Oleh: Gusti Ramli
Pemuda Desa Saria
_____
PADA suatu malam yang penuh harap, saya duduk di teras rumah kepala desa dengan ditemani seorang warga yang sedang menyeruput segelas kopi buatan istri tercinta. Pun demikian dengan saya yang juga meneguh secangkir kopi yang tersedia di atas meja, sembari meneguh isi pada gelas mungil itu, saya memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan, memandang wajah Desa Totala Jaya di Kecamatan Loloda Selatan yang jauh dari perhatian pemerintah.
Secara umum, pembangunan infrastruktur di Loloda masihlah sangat kurang. Wilayah kepulauan ini bisa dikatakan jauh dari perhatian pemerintah, padahal kita tahu Loloda memiliki potensi wisata alam yang luar biasa. Salah satunya air terjun kahartola yang menjadi primadona dunia.
Apalah daya masyarakat Totala Jaya yang hidup sudah puluhan tahun lamanya namun belum merasakan pembangunan, kesejahteraan dan juga keadilan. Terusik di dalam hati saya untuk turut menyuarakan hak masyarakat Totala Jaya agar mendapatkan keadilan dan kesejahteraan.
Wajah Desa Totala Jaya yang berada di pedalaman bumi Halmahera Barat saat ini terlihat suram, mungkin itu yang bisa saya sematkan untuk desa mungil nan indah dengan pemandangan yang ada. Sebelumnya desa ini berada di bibir pantai Kepulauan Loloda, namun letak geografis perkampungan pada saat itu terasa sempit dan kecil untuk generasi yang akan datang, maka beberapa orang tua mencoba untuk mencari lahan yang luas dan besar untuk keberlangsungan hidup mereka dan generasi berikutnya.
Pengalaman dan ilmu yang cukup saya dapati saat bertemu dengan seorang kakek tua berjenggot panjang pada suatu sore, beliau menceritakan perjuangan mereka saat mencoba untuk memasuki belantara hutan di Loloda untuk menjadikan tempat tinggal mereka dan generasinya kelak. Kakek tua itu bernama Uria Ollo, lahir di Desa Totala, Kecamatan Loloda pada tanggal 2 April 1947, tahun kelahiran beliau sama dengan tahun berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam, itu yang membuat saya ingin bercakap-cakap dengan waktu yang cukup lama bersamanya. Di sisi lain, beliau adalah salah satu promotor pemindahan Desa Totala yang sebelumnya berada di bibir pantai Loloda dan saat ini sedikit masuk ke arah pedalaman hutan Loloda atau yang saat ini dikenal dengan Desa Totala Jaya.
Kata beliau, pada tanggal 2 Februari 1979 mereka pindah ke Desa Totala Jaya. Awalnya terdapat delapan kepala keluarga, di antaranya kakek dari (Nimrot Kene), ayah dari (Yakob Mudja), Esau Kene, Saskar Utum, Djuma Kanyo, Nataniel Yamo, Sakaria Kanyo, Abel Mudja. Eli Tutu. Selanjutnya pada tahun 1984 ada sepuluh kepala keluarga yang menyusul untuk menempati desa ini. Dengan jumlah penduduk pada tahun 2019 sebanyak 166 jiwa dan luas wilayah sebesar 12,86 km itu, mereka menaruh harapan untuk tetap menempati tanah ini.
Bermodal parang (pedang) dan cangkul serta jiwa gotong royong yang tinggi antarmereka, meskipun sebagian dari pendekar ini telah kembali menghadap sang pencipta, namun anak cucu mereka hari ini telah merasakan buah dari perjuangan para leluhur.
Saya pribadi merasa kagum pada kakek tua itu, dengan usia yang sudah menginjaki 77 tahun ini, beliau belum merasakan pembangunan infrastruktur yang baik dan layak. Desa yang diapit oleh lereng dan pegunungan itu sangatlah jauh dari kata kesejahteraan dan keadilan.
Terdapat dua akses untuk kita sampai ke desa ini, yang pertama kita harus berjalan kaki sejauh satu kilometer. Kita akan menyusuri hutan dan menuruni lereng gunung yang curam, akses yang kedua adalah menggunakan perahu (bodi fiber) menyusuri air kali butu sejauh kurang lebih dua kilometer. Kedua akses jalan ini telah dilewati oleh masyarakat sekitar selama 45 (empat puluh lima) tahun lamanya.
Mayoritas masyarakat Desa Totala Jaya menggeluti sektor pertanian, namun hasil tani mereka menjadi sia-sia karena keterbatasan akses jalan yang menghubungkan antardesa sehingga wilayah pemasarannya pun terbatas. Saya masih meyakini bahwa kemajuan dan peningkatan ekonomi daerah terdapat pada tiga hal pokok, yakni pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur umum.
Sungguh disayangkan atas sikap dan perbuatan para pelaku birokrasi yang hanya meninggalkan janji saat momentum pemilu tiba. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembangunan jalan, pada tahun 2018 lalu, Pemerintah Provinsi Maluku Utara telah melakukan pembukaan lahan untuk dijadikan akses jalan raya yang menghubungkan antardesa. Namun sayangnya progres pengerjaan tersebut hanya berkisar 20% saja.
Selama lima hari saya berada di desa ini, selain jalan dan jembatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, mereka juga berharap pemerintah dapat memberikan kestabilan listrik dan juga irigasi air bersih.
Secara pribadi saya menilai Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dari masa ke masa, pemerintah daerah seakan-akan menutup mata dan telinga, sok menjadi pahlawan pada momentum pemilu tiba. Brengsek dan tidak bertanggung jawab terhadap hak kesejahteraan masyarakat Desa Totala Jaya.
Sebelum mengakhiri buah tangan ini, mewakili masyarakat di sana, saya mengundang secara terbuka untuk figur calon kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten, agar datang dan bersua wajah dengan mereka (masyarakat). Namun ingat, jangan datang untuk menanam janji dan harapan, tapi datang dengan kasih sayang dan niat melakukan perubahan. (*)