Opini  

Politik Kebajikan dan Rekam Jejak

Oleh: Asrul NL
Pemuda Sofifi

_____________________

DIMULAINYA minggu tenang Pilkada Serentak di Wilayah Provinsi Maluku Utara tahun 2024. Saya tertarik dengan pesan Tuhan untuk memperkuat “amar makruf nahi munkar”. Dalam politik, pesan Tuhan ini harus diejawantahkan dalam tindakan politik yang mengarah pada kebajikan dan mencegah terhadap kemungkaran. Jika kita menghayati makna itu secara mendalam, maka ada pengawasan melekat dari Tuhan, yang tidak bisa dihindari dan ditipu oleh siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Maka, hadirlah makna positif dalam menghadirkan spirit dan pesan Tuhan dalam kehidupan demokrasi kita.

Ada konsekuensi lanjutan, tentu saja, yang dapat menjelma dalam kesadaran etis dan moral perilaku politik kita, untuk selalu berperilaku jujur, baik dan amanah, terutama dalam etika dan perilaku politiknya. Karena, manusia semestinya semakin menyadari bahwa moral dan etika merupakan inti dan pesan suci dari firman Tuhan dalam kehidupan ini.

Namun, apa yang terjadi akhir-akhir ini justru semakin menjatuhkan kehidupan kita dari spirit dan pesan ketuhanan dalam kehidupan politik kita. Saya sangat prihatin bahwa mentalitas kita sebagai pemilih cerdas semakin tergerus pada suasana politik praktis yang kotor penuh tipu daya. Kita seharusnya melihat pemimpin yang bebas dari dua aspek utama yakni korupsi dan hipokrit. Coba kita bayangkan, di sana-sini seorang selalu ramai-ramai bersuara lantang mengampanyekan untuk pemberantasan korupsi. Apa yang terjadi bukanlah praktik korupsi semakin menurun, melainkan justru semakin meningkat dan makin canggih modusnya. Apa yang dilantunkan dalam kata dan ucapan, tidaklah selamanya dipraktikan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari.

Saya sungguh prihatin, karena dalam politik, orang terbiasa menipu, bersikap inkonsisten, dan mempermainkan orang lain tanpa ada perasaan moral dan etika. Hal tersebut dapat terjadi karena kita pisahkan begitu jauh antar politik dan agama. Akhirnya semua orang sudah terlanjur melihat politik sebagai medan politik untuk berbuat semaunya, tanpa mengindahkan lagi etika sopan santun.

Lebih dari itu, kekhwatiran saya sebenarnya lebih terletak pada terjadinya apa yang disebut dengan “kesenjangan dalam ukuran nilai” (value judgment). Kita, misalnya sering kali menemukan anomali dan penyimpangan moral seperti kebohongan, inkonsistensi, hipokrit, dan korupsi yang jelas-jelas melawan pesan Tuhan dan hukum positif kita, tapi justru tidak disadari lagi oleh yang bersangkutan. Karena, sesuatu yang dalam pesan Tuhan dan hukum positif kita adalah pelanggaran etika dan moral, namun menurut persepsi orang bersangkutan adalah suatu hal yang dianggap wajar belaka. Berbohong dan hipokrat dalam politik, dinilai sebagai sesuatu hal yang biasa.

Dalam perkembangan selanjutnya, praktik-praktik tak bermoral dan anomali yang berbahaya itu, dapat menjadi kebiasaan (habit) dan dianggap wajar belaka, Sehingga berubah hakikat menjadi watak. Kondisi kita akhir-akhir ini, tidak saja mencemaskan dan memprihatinkan, tetapi sudah pada tingkat membahayakan, karena memisahkan antara politik dan agama sudah menjadi watak dan kebiasaan, sebagai a way of life, sehingga dianggap biasa dan wajar belaka.

Mengakhiri tulisan ini, saya akan sedikit mengadopsi nasihat Buya Hamka seorang ulama besar Indonesia, beliau menyampaikan penuh tawaduh bahwa pribadi seseorang pemimpin dapat diketahui setelah melihat perjalanan hidupnya dan rekam jejak usahanya. Mengingat pesan Buya Hamka tersebut kita seharusnya sadar dan menaruh sumpah, bahwa keadaan korupsi, hipokrisi, dan kebohongan yang menjadi modus politik Maluku Utara kita hilangkan dengan tekad, saatnya untuk mendeklarasikan permusuhan abadi terhadap segala bentuk korupsi dan hipokrisi. Lewat momentum Pilkada 2024 kita menentukan sikap untuk selamatkan Maluku Utara dari tangan oang-orang yang tidak mengedepankan etika dan moral. Inilah yang seharusnya sumpah kita bersama.

Politik kebajikan dan rekam jejak harus kita tegakan. Politik bukanlah tujuan akhir dari proses kehidupan kita, melainkan sekadar alat dan mekanisme untuk mewujudkan kebajikan dan kemaslahatan kita bersama. Bermula dari diri kita sendiri, kita harus bersumpah untuk tidak hanyut dalam kultur korupsi, dan kultur hipokrisi, yang sudah menjangkiti jalan kehidupan sebagian di antara kita. Politik kebajikan dan rekam jejak dimulai dari keteladanan moral, yang bermula dari diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. (*)