Oleh: Basri Amin
_____
DALAM sebuah acara bersama dengan mahasiswa, seorang mahasiswa baru mengaku belum pernah naik pesawat udara. Suatu ketika saya dikunjungi sepupu dari Maros dan mengaku karena kunjungan itulah sehingga dia naik pesawat untuk kali pertama. Suatu waktu, seorang kenalan bercerita tentang pengalamannya mendampingi ratusan guru ke luar daerah dengan menggunakan pesawat udara. Ketika itu cukup banyak dari peserta rombongan (guru) tersebut yang baru kali pertama naik pesawat udara.
Tiga penggalan cerita ‘naik pesawat’ seperti ini relatif sama. Setiap orang punya ‘sebab’ dan cerita masing-masing untuk bisa menggunakan atau memanfaatkan mode transportasi canggih bernama pesawat udara itu. Dalam hal ini, uang menjadi penting, tapi tidaklah mutlak. Tak heran kalau ada orang yang punya uang banyak tapi tidaklah setiap saat kita lihat wajahnya di bandara. Ada juga orang yang sebenarnya adalah ‘orang biasa’, tapi karena jenis pekerjaannyalah yang membuat dia setiap saat naik pesawat ke mana-mana.
Kalangan pejabat, pengusaha dan profesional merupakan kelompok yang paling lincah menggunakan transportasi udara. Mereka bahkan bisa memilih berbagai layanan, kelas dan jenis pesawat yang dipakainya.
Bagi mereka, ada-ada saja urusan yang harus mereka kerjakan di luar daerah, kebanyakan di Jawa. Pada beberapa kasus, mereka bahkan sengaja membuat kegiatan di Pulau Batam agar lebih mudah menyeberang ke Singapore meskipun hanya untuk beberapa jam –untuk sekadar melampiaskan rasa takjub di negara-kota maju itu. Dan akan bangga pulang membawa cerita dan ole-ole untuk kerabat, plus foto-foto yang segera dipamer di media sosial-nya.
Kebanggaan dan kebahagian hidup di era modern rupanya bukan hanya harus ditopang secara material, tapi juga makin mensyaratkan faktor kultural. Simbol, gaya dan status menjadi bagian penting. Seseorang membutuhkan mobilitas dan kebiasaan tertentu untuk bisa menempatkan dirinya sebagai warga dari “kelas utama” di masyarakat.
Makin tinggi status seseorang biasanya dia makin sering “terbang” kemana-mana, dengan berbagai alasan dan tujuan. Terkadang tujuan tidak terlalu penting tapi mereka (terlanjur) sudah terbiasa “membuat alasan” sedemikian rupa guna membenarkan mobilitasnya. Gaya orang pun makin berubah: makin suka dilayani!.
Hasrat untuk menjadikan “santai” sebagai gaya dan kesadaran semakin mengemuka.
Negara maju memang sering ditandai dengan melihat bagaimana kesibukan dan infrastruktur bandara-bandaranya. Sejak 2003, saya termasuk beruntung karena bisa menyaksikan dan mencermati beberapa airport besar di beberapa negara maju. Mobilitas orang demikian tinggi dengan arus tujuan, aliran modal dan bisnis jasa yang demikian pesat di setiap bandara itu. Banyak bandara yang bahkan tak terasa sebagai bandara, tapi sebagai “tempat belanja”.
Satu hal yang sering dilupakan bahwa bandara adalah juga simbol pencapaian budaya sebuah bangsa atau masyarakat. Bandara, pertama-tama adalah karya arsitek dan teknologi yang menopang ekonomi. Selanjutnya, bandara akan segera berubah menjadi sebuah simbol dan citra harga diri ketika kecanggihan (fasilitas), sistem manajemen, budaya pelayanan, rasa aman dan perilaku yang terbentuk “di bandara” memediasi terciptanya kenyamanan dalam berbagai urusan dan kebutuhan.
Kita sering tidak menyadari bahwa airport sesungguhnya menjadi cermin banyak hal. Kita akan segera tahu perkembangan kemakmuran dan kelas-kelas sosial yang terbentuk di sebuah daerah dengan melihat bandaranya. Di lapangan parkir, variasi kendaraan yang berjejer dan di dalam bandara bagaimana jenis-jenis orang yang datang dan pergi adalah gambaran sederhana bagaimana roda budaya dan ekonomi sedemikian rupa bekerja.
Untuk kita di Gorontalo dan juga di beberapa wilayah di tanah air, kehadiran pesawat khusus (baca: pesawat kargo) nyaris belum terlihat. Ini sebagai pertanda bahwa arus barang belum sepenuhnya mengandalkan airport. Ini juga menjadi tanda bahwa unsur kecepatan (speed) pengadaan, permintaan dan distribusi barang dalam kehidupan ekonomi kita masih terbatas.
Dalam jangka waktu panjang, bandara tidak sekadar sebagai tempat untuk “pergi” dan “datang” –baik barang dan orang—(people and goods), tapi akan segera menjadi ruang di mana isu kenyamanan (leisure), kemakmuran (prosperity) dan keamanan (security) akan berjumpa satu-sama lain dalam sebuah dinamika yang sangat tinggi.
Khusus untuk soal keamanan, saat ini sudah harus menjadi perhatian serius, termasuk di Gorontalo. Jaringan obot-obatan dan narkoba, termasuk jenis pengorganisasian terorisme, tak bisa lepas dari posisi dan peran bandara. Kita sudah sangat tahu bahwa isu keamanan dan kenyamanan penerbangan adalah isu internasional. Sangat mudah menjadi isu publik dan karena itu akan mudah pula memberi dampak di tingkat lokal.
Visi baru butuh kita ciptakan percepatannya. Masyarakat kita makin tidak gagap dengan kecanggihan dan terbukanya moda transportasi udara yang kian intensif. Bahwa masih banyak warga kita yang tak punya pengalaman terbang di udara dan menggunakan transportasi udara guna mendukung mobilitas hidupnya, itu bukanlah alasan untuk kita abai dengan budaya transportasi ini.
Kelas menengah sudah semakin besar. Pendapatan orang di berbagai kelompok makin meningkat. Tentu tidak semua orang adalah “orang penting” dan punya “urusan penting” untuk harus ke luar daerah. Sehingga, yang penting dibentuk adalah membuka budaya baru dalam menjalani kehidupan, sebut saja “budaya wisata”. Sebagai akibatnya, tawaran-tawaran paket perjalanan dan pemasaran agen-agen perjalanan harus mampu menggarap peluang pasar (baru) bernama traveling di masyarakat kita. Silahkan digerakkan. (*)
Penulis adalahDirektur Eksekutif Pusat Analisis Regional (PuSAR) Indonesia
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com