Opini  

Etika Politik dalam Masa Duka: Polemik Pernyataan Ningsih Mus dan Sensitivitas Publik

Oleh: Alvian Hamli 

_________________

DALAM dunia politik, kata-kata bukan sekadar rangkaian bunyi yang mengisi ruang, melainkan pesan yang mengandung makna dan dampak yang besar. Saat masyarakat Maluku Utara sedang merasakan duka mendalam atas kepergian Benny Laos, salah satu calon gubernur yang mereka harapkan, muncul sebuah pernyataan yang seolah meruntuhkan rasa empati yang seharusnya menjadi dasar komunikasi politik.

Ningsih Mus, dalam kampanyenya, diduga menyebut nomor 4 ‘sudah terbakar,’ merujuk pada kandidat yang telah gugur dalam persaingan politik ini. Kata-kata itu mungkin dilontarkan tanpa maksud jahat, namun dalam suasana duka, setiap nada yang bergetar di udara harus dibalut dengan kehati-hatian. Kata-kata yang tidak sensitif bisa seperti angin kencang yang mengoyak hati yang sudah terluka, meninggalkan rasa kecewa dan keterasingan di kalangan rakyat yang seharusnya mendapat dukungan moral.

Politik sejatinya bukan hanya soal strategi dan kemenangan, tetapi juga soal kemanusiaan. Di tengah pertempuran sengit memperebutkan kursi kekuasaan, jangan sampai kita lupa bahwa rakyat yang kita wakili adalah manusia yang memiliki perasaan. Mereka berduka, mereka terluka, dan di saat seperti itu, apa yang mereka butuhkan bukanlah seruan untuk mencoblos atau sindiran tajam tentang lawan politik. Mereka butuh rasa hormat, pengakuan atas rasa kehilangan yang mereka rasakan, dan setetes empati yang bisa menenangkan hati yang gundah.

Saat seorang pemimpin atau calon pemimpin tidak dapat memahami momen emosional seperti ini, ia tidak hanya gagal sebagai komunikator politik, tetapi juga gagal sebagai manusia yang seharusnya mendahulukan rasa simpati dan empati. Sebuah pernyataan tidak sensitif di tengah duka bisa menjadi bukti betapa dangkalnya pemahaman seseorang terhadap perasaan kolektif masyarakat yang ia ingin pimpin. Ini adalah pelajaran penting dalam etika politik: manusia lebih dari sekadar angka di kertas suara; mereka adalah individu dengan emosi yang perlu dihargai.

Sejarah sering mencatat bahwa pemimpin yang tidak memiliki empati akhirnya kehilangan dukungan dari rakyatnya. Masyarakat menginginkan pemimpin yang mampu berbicara dengan hati, yang bisa menjadi penghibur di kala susah dan pengarah di kala bingung. Pemimpin sejati memahami bahwa kata-kata bisa menjadi alat pemersatu yang kuat, atau sebaliknya, alat pemecah belah yang tajam. Sebuah ucapan yang tidak tepat, seperti yang disampaikan oleh Ningsih Mus, dapat menciptakan jurang yang dalam antara calon pemimpin dan masyarakatnya.

Kita harus ingat bahwa menjadi pemimpin bukanlah hanya soal menjadi yang terkuat atau tercepat. Pemimpin adalah mereka yang mampu memahami dan merasakan detak jantung rakyatnya, yang mampu berbicara dengan lembut di saat yang tepat, dan tegas di saat yang diperlukan. Seorang pemimpin sejati tidak akan pernah menari di atas duka, karena mereka tahu bahwa rakyat yang berduka adalah rakyat yang paling membutuhkan pelukan harapan dan rasa keadilan.

Pada akhirnya, pemilih harus bijak dalam menentukan siapa yang akan mereka percayai sebagai pemimpin. Jika seorang calon pemimpin tidak mampu menunjukkan empati di saat-saat paling kritis, apa yang bisa diharapkan saat mereka sudah berkuasa? Jangan biarkan ketidakpekaan terhadap perasaan rakyat menjadi tanda bahwa mereka yang berkuasa nantinya hanya akan mempermainkan nasib kita semua. (*)