesia mana yang lebih memilih pudding dibanding menu makan siang. Rasanya tak mungkin bila disandingkan keduanya.

Namun disatu sisi, program makan siang gratis ini oleh sebagian pengamat dianggap terlalu memaksakan. Pasalnya anggaran yang disedot dari program makan siang gratis mencapai 400 triliun rupiah. Angka yang cukup fantastis mengingat Indonesia masih harus memperhitungkan porsi anggaran di sektor penting lainnya.

Sedangkan kalau pudding gratis, ini terdengar sangat kocak. Karena, tidak semua orang akan suka pudding. Kemudian dari semua yang bisa digratiskan, kenapa harus pudding yang dipilih sebagai janji kampanye. Wajar saja, karena penggagas program ini ialah para pelawak. Mungkin program ini hanya bagian dari materi komedi yang ingin dipertontonkan untuk masyarakat. Sebagai pelawak mereka cerdas, tapi sebagai penyelenggara negara mungkin kurang tepat.

Oleh karena itu, mari kembali pada pernyataan Stephen Hawking diawal bahwa “Kecerdasan adalah kemampuan beradaptasi terhadap perubahan”. Jadi, program makan siang gratis itu hasil adaptasi perubahan untuk kecerdasan atau sebaliknya. Ataukah dari program ini akan melahirkan generasi-generasi cerdas!. Semoga demikian. (*)