Opini  

Ironi Sampah Makanan di Tengah Kemiskinan dan Kelaparan

Oleh: Novitasari

_______

KEMENTERIAN Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Pada sektor pangan, pengendalian susut dan sisa pangan atau food loss and waste menjadi salah satu intervensi priority yang dapat menekan jumlah timbulan sampah hingga separuh yang ada saat ini dan mencegah risiko kehilangan ekonomi.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah nasional pada tahun 2023 mencapai 26,20 juta ton. Jumlah itu lebih rendah dari timbulan sampah nasional pada tahun sebelumnya yang sebesar 37,73 juta ton.

Sementara itu, untuk mencegah potensi ekonomi yang hilang akibat susut dan sisa pangan, Bappenas telah meluncurkan peta jalan (roadmap) Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan, dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045.

Upaya mengatasi sampah makanan tidak cukup dengan penyelesaian pada aspek hilir seperti memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi. Namun, kita juga harus memperhatikan aspek hulu, yaitu penyebab banyaknya sampah makanan. Jika penyebab banyaknya sampah makanan ini tidak dihentikan, maka sampahnya juga akan terus diproduksi.

Tidak hanya itu, membludaknya sampah makanan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Kapitalisme meniscayakan perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran demi target perolehan profit yang besar. Inovasi varian produk baru juga terus dilakukan, padahal nyatanya tidak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar.

Seiring berjalannya waktu, produk yang tidak laku terjual akan kadaluwarsa dan ditarik dari peredaran. Lantas, produk makanan kadaluwarsa itu diapakan? Umumnya dimusnahkan alias dibuang. Ini sungguh suatu pemandangan yang menyedihkan, ketika di suatu tempat terjadi pemusnahan susu bayi kadaluwarsa, di tempat lain banyak anak Indonesia mengalami stunting karena kekurangan gizi.

Lebih miris lagi, mayoritas makanan yang terbuang adalah beras dan jagung, padahal keduanya bahan pangan pokok. Kita tahu pemerintah kerap melakukan impor beras bersamaan dengan momen panen raya di dalam negeri hingga akhirnya stok beras menumpuk di gudang. Acapkali, akibat sedemikian lamanya di gudang, beras menjadi berkutu dan mengalami susut.

Ini sungguh ironi berlapis. Di satu sisi, banyak penduduk miskin dan miskin ekstrem yang tidak bisa makan nasi/jagung karena tidak mampu membelinya. Namun, di sisi lain banyak beras/jagung yang terbuang sia-sia. Ini sungguh nyata mencerminkan buruknya distribusi pangan yang menjadi penyebab banyaknya sampah makanan.

Sebenarnya, persoalan distribusi ini berkenaan dengan tugas pemerintah. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengatur distribusi pangan agar tidak menumpuk di gudang. Untuk itu, pemerintah semestinya bisa mengatur distribusi agar beras dan jagung yang menumpuk di gudang tidak sampai berkutu, sebaliknya bisa terdistribusikan kepada rakyat miskin. Pemerintah juga bisa membuat mekanisme agar makanan untuk balita yang tidak terserap oleh konsumen, bisa didistribusikan pada warga yang membutuhkan sehingga persoalan stunting bisa diselesaikan.

Namun, berbagai upaya distribusi tersebut tidak dilakukan karena dianggap akan merugikan industri, yakni merusak pasar. Para kapitalis lebih suka pangan tersebut dimusnahkan daripada dikonsumsi oleh warga miskin. Lebih menyedihkan lagi, pemerintah menutup mata dan tidak bersedia turut campur menangani kondisi ini.

Namun, bahan pangan tersebut berhenti di tangan dan negara tertentu yang melakukan penimbunan sehingga banyak manusia yang butuh tidak bisa mendapatkannya. Tindakan restriksi ekspor bahan pangan oleh beberapa negara menunjukkan bahwa bahan pangan itu ada, tetapi ditimbun. Penimbunan selalu mengacaukan pasar, apalagi jika pelakunya adalah negara-negara besar. Mencari keuntungan berupa cuan besar di tengah derita kelaparan tentu merupakan motif ekonomi yang tidak manusiawi.

Selain faktor penimbunan, kemiskinan ekstrem menjadi penyebab bencana kelaparan. Negara-negara miskin, seperti di Afrika; negara-negara yang sedang krisis, seperti Sri Lanka; dan negara yang sedang diduduki oleh penjajah, seperti Irak, Afganistan, Suriah, Palestina, dan lainnya, tidak punya cukup dana untuk membeli bahan pangan dari luar negeri.

Sementara itu, negara-negara besar hanya sibuk membahas kelaparan dunia sambil “makan besar di meja makan”. Persis lagu lawas tentang Etiopia, “Obrolan kita di meja makan, tentang mereka yang kelaparan.”

Sikap individualis negara-negara besar ini telah membuat kelaparan makin jauh dari penyelesaian. Mereka menguasai pangan dan memegangnya erat-erat hanya untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan di luar sana banyak manusia sekarat. Negara-negara besar ini pula yang telah menduduki negeri-negeri muslim dan menjadikannya miskin, padahal dahulu kaya dan sejahtera.

Bisa kita simpulkan, buruknya distribusi dan pelitnya negara-negara besar penguasa dunia adalah penyebab krisis pangan dunia. Dua penyebab ini sangat khas kapitalisme, sistem yang membolehkan monopoli dengan alasan kebebasan kepemilikan. Sistem ini pula yang mengajari manusia agar bersikap pelit dan tidak peduli nasib orang lain.

Islam memosisikan makanan sebagai rezeki dari Allah SWT bagi manusia. Berkat adanya makanan, manusia bisa hidup dan beraktivitas dengan baik. Makanan juga penting untuk tumbuh kembang manusia dari janin hingga menjadi dewasa. Oleh karenanya, Allah SWT memerintahkan kita untuk menghargai makanan dan tidak mencelanya.

Dari Abu Hurairah ra., “Nabi SAW tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya.” (HR Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).

Islam mengajarkan pada umatnya untuk bersikap zuhud yang salah satu wujudnya adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan. Allah Swt. berfirman, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).

Islam juga mengajarkan untuk tidak bersikap mubazir terhadap makanan. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra [17]: 26-27).

Seorang muslim hendaknya senantiasa meyakini bahwa makanan yang ia miliki akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak pada hari akhir. Dengan begitu, ia tidak akan berlaku seenaknya dengan membuang-buang makanan.

Semua syariat terkait makanan tersebut tertuang dalam penerapan syariat Islam secara kafah melalui tegaknya Khilafah. Khilafah akan menanamkan kepribadian Islam melalui kurikulum pendidikan sehingga zuhud menjadi gaya hidup masyarakat. Masyarakat juga akan terpola untuk makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan.

Khilafah berperan penting untuk membentuk kebiasaan tersebut di masyarakat agar mereka tidak menyia-nyiakan makanan. Juga dengan regulasi, misalnya keharusan menghabiskan makanan di rumah makan atau membungkusnya jika tersisa sehingga perilaku membuang-buang makanan bisa ditekan dan jauh berkurang.

Khilafah juga akan mengawasi industri agar tidak ada praktik membuang-buang makanan. Di dalam Khilafah, makanan diproduksi secukupnya, sesuai dengan kebutuhan pasar yang dihitung secara cermat. Jika ada industri atau pelaku usaha yang terbukti membuang-buang makanan, Khilafah akan memberikan sanksi tegas.

Selanjutnya, Khilafah akan segera mendistribusikan bahan makanan pada warga yang membutuhkan hingga tidak ada lagi rakyat yang miskin dan tidak bisa makan. Pada saat yang sama, Khilafah menyediakan dana yang besar dari baitulmal, untuk memastikan tiap-tiap rakyat bisa makan secara layak. Dengan begitu, harapannya tidak ada orang yang kelaparan, juga tidak ada pangan yang menumpuk dan terbuang sia-sia.

Tidak lupa, Khilafah akan memfasilitasi warga yang memiliki kelebihan makanan untuk menyedekahkannya pada orang-orang yang membutuhkan. Praktik ini pernah terjadi pada masa Khilafah Utsmaniyah. Saat itu, khalifah memberikan teladan pada rakyatnya dengan tidak berlebih-lebihan dalam jamuan kenegaraan. Jauh pada masa sebelumnya, hal semacam ini juga pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika beliau menolak makan daging karena rakyatnya sedang mengalami krisis pangan. Dengan semua mekanisme syar’i ini persoalan susut dan sisa makanan akan terselesaikan secara tuntas, Insyaallah. Wallahualam bishawab. (*)