Opini  

Paradigma Pembangunan: Dari Reformasi ke Transformasi

Oleh: Alfakir Fardal Rasudin 

__________________________

PARADIGMA dapat diartikan sebagai cara pandang, namun secara akademisi istilah paradigma pertamakali diperkenalkan oleh Thomas Khun dalam bukunya The Struktur of Saintifik Revolution, Khun berbicara tentang revolusi sains dimana paradigma sains yang lama ditumbangkan oleh paradigma sains yang baru. Secara saintifik proses tumbangnya paradigma lama dan digantikan dengan paradigma baru karena paradigma sains yang baru lebih benar secara ilmiah dibandingkan dengan paradigma sains yang lama, misalnya pada perkembangan teori atom dari teori atom Dalton hingga teori atom Neils Bohr dan terakhir mekanika kuantum modern, teori Dalton yang mengatakan atom adalah partikel terkecil yang tidak dapat dibagi lagi pada perkembangannya teori itu dipatahkan oleh postulat Neils Bohr yang membuktikan atom terdiri dari muatan negatif yang mengelilingi inti atom bermuatan netral dan positif, hingga kemudian dilengkapi dalam teori mekanika kuantum modern dengan bilangan kuantum spin dan quark-quark.

Secara sosial proses tumbangnya suatu paradigma bukan dipicu dari kaidah ilmiah benar atau salahnya suatu paradigma yang dibuktikan dalam laboratorium, akan tetapi disebabkan oleh kekuatan paradigma yang baru lebih mendominasi melalui kekuasaan dan kekuatan politik. Misalnya di era orde baru (Orba) Presiden Soeharto memperkenalkan istilah Devlopmentalisme (Pembangunanisme) melalui program rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Faktanya paradigma pembangunan ala Soeharto telah menumbangkan paradigma sosial ala Ir Soekarno yang bertumpu pada konsep “Marhaenisme” yang mana dibangun dalam lima asas yaitu Pancasila, Nasakom, Manipol-Usdek, Trisakti, dan Berdikari (Berdiri diatas kaki sendiri). Peralihan kekuasaan di era Orde lama ke Orde baru menunjukkan satu proses tumbangnya paradigma lama disebabkan kekuatan politik dan kendali kuasa paradigma baru lebih mendominasi.

Penting sekali kita mengenal paradigma pembangunan, karena indikator perubahan sosial sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh paradigma sosial serta sangat menentukan arah gerakan perubahan yang ada dalam masyarakat, kita mengalami tatanan masyarakat yang humanisasi ataukah dehumanisasi semuanya bergantung paradigma sosial yang digunakan didalamnya. Misalnya dalam melihat pola hubungan antara buruh dan pabrik satu paradigma melihat itu sebagai pola hubungan yang saling menguntungkan dan paradigma lain melihat itu sebagai pola hubungan yang eksploitatif, dua pandangan itu masing-masing menjatuhkan sikap berbeda pula dalam mengambil langkah sosial.

Dalam teori sosial ada dua paradigma yang saling berseberangan dalam merumuskan pembangunan, yaitu paradigma dominatif struktalis dan paradigma kritik emansipatori. Bagi paradigma strukturalis pembangunan masyarakat diarahkan dan ditentukan oleh kekuatan struktural seperti pemerintah, akademisi atau para ahli, dan masyarakat dipandang sebagai objek pasif yang fungsinya hanya diarahkan dan hanya mengikuti semua kebijakan yang dirancang oleh para pengendali. Sedangkan paradigma kritik emansipatori memandang perubahan sosial ditentukan sendiri oleh masyarakat yang perlu dilakukan adalah memberdayakan masyarakat dengan pendidikan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Paradigma kritik memandang masyarakat sebagai objek yang aktif dan pemeran utama dalam perubahan sosial.

Atas interpretasi yang berbeda itu, masing-masing menjatuhkan sikap yang berbeda pula, paradigma strukturalis menggunakan pendekatan-pendekatan mengambil kebijakan seperti Hilirisasi Nikel dan mendukung Industri ekstraktif yang mengeksploitasi lingkungan hidup, sedangkan paradigma kritik mengunakan pendekatan basis massa dalam hal ini adalah organisasi masyarakat sebagai kekuatan sosial. Paradigma kritik cenderung memprotes kebijakan penguasa yang dinilai sebagai bentuk dehumanisasi penguasa terhadap masyarakat, dan menekankan pembangunan hendaknya diarahkan pada pemberdayaan masyarakat. Kita tidak dapat mengatakan mana yang salah atau mana yang benar karena masing-masing berdiri pada pandangan dan perspektifnya, yang perlu kita lakukan adalah telah kritis atas paradigma sosial yang berlangsung dalam kehidupan sosial kita apakah marginalisasi ataukah kemerdekaan, humanisasi ataukah dehumanisasi. Dari Kesadaran Reformasi ke Kesadaran Transformasi: Paulo Freire
Seperti apa kesadaran reformasi dan kesadaran transformasi itu ? Paulo Freire salah satu tokoh pendidikan Brazil yang memberikan pandangan tentang kesadaran transformasi dalam bukunya The Pedagogi of the Oppersed. Freire tidak hanya berbicara tentang pendidikan akan tetapi arah perkembangan masyarakat yang lebih luas yaitu pada dimensi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Itulah kenapa Freire meletakkan pendidikan sebagai proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Proses humanisasi itulah hendaknya pendidikan (dalam arti luas) diarahkan untuk menuju perubahan sosial ke masyarakat yang merdeka, humanis, adil, sejahtera, setara dan berkebudayaan.

Dalam klasifikasi kesadaran menurut Freire, kesadaran naif atau kesadaran reformasi adalah kesadaran yang sudah memahami hubungan-hubungan sosial namun menjatuhkan pandangan dan tindakan yang keliru, misalnya dalam kasus kemiskinan struktural, kesadaran naif memandang itu terjadi karena faktor personal manusia yaitu karena manusia itu malas, karena manusia itu bodoh, karena manusia itu tidak mau kerja dan semua yang menekankan pada unsur personal. Sementara kesadaran transformasi menekankan pada aspek impersolal dimana melihat kemiskinan itu hadir lebih disebabkan pada dimensi yang berada diluar kendalinya yaitu struktur sosial yang mendominasi dan yang di dominasi serta rumusan kebijakan yang membuat masyarakat akar rumpur terdistorsi dari kehidupan sosial adalah penyebab utama kemiskinan struktural.

Misalnya dalam melihat kasus Gus Miftah terhadap penjual es teh (pak Sunhaji) yang baru-baru viral di media sosial, kesadaran naif akan melihat itu sebagi pola perilaku, adab dan cenderung terkurung dalam labiran moralitas belaka, sementara kesadaran transformatif akan melihat itu sebagai kejahatan sistemik yang mana berjuta-juta orang miskin seperti pak Sunhaji mengalami nasib yang sama di hadapan Negara dan sistem sosial yang tidak adil. Dengan demikian kesadaran tranformasi mengupayakan terciptanya masyarakat yang setara dan berkeadilan secara lebih luas dan berkemajuan.

Kesadaran Transformasi adalah kunci
berangkat dari studi banding Sherly Tjoanda Laos di Kota Makasar, dimana Sherly sebagai Gubernur Terpilih Provinsi Maluku Utara dengan perolehan suara sekitar 53,8 % (menurut hitungan cepat), Sherly mengiming-iming Ibukota Provinsi Maluku Utara (Sofifi) nantinya di desain seperti Kota Makassar. Menurutnya, Kota Makasar adalah kota yang dapat dijadikan contoh tata Kota Sofifi. Tampaknya studi banding yang dilakukan oleh Gubernur terpilih berdiametral pada pembangunan infrastuktur dan sudah tentu berangkat dari paradigma strukturalis dibandingkan menggunakan pendekatan paradigma kritis yang membersamai masyarakat akar rumput.

Untuk sesi tulisan ini, ingin penulis sampaikan, unsur yang paling subtantif dalam pembangunan (Devlomentalisme) adalah unsur manusianya. Pembangunan yang hanya menekankan pada aspek infrastruktur dan benda-benda tentu sangat rentan terjadi dehumanisasi, marginalisasi hingga kriminalisasi masyarakat akar rumput yang mestinya menjadi tujuan utama dalam pembangunan.
Bagaimana nantinya pembangunan Maluku Utara 5 tahun ke depan ? apakah kita mengalami humanisasi ataukah dehumanisasi? Apakah pembangunan mengutamakan kesejahteraan masyarakat atau berpihak kepada penguasa? Dan segudang pertanyaan tentang kebijakan pemerintah, mestinya pertanyaan-pertanyaan seperti itu mencuat dalam ruang publik dan ruang interaksi publik, kenapa demikian ? Karena kesadaran tranformasi adalah kunci pembangunan dan perubahan sosial, dengan keterlibatan semua kalangan yang bersandar pada kesadaran kritik sekaligus beriringan dengan pengambilan sikap dan gerak sangat mungkin diwujudkan perubahan sosial yang setara, adil, sejahtera, dan berkemajuan.

Harapan penulis kesadaran transformasi dapat direduksi secara sosial untuk mewujudkan pembangunan Bangsa yang demoktratis dan berkemajuan, khusunya di Maluku Utara yang kita cinta ini.

Wallahulmuafik Illah Aqwamitthoriq.

Penulis: Alfakir Fardal Rasudin
Ketua Pemuda Peduli Pendidikan dan Demokrasi Indonesia (PALPASI) Halmahera Timur