Opini  

Mahabbah, Manusia dan Alam Semesta 

Oleh: Rabbiul Nguna Nguna

_____________________________

MAHABBAH bermakna “cinta” atau “kasih sayang” yang mendalam dan tulus. Dalam konteks spiritual dan agama, mahabbah merujuk pada cinta yang tidak terbatas dan tidak bersyarat kepada Allah SWT, serta kepada sesama manusia. Imam Ibn Taymiyyah mengatakan “Mahabbah adalah cinta yang mendalam dan tulus kepada Allah SWT, yang membuat seseorang melakukan semua perbuatan yang dicintai oleh Allah SWT”.

Seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikit pun.

Cinta yang seharusnya membuat diri kita lebih dekat dengan Allah, tapi saat ini cinta membuat orang semakin rakus dan ganas, orang-orang materialiastis di zaman ini menjadikan materi sebagai tujuan hidup dan menaruh cinta yang mendalam kepada sebuah materi, cinta kepada materi lebih mendominasi daripada cintanya kepada Allah.

Jangan heran manusia menjelma seperti binatang buas yang melakukan tindakan dengan menggunakan hawanafsu, sangat menyedihkan ketika nafsu materi telah menguasai manusia maka sorang pemimpin dengan gagah mengeksploitasi masyarakat miskin yang tidak berdaya, hukum diibaratkan seperti pisau yang dijadikan sebagai alat untuk kepentingan penguasa agar memanjakan yang atas dan siap menghunus apapun yang ada di bawah. Betapa rusaknya hukum pada saat ini, Plato mengatakan “Hukum seperti sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat yang miskin dan lemah tapi tidak mampu menjerat yang kuat dan yang kaya”. Seperti itulah kiranya praktik hukum kita di Indonesia. Pemerkosaan yang saat ini lagi marak-maraknya terjadi, sangat menyedihkan lagi apabila seorang ayah yang memperkosa darah daging sendiri, namun apalah jadi jika nafsu cinta materi yang menguasai.

Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 30

“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi, maka malaikat berkata, apakah engkau hendak menjadikan orang yang akan merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji dan menyucikan namamu. Allah berkata, sungguh aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Melestarikan dan menjaga alam adalah tugas dan tanggung jawab seorang khalifah, namun lagi-lagi pada realitanya, menjadi khalifah di bumi malah merusak dan menghancurkan alam, kehadiran tambang-tambang penghancur alam menjadi isu yang biasa dan familiar di zaman ini. Tambang merupakan bagian dari tindakan merusak bumi serta merampas kehidupan masyarakat, di mana tambang merusak potensi semua orang terutama di kalangan anak muda, masa depannya menjadi buruk akibat daripada pengaruh tambang, orang-orang lebih berserahkan ke perusahaan daripada melanjutkan pendidikan. Selain itu, air bersih yang menjadi sumber kehidupan masyarakat saat ini menjadi air busuk yang bernanah akibat limbah perusahaan, semisalnya air yang ada di Desa Sagea. Semua ini terjadi lantaran manusia tidak menjadikan Allah dan Rasul sebagai cinta pertama, sehingga semua kesenangan dan ingatannya kepada sesuatu yang lain bukan kepada Allah.

Kita lihat syair-Nya “ Rabi’ah Al- Adawiyah “

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta

Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu

Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu

Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir

Hingga Engkau ku lihat

Baik untuk ini maupun untuk itu

Pujian bukanlah bagiku

Bagi-Mu pujian untuk semua itu

Dalam Islam cinta kepada manusia, harta benda dan apa yang kita miliki adalah dibolehkan tapi ketika cinta kita kepada semua lebih besar daripada cinta kita kepada Allah, maka cinta kita hanya akan membawa kerakusan dan juga kesyrikan. Cinta kepada selain Allah dibolehkan dan dianjurkan dalam Islam, tetapi cinta kepada Allah lebih besar dan mendalam dibandingkan dengan cinta kepada sesuatu yang lain. (*)