Oleh: Naufandi Hadyan Saleh
Sekretaris Umum HMI Komisariat Tarbiyah IAIN Ternate
________________________
TEPAT pada tanggal 05 Februari 1947 M bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H menjadi penanda berdirinya salah satu organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia ialah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dengan melihat dinamika mahasiswa yang terjadi pada saat itu mendorong sang pendiri Lafran Pane tergugah untuk menghadirkan sebuah organisasi yang menampung mahasiswa Islam. Organisasi ini berdiri di atas pijakan spirit ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Pada tahun ini HMI genap berusia 78 tahun, usia yang tak lagi muda. Jika HMI diibaratkan seorang manusia tentu HMI adalah sosok tua yang sudah renta dan telah memasuki fase lanjut usia. Manusia yang berusia 78 tahun adalah sosok yang memiliki banyak pengalaman dan telah melalui fase kehidupan yang sangat kompleks. Kenyatannya memang demikian, HMI telah mewarnai dinamika kehidupan beragama dan berbangsa yang sangat beragam dalam beberapa dekade terakhir.
Dinamika kebangsaan seperti bergantinya tampuk kepemimpinan nasional, munculnya partai Komunis, undang-undang yang mengharuskan setiap organisasi menerima asas tunggal pancasila dan masih banyak lagi adalah deretan peristiwa yang hadir mengiringi tumbuh dan berkembangnya HMI.
Dewasa kini HMI diperhadapkan oleh dinamika baru yang tak kalah penting. Tantangan globalisasi seperti berkembangnya teknologi dan pengetahuan yang mengharuskan setiap anggotanya menyesuaikan diri di tengah-tengah arus kemajuan zaman. Dinamika ini telah banyak dikupas oleh anggota HMI, akademisi, dan para ahli. Bahkan ia menjadi diskursus yang sering lewat di panggung kedai kopi, kampus, dan platform media sosial.
Sayangnya, diskursus tentang dinamika kebangsaan dan dinamika arus globalisasi membuat HMI sering terlena dan cenderung melupakan diskursus lain yang tak kalah penting yaitu degradasinya corak mahasiswa Islam sebagai identitas dan entitas utama Himpunan Mahasiswa Islam.
Untuk itu, momentum milad yang ke-78 HMI dan konferensi HMI cabang Ternate XXXIV diperuntukkan sebagai ajang refleksi dan titik balik mengembalikan HMI yang bercorak Islam. Ada beberapa langkah yang bisa dilalui untuk mencapai cita-cita tersebut di antaranya:
Kriteria Memilih Pemimpin Berdasarkan Perintah Nabi, Bukan Perintah Senior atau Alumni
Konferensi Cabang merupakan salah satu forum pengambilan keputusan yang ada di HMI. Konfercab juga merupakan ajang memilih siapa yang akan menahkodai HMI tingkat cabang sekaligus forum perumusan arah dan langkah HMI ke depan. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa konstelasi politik yang ada di HMI selalu erat kaitannya dengan berbagai macam kepentingan baik kepentingan individual ataupun kepentingan suatu kelompok. Hal ini tentu dapat mencederai independensi HMI jika setiap calon yang hendak dipilih hanya mengakomodir kepentingan individual atau kelompok tertentu yang sama sekali tidak memiliki dampak terhadap keberlangsungan organisasi.
Setiap anggota yang dengan sadar akan memilih calon ketua umum hendaknya berlandaskan pada kriteria yang telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu: siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan kebenaran). Belakangan ditambahkan adil dan berakhlakul karimah, bukan malah berdasarkan cawe-cawe senior atau alumni. Selain itu, penjaringan calon ketua umum harus diuji melalui basic pengetahuan ke-Islamannya.
Sehingga dengan begitu kita akan menemukan calon pemimpin yang idealnya sesuai dengan citra mahasiswa Islam dalam forum pengambilan keputusan selalu berbasis intelektual, moral dan musyawarah (keputusan bersama).
Jika hal ini benar-benar dipakai sebagai barometer, menurut penulis konferensi HMI Cabang Ternate XXXIV dapat berjalan maksimal dan efisien sekaligus meminimalisir konflik-konflik yang tidak perlu.
Organisasi Mahasiswa Islam yang Mumpuni di Bidang Keilmuan Islam
Realita mengatakan HMI tidak pernah kehabisan stok anggota dan alumni yang mumpuni di berbagai bidang ilmu. Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya posisi-posisi strategis kepemimpinan nasional maupun daerah yang selalu diisi oleh anggota HMI maupun alumni HMI. Hanya saja, kita masih kekurangan anggota maupun alumni yang tumbuh menjadi ulama maupun tokoh muslim yang sejati.
Penulis tidak pernah merasa kaget jika di suatu momen ada anggota HMI yang terpilih memimpin sebuah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Hal yang tidak mengagetkan juga tatkala melihat ada alumni HMI yang terpilih memimpin pemerintahan maupun sebuah institusi. Kenyataannya HMI tidak pernah berhenti menyuplai anggota-anggota terbaiknya untuk mengisi posisi strategis tersebut.
Namun perlu untuk kita renungi sedikit dan jarang sekali ditemukan adanya anggota maupun alumni HMI yang memilik corak Islam yang sangat kental sehingga menjadikan dirinya sebagai ulama maupun tokoh Islam yang terkemuka di negeri ini. Anggota maupun alumni HMI jarang tampil sebagai solutor dalam menjawab diskursus yang sifatnya ikhtilaf (perbedaaan) di kalangan umat muslim.
Kenapa ini penting? Sebab adakalanya permasalahan seperti ini rentan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Menurut penulis situasi seperti inilah yang mengharuskan anggota maupun alumni HMI untuk tampil di depan publik dan memberikan pencerahan sesuai dengan profil utamanya sebagai mahasiswa Islam (sosok terpelajar).
Hal ini dapat dirumuskan lewat masifnya metode perkaderan dan materi perkaderan yang bersentuhan langsung dengan prosesi peribadatan (mahdah). Sebagai contoh diskursus fiqhiyah (ilmu fiqih) jarang sekali dikuasai oleh anggota maupun alumni HMI. Padahal kita tahu betul diskursus fiqhiyah sangat erat kaitannya dengan kehidupan seorang muslim. Contoh lain diskursus falaqiyah (ilmu falaq) yang sering digunakan untuk menentukan masuknya bulan juga jarang sekali dikuasai oleh anggota HMI. Padahal permasalahan ini acap kali menimbulkan perdebatan dan perbedaan di kalangan umat Islam, misalnya dalam penentuan masuknya bulan Ramadan.
Dua contoh kasus di atas adalah sedikit dari banyaknya permasalahan yang dihadapi umat Islam yang ada di Indonesia. Sayangnya, HMI tidak mampu menghadirkan anggota-anggota dan alumninya untuk memberikan pencerahan kepada umat. Inilah yang menurut penulis setiap anggota maupun alumni HMI harus memiliki pengetahuan keIslaman yang mumpuni. Sejalan dengan itu, penulis berharap ketua umum dan kepengurusan HMI cabang Ternate yang akan datang haruslah memiliki kriteria yang sama, yaitu mumpuni di bidang keilmuan Islam.
Harumnya Corak Islam di Tengah Arus Digitalisasi
Menjadi seorang ulama intelektual maupun cendekiawan muslim yang sejati tidak membatasi ruang dan gerak seseorang anggota HMI untuk menampilkan corak keIslamannya di tengah-tengah arus digitalisasi. Islam sebagai agama tentu selalu mendorong penganutnya untuk hidup dan mengedepankan pengetahuan, termasuk penyesuaian diri terhadap pesatnya teknologi.
Sebagai organisasi mahasiswa Islam yang hidup di era ini, HMI diharuskan untuk pandai memposisikan dirinya. Bagaimana tidak? tantangan yang dihadapi oleh HMI di tengah arus digitalisasi tidaklah mudah.
Maksud dari harumnya corak Islam di tengah arus digitalisasi adalah mengedepankan nilai-nilai Islam dalam penggunaan media digital, seperti konsisten menyampaikan kebenaran di media sosial. Semestinya setiap anggota HMI tidaklah perlu takut menyampaikan kebenaran di berbagai platform media sosial meskipun harus menghadapi konsekuensi terburuk. Selain itu, anggota HMI tidak dibenarkan untuk menebarkan fitnah. Idealnya semua informasi, gagasan, maupun kritikan yang disampaikan HMI haruslah berbasis data dan fakta. Kemudian setiap anggota HMI haruslah menjadikan media digital sebagai medan perjuangan dan syiar agama Islam.
Penulis berharap ketua umum terpilih dan kepengurusan baru HMI cabang Ternate periode 2025-2026 dapat menjadikan tulisan ini sebagai refleksi dan muhasabah pada peringatan milad HMI ke 78 dan momentum konfercab XXXIV. (*)