Hukum  

Praktisi Hukum Desak KPK Periksa Kembali Saifuddin Djuba

Iskandar Yoisangadji. (Karno/NMG)

TERNATE, NUANSA – Praktisi Hukum Maluku Utara, Iskandar Yoisangadji, meminta penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar melakukan pemeriksaan kembali mantan Kepala Dinas PUPR Malut, Saifuddin Djuba.

Permintaan ini berkaitan dengan Saifuddin dan eks Kabid Bina Marga Daud Ismail yang disebut menerima uang dari Direktur PT Hijrah Nusatama, Hadiruddin Haji Saleh, senilai Rp6 miliar atas permintaan terdakwa mantan gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK).

Hal ini sesuai dengan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa AGK di Pengadilan Negeri Ternate.

“Dalam perkara ini, jika pemberian dimaknai sebagai pemberian hadiah atau berupa bantuan Direktur PT Hijrah Nusatama kepada mantan Gubenur AGK, maka patut dipertanyakan karena besar uangnya bisa dibilang fantastis. Atau itu hanya sebatas bantuan,” ujar Iskandar kepada Nuansa Media Grup, Rabu (14/8).

Terkait itu, Iskandar mendesak penyidik KPK agar melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, sehingga dapat diketahui maksud dari pemberian uang tersebut.

“Pemberian Hadiruddin ke gubernur lalu kemudian tidak sampai ke beliau. Ini kan menjadi tanda tanya. Sudah pasti pertanyaannya kenapa uang itu diberikan kepada gubernur. Olehnya itu, kami sarankan agar Direktur PT Hijrah Nusatama Hadiruddin Haji Saleh dan mantan Kepala Dinas PUPR Saifuddin Djuba diperiksa kembali dalam rangka membuat terang atas fakta-fakta yang telah terungkap. Apakah pemberian itu dimaknai sebagai suap atau tidak? Itu wewenangnya pada penyidik. Tapi setidaknya dibuka terang agar fakta itu tidak dipandang bukan-bukan,” tegasnya.

“Kita akan menduga-duga dengan pemberian uang yang begitu besar, tentu publik akan memaknai ke sana sebagai suap. Jadi saya sarankan diambil keterangan dan diperiksa lebih jauh ke dalam sehingga terbuka, benar uang itu diberikan untuk suap atau tidak,” tambah Iskandar.

Menurutnya, proses pemeriksaan ini dilakukan supaya mengetahui faktanya seperti apa. Meski begitu, semua tergantung penyidik yang menilai pemberian uang tersebut bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana suap atau bukan.

Iskandar yakin penyidik KPK lebih memahami atau lebih tepatnya dilekatkan pada pasal 5 atau pasal 13 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Tapi kalau perintah atasan, apapun dalil itu maka di situ harus dilihat ada keterhubungan antara atasan dan bawahan atau tidak. Misalnya, itu perintah dari pak gubernur selaku pimpinan kepada bawahan, maka dilihat lagi perintah yang dilakukan oleh atasan bisa dilekatkan pasal 51 ayat 1 KUHP atau tidak. Karena ketegasan pada pasal itu berhubungan dengan seseorang yang melaksanakan perintah atasan itu tidak dapat dipidana. Ini ketentuan yang menyatakan. Tapi harus dihubungkan dengan fakta dan itu nanti menjadi penilaian hakim,” jelasnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini menegaskan, pengakuan saksi-saksi mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Ini akan menjadi satu fakta persidangan apabila ditindaklanjuti oleh penyidik.

“Kalau ternyata fakta persidangan itu mengarah ke seseorang yang diduga melakukan pemberian, bisa juga dikualifikasi sebagai pemberian suap, maka harus dilakukan proses penyelidikan. Kalau tidak, maka KPK dipandang sebagai penegak hukum yang tebang pilih. Kalau seperti itu maka prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum) dinyatakan seperti apa. Semua orang kan dipandang sama di mata hukum,” pungkas Iskandar. (ano/tan)