Oleh: Trisna Amrida
_______
PEREMPUAN dan ruang publik tidak boleh dilepas-pisahkan. Keterlibatan perempuan dalam skala yang lebih besar harus terus digalakkan untuk semakin menyadarkan bahwa kaum perempuan memiliki potensi dan dapat dititipkan harapan untuk menjadi penyambung langkah-langkah kebaikan dan pengambil kebijakan di ruang publik.
Pemerintah dalam instrumennya, seperti yang tertuang dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Meskipun sayangnya, penyelenggaraan Pemilu 2024, mengalami pelanggaran administrasi mengenai target keterwakilan caleg perempuan sebesar 30% yang dilakukan pembulatan ke bawah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini sekaligus menegaskan bahwa, saat ini kita tengah mengalami musim gugur dalam keterwakilan perempuan politik di Indonesia. Padahal faktanya, pemilih perempuan terbukti memiliki loyalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Namun, loyalitasnya tidak berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan dalam parlemen dan kebijakan dari lembaga terkait.
Kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam berbagai lini politik tidak serta merta meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Perempuan kerap menghadapi hambatan akses informasi, norma-norma sosial yang mempengaruhi keputusan politik mereka, serta tantangan dalam partisipasi politik aktif. Dunia politik yang kerap diwarnai intrik kecurangan juga mengakibatkan kaum perempuan enggan terlibat politik.
Dalam kajian KISP yang digaungkan saat kegiatan pendidikan pengawasan pemilu partisipatif Maluku Utara, mengungkapkan beberapa tantangan perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilu.
1. Diskriminasi dan inkonsistensi regulasi. Misalnya, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, yang mengubah aturan menjadi pembulatan ke bawah terkait 30% kuota perempuan.
2. Ekosistem kompetisi belum sehat. Politik transaksional di pemilu, seperti dugaan jual beli nomor urut, jual beli suara, dan praktik suap dalam penghitungan suara, menjadikan perempuan makin tersisih dalam politik.
3. Stereotipe dan prasangka bahwa perempuan tidak sebaik laki-laki.
4. Peran ganda perempuan.
Selain itu, dalam pandangan saya salah satu tantangan yang dihadapi oleh kaum perempuan juga adalah biaya politik yang mahal serta keterlibatan dalam keikutsertaan sekolah politik, misalnya atau terhubung dengan berbagai informasi “kepemiluan”.
Tantang-tantangan ini terbukti dengan hasil pemilu DPR 2024 diproyeksikan meningkatkan angka keterwakilan perempuan menjadi 22,1% atau 128 kursi dari 580 kursi DPR. Angka ini lebih tinggi 1,6% dibanding pemilu 2019 dengan keterwakilan perempuan 20,5%. Meski begitu, keterwakilan perempuan masih di bawah 30%.
Maka, selain adanya regulasi pemerintah, sistem yang baik juga harus tercipta agar mendukung sepenuhnya perempuan untuk terlibat aktif dalam menjadi aktor pengawas partisipatif yang inklusif. Sehingga membangun kesadaran bagi perempuan untuk ikut terlibat dalam berbagai hal.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan perempuan dalam ikut berpartisipasi menjadi aktor pengawas partisipatif yang inklusif.
1. Ambil peran di lingkungan sekitar
Ekosistem yang sehat untuk mendukung sepenuhnya perempuan agar terlibat dalam ruang-ruang politik yang dibangun oleh perempuan itu sendiri. Maka, perempuan harus bersiap untuk turut mengambil peran di lingkungan sekitar. Hal ini dapat berjalan melalui sebuah wadah organisasi atau komunitas untuk menjalankan partisipasi masyarakat sipil.
Ada banyak sekali isu yang perlu dikawal pada kelompok rentan dalam pemilu. Misalnya isu keperempuanan, kelompok difabel, pemilih muda, masyarakat menengah ke bawah, masyarakat daerah 3T, atau beberapa kelompok lainnya.
Hal ini kemudian perlu diaktivasi dan memerlukan mobilisasi komunitas atau organisasi untuk kampanye kesadaran. Kampanye tentunya bisa dilakukan melalui media sosial, seminar, dan kegiatan masyarakat untuk mengajak lebih banyak partisipasi. Tentu saja, ini mendorong kesadaran agar praktik-praktik keselewengan dalam politik serta pemilu pada khususnya dapat dengan mudah diantisipasi.
2. Mendorong partai politik lebih inklusif
Berdasarkan Daftar Calon Tetap
(DCT) Pemilu 2024, 17 dari 18 partai
politik peserta pemilu 2024 gagal
memenuhi kewajiban afirmasi perempuan. Menjadi gambaran bahwa keberpihakan partai politik terhadap kelompok rentan perlu didorong. Kelembagaan partai politik yang inklusif perlu didorong. Beberapa hal yang dapat dilakukan partai politik adalah agar masif dalam menyelenggarakan pendidikan politik secara inklusif, tidak hanya untuk kader, tapi bisa saja terbuka untuk simpatisan partai tersebut. Hal lainnya bahwa partai politik perlu aktif dalam aksi mengakomodasi kelompok rentan, seperti difabel, perempuan dan anak muda. baik dalam proses kandidasi, maupun pengkaderan. Serta partai politik juga sepenuhnya mendukung inklusivitas, seperti kuota bagi perempuan, kaum disabilitas, dan kelompok minoritas lainnya. Tentu saja, untuk bukan hanya sekadar untuk menaikkan popularitas atau kepercayaan masyarakat terhadap partai, tapi lebih kepada kewajiban partai dalam hal menyeriusi persoalan tersebut.
3. Menjadi pemantau pemilu/pilkada
Terlibat dalam aktivitas pemantau pemilu/pilkada juga menjadi langkah yang harus dilakukan oleh perempuan agar memberikan kesadaran untuk tumbuh kembangnya ekosistem yang sehat dan ramah pada perempuan di ruang politik.
Dewasa ini, kita menemukan perempuan seringkali teriak untuk mendapatkan hak-hak di ruang publik. Tapi ketika diminta terlibat, seringkali acuh dan merasa tidak perduli. Sehingga kesempatan membuka ruang publik bagi perempuan berjalan seperti lingkaran. Berputar tanpa ada titik terang peningkatan.
Perempuan dalam aktivitas pemantau pemilu/pilkada dapat bersinergi dengan berbagai pihak dalam fokus memantau semua tahapan pemilu yang sesuai atau tidak dengan ketersediaan dan kapasitas kelembagaan sumberdaya yang ini bisa jadi pemicu gerakan perempuan untuk sadar mengisi ruang kosong dan berpartisipasi dalam setiap instrumen pemilu.
Sehingga, ke depannya perempuan yang tidak ingin terlibat menjadi peserta dalam pemilu dapat mengambil langkah taktis sebagai aktor pemantauan pemilu. (*)