Oleh: Novitasari
_____
PENERIMAAN Peserta Didik Baru (PPDB) tengah dibuka. Beragam praktik curang yang terungkap pada PPDB tahun-tahun sebelumnya rawan berulang. Bukan hanya karena tak ada perubahan ketentuan, yaitu Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB, pemerintah dan pemerintah daerah juga tak banyak menunjukkan gebrakan baru mencegah dan melawan kecurangan PPDB.
Pendidikan merupakan hak asasi manusia yang memiliki peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pendidikan juga merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Dengan mengimani bahwa pendidikan adalah hak dasar negara, menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan.
Namun, akses warga telah dibatasi dengan problem ketidakbecusan negara dalam menuntaskan program wajib belajar. Inilah akar persoalan PPDB. Alhasil, untuk menjalankan hak dan kewajiban mengikuti pendidikan, warga negara mengikuti proses seleksi yang dikenal dengan PPDB.
Implementasi PPDB pada kenyataannya selalu dibayang-bayangi berbagai persoalan yang terus berulang, mulai dari titip siswa hingga pungutan liar atau suap sebagai syarat masuk sekolah tersebut. Bahkan pada 2023 terungkap persoalan manipulasi dokumen kependudukan untuk mengakali seleksi PPDB jalur zonasi.
Proses PPDB seharusnya mengedepankan prinsip objektif, non diskriminatif, adil, transparan, dan akuntabel. Masalah PPDB merupakan buah buruknya implementasi dan pengelolaan wajib belajar yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sayangnya, pemerintah juga tak siap mencegah dan menangani beragam praktik kecurangan PPDB.
Fakta di atas menunjukkan bahwa sistem PPDB tidak mampu memberikan keadilan bagi para siswa yang akan masuk ke jenjang sekolah berikutnya. Siswa yang memiliki kemampuan dalam hal akademik/non akademik atau berprestasi pun berpeluang tidak mendapatkan kursi sekolah karena kuota jalur prestasi yang sangat terbatas. Apalagi jalur zonasi yang sangat memberatkan karena jumlah sekolah pada zona tempat tinggal sekitar yang sangat minim. Akhirnya ini yang menjadi pemicu bagi orang tua untuk berbuat curang demi memuluskan niatnya menyekolahkan anak di sekolah yang diharapkan.
Kebijakan sistem zonasi pada mulanya bertujuan baik, yakni menghilangkan tensi favoritisme sekolah dan mengurangi kasta dalam dunia pendidikan. Ini karena tidak dimungkiri, adanya sekolah favorit dan sekolah “pinggiran” memang menjadi jurang, seakan ada polarisasi tersendiri antara sekolah anak pintar dan tidak pintar. Dengan kebijakan zonasi, polarisasi ini diharapkan dapat terminimalkan.
Faktanya, dalam dunia pendidikan, perbedaan kasta ini sebenarnya tampak pada sarana dan prasarana pendidikan sehingga dengan adanya kebijakan zonasi, pemerintah berharap setiap siswa dapat menikmati layanan pendidikan secara merata. Peserta didik yang jarak rumah dan sekolah berdekatan bisa menghemat biaya transportasi. Inilah harapan semua orang tua. Hanya saja, harapan ini seakan pupus dengan banyaknya kecurangan dan penerapan yang jauh dari ekspektasi masyarakat.
Akhirnya, kesuksesan seorang anak diukur dari nilai materi saja. Sekolah bagus dilihat dari fasilitas, tunjangan, dan sarana prasarananya. Budaya kasta dan pandangan materi inilah yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat kapitalistik.
Kebijakan zonasi sejatinya belumlah menyentuh akar persoalan pendidikan. Yang harusnya diperhatikan adalah mengurai pokok persoalan, yakni mengubah paradigma masyarakat tentang sekolah dan sistem yang menaunginya. Negara berperan penting dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang berkualitas dan unggul. Apa saja peran tersebut?
Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Pandangan masyarakat perihal sekolah favorit dan tidak favorit akan berubah seiring diterapkannya pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, visi misi sekolah ialah membentuk generasi berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan (IPTEK dan keterampilan). Bukan sekadar berburu nilai kognitif, mengejar gengsi dan prestise, atau membuat anak cerdas secara akademis, tetapi minus kepribadian mulia.
Kedua, menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah. Ini adalah kewajiban negara sebagai penanggung jawab membangun SDM berkualitas. Negara wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, teknologi yang mendukung KBM, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak perlu ada sistem zonasi. Semua sekolah diunggulkan dan para siswa mau sekolah di mana saja karena fasilitasnya yang merata.
Ketiga, SDM yang bermutu dan profesional. Kehadiran guru yang profesional cukup berpengaruh pada kualitas sekolah di masyarakat. Alhasil, negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor dan lembaga pendidikan.
Demikianlah, ketiga mekanisme ini dapat terlaksana jika negara mengatur tata kelola pendidikan dengan cara Islam.
Bukti kegemilangan pendidikan Islam sudah tercatat dalam sejarah. Islam mampu membentuk generasi cemerlang yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan cerdas tanpa mengurangi ketinggian akhlak dan kepribadian mereka. Wallahu’alam bissawab. (*)