Oleh: Sahawia Firdaus
Mahasiswi Pendidikan Kimia Unkhair
_____
“Jika kita mendidik satu anak laki-laki kita hanya mendidiknya saja, tapi jika kita mendidik satu anak perempuan maka seperti mendidik satu bangsa”.
Satu kalimat yang diramu dari banyak pemikir tentang generasi. Banyak anak-anak yang terlibat dalam prostitusi dan banyak dari mereka adalah perempuan sehingga ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPTK), ada lebih dari 13.000 transaksi terkait praktik prostitusi dan pornografi anak di tahun 2024. Bahkan ada data yang disampaikan oleh kepala PPTK Ivan Yustiavandana, lebih dari 24.000 anak berusia 10 tahun hingga 18 tahun. Dan nilai perputaran uang yang diperoleh mencapai 127.371.000.000, sungguh jumlah yang fantastik. Dengan jumlah anak-anak yang begitu banyak yang terlibat serta data uang yang sudah diketahui sampai saat ini para pelaku belum juga tertangkap. Sehingga patut dipertanyakan dimanakah peran negara untuk menyelesaikan persoalan yang semakin pelik ini yang nampaknya semakin berulang?
Kasus Berulang Bagai Fenomena Gunung Es
Ini bukan kali pertama terjadi prostitusi online maupun ofline pada anak. Berdasarkan data kajian cepat (A rapid assessment) yang dilakukan International Labour Organization-International Programme for the Elimination of Child Labour (ILO-IPEC) pada tahun 2004, ditemukan 3.408 anak baik perempuan maupun laki-laki anak-anak korban pelacuran terjadi beberapa kota besar di Indonesia seperti Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Dan pada tahun 2016 berdasarkan hasil pemantauan End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes ECPAT internasional di bawah Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), ada 24 kasus ESKA tercatat sebanyak 335 anak. Di tahun 2017 meningkat menjadi 537 kasus ESKA dan tercatat ada 404 anak menjadi korban dan 84 orang anak menjadi korban prostitusi online. Dan dari survei KPAI di tahun 2020 ditemukan 28 kasus dan melibatkan 149 anak sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan di tahun 2021 ada 29 kasus dan melibatkan 217 anak kasus prostitusi.
Kasus prostitusi selalu berulang dan datanya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Fenomenanya seperti gunung es hanya nampak permukaan saja, tapi sejatinya sangat banyak yang jaringannya begitu kompleks yang perlu diwaspadai oleh orang tua, masyarakat, dan negara.
Hukum Tumpul Demokrasi
Kasus prostitusi yang semakin meningkat dan menjadikan anak-anak sebagai sasaran membuat tanya apakah hukum benar-benar ditegakkan untuk mengurangi banyaknya kasus. Tapi nyatanya mungkin tumpul, sebab melihat banyak akun-akun prostitusi yang memanfaatkan perkembangan teknologi untuk dibuka dan menyasar anak. Padahal kita tahu bahwa anak-anak adalah generasi bangsa ini yang jika negara serius, kasus demi kasus tak akan tampil memenuhi headline berita. Dan korban yang paling banyak adalah anak-anak perempuan. Seperti yang dilaporkan melalui KOMPAS, ada 1.962 perempuan dewasa dan 19 anak di bawah umur. Padahal jika kita mendidik satu anak laki-laki kita hanya mendidiknya saja, tapi jika kita mendidik satu anak perempuan maka seperti mendidik satu bangsa. Inilah kalimat dari para pemikir kita, sehingga negara patut memperhatikan dengan serius masalah prostitusi yang melibatkan anak-anak.
Ada peraturan berlapis dalam Undang-Undang dan pasal yang mengatur perbuatan tercela ini agar disanksi. Seperti Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 52 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 2024 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 88 juncto Pasal 76 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 30 juncto Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 44 tentang Pornografi. Tapi nampaknya sampai saat ini pelaku selalu belum berhasil ditangkap. Hal ini didukung dengan adanya sekularisasi informasi media, sehingga pelaku bisa membuat akun-akun baru. Apalagi di bulan Mei kemarin, Elon Musk si pemilik X baru menerapkan kebijakan yang mengizinkan penggunanya mengunggah maupun menikmati konten berbau pornografi. Bau kental nilai-nilai kebebasan demokrasi sangat terasa dalam sekularisasi informasi melalui perkembangan teknologi. Padahal seharusnya negara melalui Menteri Kominfo dapat mengatasi konten-konten melalui iklan serta akun yang berbau pornografi. Tapi apalah daya iklan-iklan itu selalu lolos yang menandakan tumpulnya hukum dalam demokrasi dan dipenuhi syarat kepentingan. Akhirnya banyak dari generasi yang terjerat dan terjebak sekadar memenuhi kebutuhan dasar dan memenuhi standar hidup yang distandarisasikan oleh kapitalisme yang dicengkram sekularisasi.
Cengkraman Sekularisme
Indonesia darurat revolusi seks yang disampaikan oleh Pakar Kesehatan Reproduksi dari Fakultas Kedokteran, Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU., M.Sc., Ph,D. Darurat ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Hal ini terjadi akibat cengkaraman sekularisasi yang sudah diterapkan sejak lama. Cengkraman yang membuat generasi ini mengikuti trend budaya barat. Apalagi didukung oleh perkembangan teknologi yang bisa mendatangkan keuntungan yang bisa menjadi jaringan yang kompleks. Dalam alam kapitalisme prostitusi online yang melibatkan anak-anak adalah keuntungan yang menggiurkan, sebab banyak permintaan dari pelaku pedofil.
Cengkraman yang kuat dari sekularisme yang terapkan dalam negeri ini akan terus terjadi sampai kapan pun. Bahkan bisa jadi datanya akan semakin meningkat dari tahun-tahun yang akan datang. Sebab, tidak ada kontrol yang tegas dari negara berupa sanksi tegas. Padahal bonus demografi di tahun mendatang adalah anugerah yang perlu dirawat dan dididik untuk melahirkan generasi unggul berakhlak dalam segala bidang. Tapi jika sistemnya masih sama, akan sangat sulit untuk melahirkan generasi unggul berakhlak untuk mengemban visi misi mulia dalam mengembalikan peradaban Islam. Sehingga kita membutuhkan satu sistem yang unggul dalam segala hal yang mampu mendidik generasi bervisi langit. Seperti generasi yang dididik oleh manusia mulia yang menyediakan berjilid-jilid generasi unggul dengan Islam.
Media, Generasi dan Solusi Islam
Perbuatan prostitusi yang melibatkan anak-anak yang diakibatkan oleh sistem sekularisme tidak akan ditemukan dalam sistem Islam. Sebab, peran media dalam Islam selalu dipandang sebagai aurat negara. Kenapa disebut aurat, karena akan selalu dilindungi dari ganguan media luar. Apalagi media juga sebagai ladang dakwah negara bagi siapa saja untuk memanen pahala. Sehingga dalam strategi pengaturan informasi oleh negara menurut Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, negara akan mengeluarkan undang-undang yang menjelaskan garis-garis umum politik dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah. Apalagi perbuatan prostitusi online yang melibatkan anak-anak yang hukumnya jelas-jelas haram dan wajib dihukum sesuai dengan hukum-hukum Allah. Apapun yang terlibat dengan perbuatan dosa besar seperti prostitusi betul-betul tidak akan ditemukan. Sebab, negara Islam dalam Khilafah tidak akan membiarkan itu terjadi. Apalagi dalam Islam sangat menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sanksi Islam juga bersifat preventif (zawajir) yang mencegah terjadi kasus-kasus seperti ini. Dan bersifat kuratif (jawabir) sebagai penghapus dosa bagi para pelaku di hari kemudian. (*)