Opini  

Mencari Karakter Ideal Calon Pemimpin 

Oleh: Chrisvanus Th Lahu
_____
PEKAN lalu saya bersama tim melakukan survei dari salah satu lembaga survei untuk mengukur elektabilitas calon kepala daerah menjelang pemilihan pada bulan November nanti. Ada hal-hal unik yang dijumpai ketika berdialog dengan masyarakat. Mulai dari sosok bakal calon yang kurang familiar di telinga mereka sampai banyaknya keluhan yang disampaikan terkait pembangunan. Ada yang mengeluh tentang infrastruktur yang terbatas, kualitas pendidikan dan kesehatan, ada pula yang mengeluh tentang sulitnya kepala daerah yang blusukan sampai di desa-desa untuk menyapa masyarakat (kecuali dalam momentum kampanye). “Tong jarang lia dong sampe di desa ini setelah dorang jadi. Padahal kalu masih kampanye, dong sering kamari,” ujar seorang ibu paruh baya ketika ditanya. Bukan tak beralasan mereka menyampaikan ini, karena faktanya demikian.  Lantas fakta ini sangat disayangkan dan membentuk asumsi saya, bahwa masyarakat Maluku Utara sangat minim perhatian dari Pemerintah Daerah disebabkan oleh bobroknya kinerja pemimpin kita saat ini. Sebut saja, kasus mantan Gubernur yang hingga saat ini dalam tahapan persidangan dengan berbagai varian kasus mulai dari kasus korupsi, jual beli jabatan, gratifikasi hingga yang terbaru adalah memberikan uang dengan jumlah fantastis terhadap beberapa wanita. Tentu hal ini adalah tindakan “abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memberikan keuntungan terhadap diri sendiri dan sangat mencederai etika dan moralitas seorang pejabat publik, apalagi dalam kondisi daerah yang sedang tidak baik-baik saja.

Realitas ini diperparah dengan keterlibatan hampir seluruh stakeholder birokrasi dan pemangku kepentingan lainnya yang turut melanggengkan kebobrokan ini demi mengamankan posisi-posisi strategis tertentu. Seperti kata Alexander The Great “Saya tidak takut pada pasukan singa yang dipimpin oleh seekor domba; saya takut pada pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa. Karena pemimpin yang buruk dapat melemahkan dan membuat demoralize pasukan yang terkuat sekalipun”. Realitas ini, memberikan rasa “trauma” terhadap masyarakat dan anjloknya rasa percaya terhadap pejabat kita karena etika dan moralitas yang buruk dari pemimpin kita. Kondisi tersebut dinamakan sebagai “Kepemimpinan Destruktif”. Dalam penelitian Einarsen et al. (2007) memberikan definisi sederhana tentang “Kepemimpinan Destruktif” merupakan perilaku seorang pemimpin yang mencederai visi organisasi atau daerah yang dipimpinnya secara sistematis dan berulangkali dengan mensabotase hak orang lain dan menyalahgunakan wewenangnya.

Seakan belum terobati luka masyarakat akibat korban janji yang akhirnya tidak terealisasi, sekarang kita menatap tahapan pilkada serentak tahun 2024 yang akan diselenggarakan bulan November mendatang. Semua bakal calon mulai menggalang dukungan melalui komunikasi politik untuk mendapatkan rekomendasi. Intrik politik melalui tagar-tagar mulai bermunculan. Komunitas-komunitas sebagai media penggerak mulai terbentuk untuk meraih dukungan pada perhelatan nanti. Terlihat secara tiba-tiba beranda FYP Tiktok ramai dengan video bakal calon yang sedang berpose dengan gimick politiknya masing-masing. Dalam kompetisi yang sengit ini tentu akan melanggengkan segala cara untuk mencapai hasrat politik mereka. Sebagaimana teori Marhievelli bahwa “Untuk memenangkan kontestasi politik, seorang pemimpin harus siap menggunakan berbagai taktik, termasuk manipulasi dan tipu daya, jika perlu. Ia percaya bahwa keberhasilan politik sering memerlukan tindakan yang tidak etis”. Sehingga tidak heran dan tanpa justifikasi, fakta menunjukan akhir-akhir ini kasus dugaan korupsi serta track record buruk dari bakal calon hingga isu politik identitas sering bermunculan dalam media sosial sebagai propaganda menyerang antar sesama kontestan pilkada.

Dari banyaknya intrik politik, bakal calon harusnya telah mem-branding diri dengan politik santun dan menawarkan gagasan sebagai upaya menjaga iklim demokrasi yang sehat. Bakal calon harus memiliki visi besar dalam strategi pembangunan baik di provinsi maupun kabupaten/kota yang ditawarkan pada masyarakat sebagai strategi mendapatkan dukungan rakyat. Akronim yang sering dipakai harusnya memberikan informasi secara universal gagasan besarnya, bukan sekadar akronim penggabungan nama calon kepala daerah dan wakilnya yang kurang berkualitas itu. Visi dan gagasan besar harus mampu disosialisasikan melalui semua aktvitas politiknya.

Isu strategis

Dalam tulisan saya sebelumnya, mengutip James Freeman seorang teolog dan penulis Amerika, menyampaikan bahwa “Seorang politisi selalu berpikir tentang pemilu yang akan datang, sedangkan seorang negarawan berpikir tentang generasi yang akan datang”.  Sebagai daerah kepulauan yang dihuni 1.37 juta jiwa (Databoks 2024), namun memiliki cadangan nikel terbesar kedua di Indonesia tentu menjadi daerah strategis yang dijadikan lahan bisnis para elite. Sumber daya yang melimpah harusnya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi serta pembangunan dan kesejahteran masyarakat yang seimbang. Namun isu kerusakan lingkungan menjadi hal yang tak terhindarkan. Deforestasi hutan secara ugal-ugalan menyebabkan banjir bandang di Halmahera Tengah yang menyasar ke enam desa lingkar tambang dan menjadi bencana banjir paling besar dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, kualitas pendidikan dan kesehatan masih menjadi problem klasik dan tergolong rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Belum lagi persoalan infrastruktur jalan dan jembatan yang menjadi akses penghubung antar kecamatan dan kabupaten sampai sekarang masih belum terealisasi, tenaga kerja lokal yang masih terbatas serta tata kelola birokrasi yang masih belum sehat. Beberapa hal ini yang seharusnya menjadi isu strategis yang perlu direspons dan dikonsepkan oleh calon pemimpin kita. Dengan membagikan langkah kongkrit dan strategis yang akan diambil jika menjadi kepala daerah nantinya dengan tidak sepenuhnya membebani APBD kita yang masih sangat terbatas.

Karakter pemimpin Ideal

Rakyat tentu mencita-citakan karakter seorang pemimpin yang dekat dengan mereka tanpa sekat yang membatasi. Mampu memimpin dengan kharismatik dan tanpa membedakan antara satu dengan lainnya. John C. Maxwell mengulas pemimpin ideal adalah seseorang yang memiliki karakter yang kuat, mampu mempengaruhi dan menginspirasi orang lain serta memiliki visi yang jelas. Selain itu, pemimpin ideal itu mampu mengambil risiko dan memiliki cukup empati.  Harus memiliki wawasan yang mumpuni ketika mengelola daerah ini, sehingga tidak terkesan minim pengetahuan.

Dari beberapa figur yang intens berkonsolidasi, tentu semua memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, namun semua berpotensi untuk memimpin daerah ini. Maka banyak faktor yang perlu dilihat sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan dukungan terhadap salah satu bakal calon. Kembali pada hasil survei saat berdialog dengan masyarakat, mereka menyampaikan bahwa identitas dan pendekatan emosional tidak lagi masuk kriteria khusus untuk memilih pemimpin. Mereka lebih sepakat dengan pemimpin yang memiliki dampak langsung dengan masyarakat dan tau apa yang mereka butuhkan.

Kurang lebih ada tiga hal penting dalam melihat calon pemimpin ideal kita tanpa melibatkan subjektifitas dan lain sebagainya. Pertama, membedah karakteristik dan personal brand yang dibangun semasa menjadi pejabat juga tidak jadi pejabat. Bagaimana karakteristik mereka yang sesungguhnya. Kedua, melihat track record, apa yang telah dibuat selama ini untuk Maluku Utara dan catatan buruk apa yang mereka tinggalkan. Ketiga adalah melihat visi misi dan tawaran gagasan apa yang ia bawa, langkah strategis apa yang ditawarkan untuk menjawab setiap problematika yang terjadi di Maluku Utara dalam skala prioritasnya. Sebagai penutup, saya mengutip kata pendiri GMKI Johannes Leimena “Politik bukan alat kekuasaan melainkan etika untuk melayani”. (*)