Opini  

Tentang Sang Kiai: Apakah Hukum Mematikan Rasa Kemanusiaan?

Abdul Gani Kasuba.

Oleh: Sefnat Tagaku

________________________

CATATAN ini bermaksud memberi curhatan juga refleksi hidup setelah melihat kondisi mantan Gubernur Maluku Utara dua periode, Abdul Gani Kasuba alias AGK terbaring kaku karena dikabarkan sakit di tengah hukum yang menjeratnya melalui kasus korupsi suap dan gratifikasi di lingkup Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut).

AGK, adalah sosok yang dikenal dengan pribadi yang rendah hati, baik hati dan tidak suka membenci. Apalagi dia (AGK) adalah sang kiai yang memiliki kontribusi besar di bidang keagamaan. Meski demikian, manusia tetaplah memiliki sisi buruk dihadapan orang lain bahkan hukum sekalipun.

Dalam cerita lain, AGK salah satu sosok pemimpin yang begitu dekat dengan masyarakatnya. Mengutip cerita-cerita dari sejumlah teman-teman mahasiswa yang kuliah di luar daerah, dia bahkan menjadi penolong dalam situasi tertentu yang mendesak (bayar kos, uang makan, hingga uang semester).

AGK pun terkenal dengan sosoknya yang tidak suka membedakan orang yang ia temui, baik suku, agama maupun ras. Mungkin karena dia diayun dengan modal beragama dan berbudaya yang kuat, sehingga nilai-nilai itu tertanam kokoh dan berakar dalam pribadinya.

Sebagai mantan gubernur dua periode, tentu ada banyak hal yang telah dilakukan oleh AGK dalam melakukan perubahan-perubahan terhadap daerah berslogan ‘Mari Moi Ngone Futuru‘, yang perlu kita apresiasi dan ikut bangga sebagai masyarakat Maluku Utara.

Sekali lagi, sosoknya perlu diapresiasi! Bahkan, di tengah usia yang senja dan memasuki akhir masa jabatannya sebagai gubernur, AGK mendapatkan masalah dari sejumlah kasus yang melibatkannya, namun sedikitpun tak ada perlawanan yang ia tunjukkan.

AGK mematuhi setiap keputusan hukum, bahkan pada beberapa kesaksian persidangan yang dianggap ‘fitnah’ sekalipun. Seolah ada pesan dan hikmah dari masalah tersebut yang ingin dia sampaikan. Yang terlihat darinya setelah menjumpai masalah ini, adalah meminta maaf kepada masyarakat dan selalu tersenyum.

Pada konteks ini, pengadil hukum mesti bisa mempertimbangkan atas kondisinya yang dikabarkan melemah karena sakit. Karena itulah, curhatan, pun refleksi ini hendak ingin disampaikan kepada para pembesar pengadil hukum, agar sekiranya mempertimbangkan kondisi kesehatan AGK.

Yang terpenting, AGK tidak memperlihatkan sikap perlawanan terhadap hukum, selebihnya hukumlah yang mesti menjadi pertimbangan dari sosok yang banyak dicintai oleh masyarakat Maluku Utara itu. Sebaik apapun manusia, selalu saja ada yang salah di mata orang lain, bahkan di mata hukum.

Akhir dari catatan ini, pribadi saya sangat berharap agar beliau (AGK) dikembalikan ke keluarganya untuk dirawat dengan kasih, sambil mungkin ada pengawasan hukum untuk tidak melepaskan dari jeratan. Semoga sosok bersahaja, sang kiai itu cepat pulih dari sakitnya. (*)