TERNATE, NUANSA – Eco Bhinneka Muhammadiyah Maluku Utara menggelar Dialog Keberagaman dan Kebudayaan Lintas Iman, di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, Jumat (4/10). Dialog tersebut disertai dengan launching kelurahan dampingan.
Kegiatan tersebut dihadiri warga Kelurahan Sulamadaha RT 1 Dusun Tabanga, Tokoh Agama Lintas Iman, Tokoh Adat Sulamadaha, warga Dusun Tabanga, Pemuda GKPMI, Wanita Peduli Lingkungan Tabanga (Wapeuli), Disaster Menagement Center (DMC), AMGPM Kota Ternate, siswa dan guru SMA 6 Kota Ternate, dan siswa SMP 2 Muhammadiyah Kota Ternate.
Bobaso se Rasai adalah bagian dari nilai-nilai kemanusiaan dalam budaya Maluku Utara yang memiliki makna, rasa, dan perasaan bahwa sesama insan manusia tidak boleh saling menyakiti satu sama lain yang dapat mengorbankan perasaan dan rasa seseorang, karena suatu kebencian pribadi atau golongan sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang beradab.
Wakil Ketua Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Malut, Ichlas Yudha Pramono, mengatakan Muhammadiyah di Maluku Utara tetap eksis dan konsisten dalam merawat kerukunan umat beragama melalui jalur pendidikan.
“Muhammadiyah sangat konsisten dan meyakini bahwa memperlakukan sesama manusia harus sama tanpa memandang latar belakang. Bicara keberagaman kebudayaan dalam bingkai rasai se bobasa ini diartikan seperti saling asah, asuh, dan asih. Yang di mana saling mengasah meningkatkan keimanan kita dan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan,” jelas Ichlas.
Manager Program Eco Bhinneka Muhammadiyah Maluku Utara, Usman Mansur, menuturkan tujuan kegiatan ini sebagai sarana silaturahmi antar lintas iman agar tetap eksis dan konsisten bersama-sama dalam membangun serta memperkuat toleransi umat beragama di Kota Ternate.
“Selain itu, dapat membangun sistem kolaborasi dalam jangka waktu yang panjang,” jelas Usman.
Ia menjelaskan, Tabanga dijadikan sebagai dusun pendampingan agar menjadi kampung percontohan moderasi beragama dan lingkungan, sehingga bisa menjadi role model untuk RT/dusun atau kelurahan lainnya.
Sementara itu, Pendeta Yonas Leleury mengatakan, saat ini pihaknya mendorong peran gereja dalam menjaga kerukunan umat beragama di Ternate.
“Berbicara soal gereja itu kita berbicara tentang sekumpulan orang-orang terpercaya Allah di dalam Yesus Kristus, dan misi utama gereja itu bagaimana memberitakan Injil tentang kabar baik bagi semua ciptaan,” tuturnya.
Menurutnya, Injil atau kabar itu tita yang menuntun orang kepada kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bagi semua. Selain itu, Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan. Sedangkan tugas gereja yakni membebaskan manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Selain itu, gereja juga memiliki tugas menegakan keadilan dan kebenaran membela hak-hak orang lemah dan terpinggirkan dan juga bagaimana berpihak kepada lingkungan.
“Gereja protestan Maluku memiliki ajaran gereja tentang bagaimana sikap gereja terhadap agama dan ajaran lain yang sudah diatur dalam GPM, menyadari dan mengakui dengan sungguh bahwa keberadaan agama lain diterima dengan menegakan kebenaran dan kebaikan bagi penganutnya,” ujar Yonas.
“Intinya tidak ada agama yang mengajarkan tentang keburukan, semua agama punya tanggung jawab yang sama bagaimana membimbing umatnya untuk hidup di dalam kebenaran dan kebaikan. Di dalam GPM juga tidak memandang perbedaan itu sebagai ancaman bagi umat Kristen, tetapi harus dilihat sebagai kekuatan untuk memperteguh iman Kristen,” sambungnya.
Dalam tesisnya, kata dia, berkaitan dengan relasi agama dan melihat waktu pasca peristiwa konflik 1999 yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara. Rupanya, budaya lokal daerah ini sangat melemah dan indikasi agama itu sangat kuat.
“Kita punya budaya, misalnya di Maluku punya budaya Bela Gandong itu kekuatan, tetapi mengapa terjadi konflik, karena pengidentifikasi agama pada kelompok-kelompok tertentu,” jelasnya.
Karena itu, salah satu hal yang sangat penting yaitu dialog menjadi pintu masuk dalam membangun kehidupan beragama, karena perjumpaan agama tidak hanya berlangsung secara formal sosial budaya, tetapi berlangsung dari berbagai nilai dan harus dilakukan perjumpaan secara intens karena nilai luhur agama adalah kemanusiaan.
“Melalui sharing berbagai nilai ini, akan menjadi penerimaan saling memiliki, ketika kita menjadi Kristen kita merasa tidak cukup jika tidak ada basudara yang berbeda agama. Kita tidak akan bisa mengenal saudara kita apabila kita tidak ada dalam perjumpaan. Perjumpaan atau dialog itu menjadi pintu masuk di dalam kita membangun relasi. Perbedaan bagi Kristen itu adalah anugerah,” katanya.
Jou Hukum Soasio, Gunawan Rajim, menambahkan Ternate sejak dahulu telah meninggalkan adat istiadat oleh leluhur atau orang tua terdahulu.
“Sejak lahir hingga mati kita sudah melekat dan diatur oleh adat istiadat atau adat se atoran. Kesultan Ternate merumuskan satu konsep bala kusu se kano-kano. Bala itu mengartikan Rakyat Kusu, itu golongan orang Islam. Kano-kano adalah golongan selain dari Islam. Konsep ini seperti tanaman alang-alang yang tumbuh dan di samping alang-alang ini terdapat tumbuhan lain yang disebut dengan kano-kano,” terangnya.
“Maka secara realita di dalam kehidupan oang muslim terdapat juga orang Nasrani. Demikian sebaliknya, hidup secara berdampingan tanpa mengganggu satu sama lain. Dalam kehidupan bermasyarkat kita ada kusu se kano-kano yang saling menjaga, menghormati, dan menghargai yang melahirkan nilai Bobaso Se Rasai. Dalam diri manusia terdapat rasa (Bobaso), perasaan (Rasai). Jika kita tidak punya rasa, maka tidak akan melahirkan perasaan. (tan)