Kiprah Perempuan di Ruang Publik, Bermodalkan Cantik ala Kapitalisme Cukupkah?

Oleh: Izzah Aristah 

_____________________________

PERBINCANGAN kekuasaan kepemimpinan perempuan sebagai upaya untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat, yang selalu dicanangkan ialah perempuan. Terlebih lagi, pada momen-momen pilkada/pemilu atau pengangkatan pejabat negara sebagaimana yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.

Khususnya Maluku Utara, elektabilitas 4 Cagub Maluku Utara yang salah satunya adalah perempuan. Dengan slogan “tusuk (coblos) yang cantik”. Apalagi masyarakat sangat berempati dengan kisahnya. Sehingga masyarakat berharap dengan adanya berbagai peristiwa yang terjadi bisa membawa Maluku Utara yang lebih baik ke depannya.

Tentu saja, semua pihak berharap peran perempuan ketika menempati posisi di sebuah kekuasaan akan memberikan angin segar bagi terselesaikannya problem kehidupan. Apalagi diperkuat oleh Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran yang merupakan bagian dari visi misi presiden Republik Indonesia, mewujudkan kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan.

Pemberdayaan perempuan menjadi agenda global yang dilakukan di Brazil, pertemuan berlangsung dari tanggal 31-09-4-10 2024 agenda W20 berfokus pada peningkatan peran wanita dalam bidang ekonomi, sosial dan politik global, dengan tujuan untuk mendorong kebijakan-kebijakan inklusif.

Benarkah keterwakilan perempuan dalam Pilgub, Pilpres akan memberikan kebaikan bagi bangsa ini? Serta akan memberikan pengaruh terhadap nasib perempuan negeri ini? Problem perempuan akan bisa terselesaikan ketika perempuan terjun langsung ketata kebijakan publik, sehingga inilah yang menjadikan perempuan berkiprah dalam ranah publik, wacana ini menjadi kultur masyarakat.

Tanpa kita pungkiri bahwa perempuan memang lebih teliti dan telaten dalam berbagai hal daripada laki-laki. Memiliki rasa empati yang tinggi, lebih detail dan sebagainya, namun kita tidak bisa memungkiri bahwa laki-laki juga memiliki kelebihan yakni memiliki jiwa kepemimpinan. Semua ini adalah pemberian dari yang maha kuasa.

Artinya bahwa sifat-sifat yang dimiliki laki-laki ataupun perempuan bukanlah menjadi hal utama. Pada faktanya, disampaikan oleh aktivis perempuan dan advokat Andre Sumiwi Budi Prihatin pada saat hari perempuan internasional. Ia menuturkan 30% anggota legislatif dari perempuan terkesan hanya formalitas, bahkan dia katakan di sektor pemangku kebijakan peran perempuan juga belum signifikan, memang diberikan tempat, namun tidak diberikan fasilitas penunjang. Bahkan Andre juga katakan perlindungan perempuan dinilai juga kurang, beban perempuan bertambah yakni sebagai ibu sekaligus mencari nafkah.

Akibatnya perempuan dipaksa menjadi budak-budak korporat agar melenggangkan kapitalisme, perempuan dijadikan tulang punggung negara atas dasar ekonomi, sehingga fitrahnya perempuan sebagai pengatur rumah tangga dijauhkan dari perannya, perempuan diukur berdasarkan materi, sehingga terciptalah kultur masyarakat yang rusak.

Perempuan hanya dijadikan pemanis politik

Ramai jargon pemimpin perempuan lebih memahami perempuan dan persoalannya, namun nyatanya keberadaan perempuan menjadi pemimpin tidak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan kaumnya.

Perempuan seolah-olah menjadi pemanis untuk memuluskan kepentingan para pemilik modal bagi demokrasi, gender bukan persoalan penting dalam negeri ini lebih utama ialah memastikan kebijakan berada pada segelintir orang yaitu para oligarki dan pada akhirnya kepentingan para oligarki yang dimenangkan. Bukan keberpihakan pada kepentingan perempuan dan nasib perempuan, akan tetapi terpinggirkan bahkan legal atas nama UU apalagi terbukti dengan hanya UU cipta kerja. Perempuan dijadikan sapi perah untuk kepentingan oligarki.

Sesungguhnya negeri ini bisa terselamatkan bukan karena kecantikan parasnya, ataupun cantiknya kebijakannya. Karena sesungguhnya berbagai problematika yang ada hari ini adalah biang kerok dari sistem penerapannya yang tidak menjamin keterpenuhan kebutuhan perempuan maupun laki-laki sehingga perempuan dituntut untuk kerja dan berada di ruang publik untuk mencari cuan.

Islam memuliakan perempuan

Dalam Islam sangat tegas melarang perempuan menjadi pemimpin. Dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada perempuan (HR.  Bukhari).

Tidak butuh kesetaraan gender, kesetaraan perempuan pun dijamin oleh Islam, syariat benar-benar telah memuliakan melindungi memberikan keadilan bagi perempuan selama periode yang panjang dalam kepemimpinan Islam.

Islam punya peraturan untuk mengatur peran politik perempuan, keterlibatan perempuan di dalam politik nyata bukti ketaatan hukum syara, peran perempuan membangun kesadaran politik dan muhasabah kepada penguasa sebagai legislator. Jika para pemangku kebijakan melakukan kesalahan maka tugas perempuan wajib menasihati para penguasa.

Seperti yang terjadi pada kepemimpinan Umar Bin Khattab ketika membatasi pembatasan mahar pada perempuan, beliau mendapatkan kritik dari seorang muslimah, maka Umar pun bertobat dan membatalkan kebijakan tersebut. Beda dengan konsep demokrasi hari ini, perwakilan perempuan dalam demokrasi bukanlah solusi, justru penerapan sistem demokrasilah yang menjadi biang kerok kehidupan baik laki-laki dan perempuan makin sengsara. Alhasil, menerapkan sistem Islam adalah sesuatu hal yang urgen dilaksanakan. (*)