Oleh: Sefnat Tagaku
_____
MEMULAI catatan ini, penulis sedikit mengutip perkataan Otto Bauer yang dituliskan oleh Armaidy Armawi dalam buku yang bertajuk: “Nasionalisme dalam Dinamika Ketahanan Nasional”, bahwa nasionalisme adalah suatu bentuk kesatuan perangai atau karakter yang diakibatkan karena adanya perasaan senasib (2019).
Ungkapan di atas dengan jelas memberikan gambaran bahwa lahirnya paham nasionalime, karena adanya perbedaan yang mengikat pada sebuah kesamaan perasaan (fellings). Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa paham (nasionalisme) bertujuan untuk menyamakan kesatuan ‘perasaan’ (cita-cita, budaya, wilayah, dll) dalam sebuah kehidupan lingkungan masyarakat.
Di Indonesia, kekuatan nasionalisme mulai terlihat di saat ada kesadaran atas penderitaan masyarakat akibat dari proses penindasan yang dilakukan bangsa asing (A. Kardiyat Wiharyanto: 2016). Perasaan (penindasan) itulah kemudian mendorong para pemikir bangsa untuk menyamakan persepsi dengan satu cita-cita, bahwa Indonesia harus merdeka dari tangan penjajahan.
Artinya, filosofi dari nasionalisme yang dimaksud dapat menjadi kekuatan besar untuk ikut mendorong sebuah kemajuan, karena adanya solidaritas suku, budaya, bahkan agama pada suatu negara atau daerah. Maka sangat penting bagi suatu negara atau daerah yang memiliki keberagaman pada masyarakatnya untuk menanamkan paham dan nilai dari nasionalisme.
Sekurang-kurangnya, Rizky Amalia melalui risalahnya, dia membeberkan enam dampak positif nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni identitas bangsa yang kuat, kesatuan dan solidaritas, pemeliharaan kedaulatan dan keutuhan, pembangunan ekonomi berkelanjutan, diplomasi yang kuat dan partisipasi politik yang aktif.
Bumi Saruma dan Nasionalisme
Bumi Saruma merupakan penyebutan lain dari Kabupaten Halmahera Selatan, salah satu daerah di Provinsi Maluku Utara yang dimekarkan pada tahun 2003. Dilansir dari profil Pemerintah Daerah, wilayah ini sebelumnya dikuasai oleh kesultanan. Hal itu bersamaan dengan pembagian wilayah Swapraja Kerajaan Moloku Kieraha pada tahun 1930, menjadi tiga, yakni Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Bacan.
Secara harafiahnya, Bumi Saruma diartikan sebagai sesama saudara atau teman. Artinya, setiap orang yang menghuni negeri ini harus menganggap sesamanya adalah saudara atau teman. Dalam definisinya, ‘saudara’ diartikan sebagai bagian anggota keluarga (baik laki-laki, perempuan, yang muda atau tua). Itu berarti, ‘Saruma’ diletakan atas kesadaran keberagaman di bumi ini, baik suku, budaya, maupun agama.
Berdasarkan data statistik pemerintah daerah, tercatat kurang lebih ada enam agama yang dianut oleh masyarakat Halmahera Selatan, yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu. Sementara suku, antara lain Bacan, Tobelo, Galela, Makian, Kayoa, Buton, Bajo, Gorontalo, Jawa, Sanger dan beberapa suku lainnya.
Artinya, dari jumlah agama dan suku ini sekaligus memberi syarat bahwa Halmahera Selatan merupakan salah satu daerah yang masyarakatnya sangat beragam. Sebagaimana ciri khas Indonesia, begitu wajah di Bumi Saruma.
Dalam konteks yang demikian, daerah berslogan persaudaraan ini mesti dibangun di atas dasar paham nasionalisme tentu juga berdasarkan nilai kearifan lokal (Bumi Saruma) agar dapat merekat perbedaan pada bingkai kehidupan di negeri ini. Namun, hal ini tidak dapat diyakini hanya pada ungkapan kata, tetapi juga pada berbagai program dan kebijakan pemerintah daerah untuk menciptakan keadilan sosial.
21 Tahun Halsel dan Harapan
Satu bulan terakhir, ada perdebatan yang cukup serius di beberapa grup Whatsapp, bahkan di ruang-ruang diskusi terkait dengan kebijakan pemerintah daerah yang memberangkatkan orang umrah. Memberikan bantuan langsung untuk pembangunan rumah ibadah (masjid), serta membiayai kegiatan-kegiatan keagamaan (muslim).
Lalu hendak ada pertanyaan besar, mengapa biaya yang bersumber dari APBD seolah diperuntukan hanya pada satu komunitas agama, padahal kan ada Kristen, Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu?
Pada posisi ini, definisi Bumi Saruma ada dimana? Mungkinkah arti Saruma akan kemudian sebatas dijadikan sebagai narasi metafora yang dikumandangkan pada ruang-ruang pesta politik untuk mencuri hati demi sebuah kekuasaan? Atau ‘Saruma’ hanya menjadi sorga telinga bagi komunitas yang dianggap minoritas?
Pertanyaan-pertanyaan ini hendak saya jadikan sebagai bahan refleksi besar bagi kita sekalian dalam mensyukuri akan kebaikan pencipta atas 21 tahun Pemerintahan Kabupaten Halmahera Selatan dijalankan. Pertanyaan-pertanyaan ini pula menjadi bahan ingatan kepada penguasa negeri ini, bahwa daerah ini dibangun atas dasar persaudaraan, bukan pada ruang yang memisahkan mayoritas-minoritas.
Ibarat tubuh manusia yang memiliki banyak anggota (mata, tangan, hidung, telinga, kaki, dan sebagainya) yang selalu saling membutuhkan, begitu pun daerah ini. Ada banyak perbedaan, tetapi berada dalam rumah yang sama. Karena itu, mestinya segala hal yang bersumber dari rumah ini, harus juga dirasakan oleh semua anggota keluarga.
Selamat ulang tahun ke-21 Kabupaten Halmahera Selatan, daerah yang kaya akan potensi sumber daya alamnya dan semoga juga akan mengkayakan Sumber Daya Manusianya di bumi ini, sehingga daerah ini mewariskan pada generasinya bukan ‘malapetaka’ tetapi dengan sebuah kehidupan yang menghidupkan. (*)