Polmas  

Haruskah Ada Dewan Perwakilan Rakyat?

Oleh: Riyanto Basahona

______

PELANTIKAN anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota, provinsi hingga DPR RI selalu menjadi sorotan. Momen ini semestinya menjadi refleksi akan peran DPR sebagai lembaga yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat. Namun, dalam praktiknya, pertanyaan besar muncul: Apakah DPR benar-benar mewakili rakyat, atau hanya sekadar perpanjangan tangan partai politik?

Kasus pembahasan Undang-Undang Perampasan Aset oleh Mahfud MD yang meminta dukungan dari anggota DPR RI seperti Bambang, menyingkap salah satu realitas pahit. Bambang secara terbuka mengungkapkan bahwa meski secara prinsip, banyak anggota DPR RI mendukung pengesahan UU tersebut sebagai bagian dari pemberantasan korupsi, keputusan nyata sering kali terganjal oleh ketidakberanian anggota DPR untuk melawan kehendak ketua umum partai mereka. Dengan kata lain, keputusan legislatif yang diambil bukan sepenuhnya hasil dari suara hati nurani perwakilan rakyat, tetapi lebih merupakan hasil kompromi atau perintah dari elite partai.

Ini mengarah pada pertanyaan fundamental: Apakah DPR masih menjalankan fungsi representatifnya? Konstitusi jelas menyebut bahwa DPR adalah “Dewan Perwakilan Rakyat,” tetapi dalam praktik, sering kali yang terjadi adalah “Dewan Perwakilan Partai.” Ketergantungan pada lobi-lobi politik internal partai membuat suara rakyat teredam. Banyak keputusan penting termasuk yang berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi ditentukan oleh kepentingan segelintir elite partai, bukan berdasarkan apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh masyarakat luas.

Sistem politik kita memang memberikan kekuasaan besar kepada partai politik, terutama dalam mekanisme pemilihan dan pemberhentian anggota DPR melalui pergantian antar waktu (PAW). Hal ini menimbulkan ketakutan di kalangan anggota DPR: jika mereka bersikap terlalu kritis terhadap partai, atau tidak mengikuti garis besar kebijakan partai, mereka bisa dipecat. Ini menyebabkan anggota DPR terjebak dalam loyalitas yang salah tempat—mereka lebih takut pada pimpinan partai daripada pada tanggung jawab mereka kepada rakyat yang mereka wakili.

PAW adalah mekanisme yang penting, tetapi ketika disalahgunakan, itu menjadi senjata untuk membungkam suara-suara independen di DPR. DPR sebagai lembaga representatif seharusnya berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan tunduk pada kepentingan partai. Anggota DPR perlu menyadari bahwa jabatan yang mereka emban bukan semata-mata karena partai, melainkan karena mandat dari rakyat yang telah memilih mereka. Ketakutan terhadap PAW seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengabaikan kepentingan publik.

Jika setiap keputusan DPR selalu tunduk pada kepentingan partai, maka legitimasi DPR sebagai representasi rakyat patut dipertanyakan. Untuk apa kita memiliki Dewan Perwakilan Rakyat jika mereka tidak berani menjadi perwakilan sejati rakyat? Jika setiap legislator hanya menjadi corong partai, kita hanya menciptakan mekanisme formal tanpa substansi. Demokrasi yang sehat membutuhkan wakil rakyat yang berani berbicara dan bertindak sesuai dengan hati nurani mereka dan lebih penting lagi, sesuai dengan mandat yang diberikan oleh konstituen mereka, bukan oleh partai politik.

Dalam konteks inilah, DPR harus berani mereformasi dirinya. DPR harus berani menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, bahkan di atas kepentingan partai. Setiap anggota DPR harus menegaskan independensi mereka dalam pengambilan keputusan. Mereka tidak perlu takut pada PAW, karena pada akhirnya, kekuatan terbesar yang mereka miliki adalah dukungan rakyat, bukan ketua umum partai.

Pelantikan anggota DPR yang baru ini seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi arah perjalanan lembaga legislatif kita. Jangan sampai momen ini hanya menjadi seremonial belaka tanpa perubahan mendasar. DPR harus kembali kepada esensi keberadaannya: menjadi wakil sejati rakyat, bukan sekadar perpanjangan tangan partai politik.

Jika tidak, maka mungkin sudah saatnya kita bertanya, haruskah ada Dewan Perwakilan Rakyat, jika mereka tidak benar-benar mewakili rakyat? (*)

Exit mobile version