Opini  

Save Sawai Language

Oleh: Raihun Anhar, S.Pd

Guru Bahasa Inggris

SAWAI Language (bahasa Sawai) adalah bahasa daerah di Halmahera Tengah. Keseluruhan wilayah di Halmahera Tengah menggunakannya kecuali Gebe yang tidak menggunakan bahasa Sawai. Kecamatan Weda hingga Patani menggunakannya dengan logat (accent) yang berbeda-beda. Misalnya orang yang tinggal di Weda berbeda logatnya dengan yang di Lelilef dan Kobe. Di Sagea juga berbeda dengan Patani. Namun, logat aslinya bisa kita dengarkan dari orang tua di Desa Lelilef dan Sawai Itepo (Kobe Pante), begitu kata para orang tua kita. Namun sayang kini nasibnya memprihatinkan, dimana ia terancam punah khususnya di Lelilef dan Kobe karena berkurang penuturnya dan generasi mudanya belum bisa berbahasa daerah.

Berbahasa Sawai (masawai) dalam bahasa Sawai tidak dikenal pada generasi milenial, gen Z dan gen Alpha. Jika ada pun hanya sedikit sekali. Hanya generasi baby boomer dan gen X saja yang bisa berbahasa Sawai. Jika orang tua berbicara kepada anaknya dengan bahasa Sawai itupun hanya sedikit dan hanya pada generasi di atas gen Z. Orang tua sekarang tidak lagi berbahasa Sawai kepada anak-anaknya. Itulah yang menyebabkan anak muda sudah tidak bisa menuturkan. Beberapa anak muda khususnya di kedua desa Lelilef hanya mengerti namun tidak terbiasa berbahasa Sawai. Anak-anak gen-Z (yang lahir tahun 1995-2010) dan gen Alpha (yang lahir tahun (2011-2025) lebih parah lagi, mereka bahkan ada yang tidak mengerti dan tidak bisa menuturkan. Berbeda dengan Sagea yang anak-anak usia 4 tahun saja bisa berbahasa Sawai dan terbiasa berkomunikasi dengan bahasa daerah.

Mengapa di Sagea generasi mudanya terbiasa berbahasa Sawai sedangkan di Lelilef dan Kobe tidak? Ada satu hal yang sangat menonjol yaitu di Sagea setiap orang tua berbicara kepada anaknya menggunakan bahasa Sawai. Atau dapat dikatakan bahwa di Sagea masawai sebagai bahasa ibu mereka. Mereka dalam interaksi sosial juga berbahasa daerah. Kebiasaan inilah yang membuat anak-anak terbiasa berbahasa daerah sejak kecil hingga dewasa. Hal itu bisa dilihat dari anak-anak Sagea yang begitu santai berbicara dengan orang tua baik di kampung sendiri maupun wilayah Halteng lainnya dengan bahasa Sawai dengan lancar dan percaya diri.

Sedangkan di Lelilef dan Kobe orang tuanya hanya berbahasa daerah (masawai) kepada sesama mereka, tetapi kepada anak-anaknya menggunakan bahasa hari-hari. Dengan demikian maka wajar jika anak-anak muda di Lelilef dan Kobe tidak terbiasa berbahasa daerah.

Hal ini tentu harus diperhatikan karena Lelilef dan Kobe adalah wilayah yang mestinya juga terbiasa masawai seperti Sagea. Sehingga tidak terjadi kepunahan bahasa tersebut mengingat kedua desa ini adalah tempat dimana bahasa itu dilahirkan. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan atau melestarikan bahasa Sawai adalah dengan membiasakan bahasa tersebut dalam lingkungan sosial. Bisa juga dilakukan dengan membuat perlombaan pidato atau cerita menggunakan bahasa Sawai secara umum setiap tahunnya. Bisa juga dijadikan sebagai pelajaran tambahan di setiap jenjang sekolah dari SD-SMA/SMK.

Bahasa Sawai ini pun pernah diteliti oleh seorang bule namanya Roni. Ia meneliti bahasa ini bertahun-tahun lamanya hingga hidup bersama masyarakat. Ia juga membuat salah satu buku berbahasa Sawai yang berisi dongeng yang dikenal dengan “momumen Sawai”. Buku ini pada awal tahun 2000-an kami masih menemukan di perpustakaan sekolah. Akan tetapi sekarang buku tersebut hilang. Ini pun menyulitkan kita untuk memperkenalkan bahasa Sawai pada anak SD hingga SMA. Jika buku tersebut masih ada bisa sedikit membantu mengenal bahasa Sawai di lingkungan sekolah.

Membiasakan bahasa daerah pada generasi muda sangatlah penting untuk keberlangsungan bahasa tersebut. Jika tidak dibiasakan bahasa tersebut pada generasi hari ini maka akan terjadi kepunahan bahasa. Mengingat jika penuturnya hanya orang tua saja dan jika mereka meninggalkan dan belum diajarkan pada anak-anaknya bahasa Sawai maka punahlah bahasa tersebut. Inilah yang sedang terjadi pada bahasa Sawai dan generasi muda di Lelilef dan Kobe.

Menjadi tugas bersama untuk kembali memperkenalkan bahasa daerah kepada generasi muda hari ini. Generasi muda pun harus berusaha untuk bisa menuturkan dan memahami bahasa daerahnya sebagai kearifan lokal (budaya) yang perlu dijaga. Keduanya harus bekerja sama untuk mengatasi ancaman punah bahasa Sawai.

Kami sebagai generasi muda khususnya di Lelilef sangat merasa kesulitan untuk berbahasa Sawai. Hal ini dikarenakan kurangnya kosa kata yang kami ketahui, tidak terbiasa dengan pengucapannya serta malu menuturkannya. Walhasil kita tidak bisa masawai.

Mengapa kita harus melestarikan bahasa daerah? Karena bahasa daerah adalah salah satu budaya yang baik untuk dijaga. Ada keindahan di dalamnya dilihat dari kosa katanya yang unik, cara pengucapannya, intonasi, dan unsur lainnya. Sehingga menjaganya juga adalah suatu kebaikan yang harus diupayakan.

Bahasa adalah sarana komunikasi, dengan bahasa kita bisa menyampaikan pendapat. Bahasa daerah juga bisa membantu kita dalam komunikasi dengan orang tua, teman, atau kerabat di saat kita ada di keramaian dan tidak mau pembicaraan kita diketahui banyak orang. Itulah salah satu keuntungan bisa berbahasa daerah.

Akan tetapi jangan kita gunakan bahasa daerah dengan salah. Misalnya kita menggunakan bahasa daerah untuk menggibahi teman dari daerah lain. Jangan juga berbahasa daerah dipakai untuk menghujat orang yang salah untuk memuaskan hati lalu diposting di media sosial yang dilihat oleh banyak orang. Maka dari itu penggunaan bahasa yang baik dan benar memposisikannya juga perlu diperhatikan mengingat kita hidup bermasyarakat yang berbeda-beda suku dan bahasa. Jangan menjadikan perbedaan untuk saling membenci, namun jadikan perbedaan sebagai pengenalan satu sama lain dan saling mencintai dalam setiap perbedaan seperti semboyan Halteng yakni Fagogoru. Masolo bot tafsilen ite bot masawai. (*)