TERNATE, NUANSA – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun Ternate mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menyerukan Save Maluku Utara.
Seruan itu perlu disampaikan, karena di mata lembaga mahasiswa di universitas ternama di Malut ini, praktik pemerintahan di Provinsi Maluku Utara makin amburadul dan memprihatinkan.
“Masalah di Maluku Utara ini tidak berkurang, malah bertambah. Mulai dari masalah kerusakan lingkungan, SDM buruk, praktik birokrasi bobrok, hingga praktek korupsi yang semakin merajalela,” kata Ketua BEM Unkhair, Junaidi Ibrahim.
Menurutnya, akar masalah tersebut ada pada pemimpin Maluku Utara yang cenderung pragmatis. Ia menilai, selain tak punya konsep, pemimpin Maluku Utara tidak punya nyali untuk berpihak dan memperjuangkan hak-hak masyarakat.
“Pemimpin kita tak punya nyali untuk bersuara kepentingan masyarakat ke pemerintah pusat,” ujar Junet, sapaan karib Junaidi itu.
Sementara, bukti dari sikap pragmatis memimpin Maluku Utara itu, adalah keterlibatan mantan gubernur Abdul Gani Kasuba bersama sejumlah kepala SKPD-nya dalam kasus suap dan korupsi.
“Ini menunjukkan gubernur lebih mementingkan uang daripada kualitas kepala SKPD. Lebih utamakan keperluan diri sendiri daripada kepentingan masyarakat,” tegas Junaidi.
Tak heran, dengan keterlibatan para pimpinan birokrasi dalam kasus korupsi itu membuat mereka tak lagi berwibawa, terutama di depan bawahan. Karena itu, bawahan juga kehilangan keteladanan.
“Sejumlah ASN Pemprov Malut yang dikabarkan ditangkap di Jakarta karena pakai narkoba itu, bagi saya, bagian dari mereka kehilangan keteladanan kepemimpinan,” katanya.
Dari deretan problem masalah di tubuh pemerintahan Maluku Utara itu, kata Junaidi, tak ada lagi yang bisa diharapkan masyarakat.
Junaidi juga menyoroti statement Presiden Jokowi, termasuk data yang dikeluarkan Bank Indonesia di akhir tahun 2022 tentang pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang mencapai angka 27 persen.
Baginya, pertumbuhan itu adalah hasil dari hilirisasi industri pertambangan yang saat ini tidak berbanding lurus dengan kondisi ekonomi masyarakat.
“Banyak aktivis mahasiswa hingga akademisi ikut mengomentari pernyataan Jokowi tersebut. Tapi, tidak ada satu pun komentar dari pemerintah daerah yang ada di Maluku Utara. Ini patut dipertanyakan,” kata Junaidi.
Padahal menurutnya, capaian industrialisasi di bidang pertambangan itu, justru lebih besar mudaratnya. Terutama bagi masyarakat di lingkar tambang yang mengalami berbagai masalah, mulai dari perampasan ruang hidup hingga menanggung berbagai penyakit yang muncul akibat kerusakan lingkungan.
Dari deretan masalah itu, sambung Junaidi, pemimpin daerah di Maluku Utara, mestinya tampil sebagai representasi negara yang ada di daerah. Kepala daerah harus mampu mendeteksi masalah di daerah dan menyampaikan ke pemerintah pusat. Bukan turut mengekor kemauan pusat.
“Jika pemimpin pun tidak lagi bisa kita menaruh kepercayaan dan harapan, maka saya kira saatnya rakyat Maluku Utara bergerak. Elemen rakyat sudah waktunya menyalakan tanda merah, serukan Save Maluku Utara,” pungkasnya. (tan)