LABUHA, NUANSA – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Maluku Utara menyoroti masuknya perusahaan tambang PT Intim Mining Sentosa (IMS) di Desa Bobo, Kabupaten Halmahera Selatan. PERHAPI menilai Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan tidak melindungi hak-hak rakyatnya di Desa Bobo, dan cenderung bersekongkol dengan PT IMS.
“Seharusnya Pemda Halsel hadir sebagai mediator dalam menengahi konflik antar masyarakat dengan PT IMS. Sebab masyarakat memiliki hak menyampaikan aspirasi atas segala dampak aktivitas pertambangan di daerahnya,” ujar Wakil Ketua PERHAPI Malut, Almun Madi, Senin (3/2).
Menurutnya, memang perusahaan memiliki kewajiban untuk menyusun Rencana Induk PPM, namun perusahaan dianjurkan mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat di sekitar tambang. Merujuk pada pedomannya, yakni Kepmen ESDM nomor 1824 tahun 2018. Perusahaan wajib membagi wilayah PPM berdasarkan ring 1, ring 2 dan ring 3.
Pembagian wilayah tersebut tentunya harus ada konsultasi dengan masyarakat dan stakeholder. Selain itu, penyusanan RI PPM ini harus menyesuaikan dengan blue print PPM yang disusun oleh pemerintah provinsi yang menyesuaikan dengan RPJM dan RTRW daerah.
“Sehingga jika perusahaan tidak melaksanakan berdasarkan pedoman tersebut, maka layak masyarakat melakukan pemboikotan aktivitas perusahaan PT IMS, karena PPM itu tertuang 8 poin program prioritas yang wajib dilakukan oleh perusahaan untuk masyarakat sekitar, yakni pendidikan, kesehatan, pendapatan rill, ekonomi, sosbud, lingkungan, komunitas PPM, dan infrastruktur,” jelasnya.
Begitu juga dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Di mana, kata dia, jika masih ada masyarakat yang menggugat dokumen AMDAL dari satu perusahaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bobo terhadap PT IMS, patut dicurigai dokumen AMDAL-nya asal-asalan atau akal-akalan alias mengakali masyarakat tanpa riset dan konsultasi yang komprehensif.
“Penting juga dilakukan pengecekan status IUP perusahaan PT IMS, apa memang benar-benar sudah layak melakukan operasi produksi atau belum, karena sebelum perusahaan mendapatkan IUP operasi produksi, dia harus diberi IUP eksplorasi dengan tenggak waktu sesuai UU minerba, yakni 8 tahun untuk mineral logam. Jangan sampai PT IMS lalai dalam hal itu. Jika itu terjadi maka berdampak pada pidana,” tegasnya.
“Jika aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat itu benar dan tidak diindahkan oleh perusahaan PT IMS, maka ini akan berdampak pada konflik berkepanjangan. Dengan demikian, pemerintah perlu memikirkan nasib PT IMS ini, apakah bisa dihentikan sementara atau bisa juga dilakukan pencabutan IUP. Dalam kebijakan pertambangan diatur dalam UU Minerba pada pasal 113 sampai 119 yakni penghentian sementara atau suspensi dan pencabutan IUP,” sambung akademisi Unkhair itu.
Sebagai organisasi profesional, PERHAPI tentu memiliki sikap mendukung masyarakat, jika yang disuarakan masyarakat itu benar, begitu pun jika aspirasinya tidak digubris oleh pihak perusahaan dan pemerintah. Pihaknya juga saat ini sedang dalam kajian atas konflik tersebut, dan tentunya berdasarkan kebijkan dan regulasi Minerba yang belaku. (tan)