Opini  

Refleksi 78 Tahun HMI: Membaca Peta Perjuangan HMI di Maluku Utara 

Oleh: Yusril Buang
Anggota HMI Cabang Ternate

_______________________

HMI 78 tahun yang lalu adalah HMI yang berani keluar menancapkan taring perjuangannya di atas panggung sosial-politik dalam rangka “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.” Tujuan integratif itulah yang memantik pemuka-pemuka himpunan dalam hal ini Lafran Pane dkk berani melepaskan pena, dan mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda. Sederhananya, suasana politik saat itu telah membentuk nalar perjuangan para pendiri himpunan ini menjadi sensitif dan responsif dengan tema-tema kemerdekaan dan pemberontakan.

HMI di 1996, adalah HMI yang secara sadar mengepakkan sayap intelektualnya di tengah pergumulan ideologi yang masih memanas. HMI tampil dengan percaya diri, merekomendasikan proposal ide cemerlang tentang kenegaraan dan keagamaan yang terus dipertentangkan. HMI melalui komando Nurcholis Madjid tampil merumuskan wawasan titik temu yang menghubungkan antara agama dan agama sekaligus agama dan Negara melalui kerangka epistemik yang jauh dari pengaruh-pengaruh ideologi. Ide pembaharuan itu lahir bukan tanpa alasan, tapi ke semuanya lahir dikarenakan HMI di awal pembentukannya sudah mendeklarasikan perjuangan untuk NKRI dan perjuangan untuk Islam (agama) dalam satu tarikan nafas. (kesilaman dan keindonesiaan).

HMI saat ini berbeda dengan HMI sebelumnya, hal ini dikarenakan terus terjadinya perubahan zaman yang begitu cepat sehingga mengharuskan HMI kembali merumuskan ulang metode perjuangannya. Kerangka perjuangan yang dibutuhkan adalah kerangka yang relevan dengan kondisi ummat dan bangsa saat ini. Problema kebangsaan merupakan masalah yang kompleks, olehnya tidak cukup membacanya dengan satu perspektif saja. Selain itu, beragamnya masalah kebangsaan saat ini mengharuskan HMI memetakkan masalah-masalah apa saja yang harus diprioritaskan sebagai tema perjuangan.

Kondisi Global 

Secara global, hampir seluruh Negara dunia memiliki kesamaan masalah di bidang lingkungan hidup. Hal ini bermula di tahun 1970-an, ketika terjadinya pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan rumah kaca sehingga membuat banyak Negara kewalahan dalam mengelola lingkungan hidup. Isu lingkungan ini kemudian menjadi perbincangan global yang berujung pada berundingnya negara-negara di seluruh dunia untuk membahas solusi bersama menyelematkan bumi. Pada tahun 1972 diselenggarakannya Konferensi Stokcholm yang kemudian menjadi tonggak bersejarah kesadaran lingkungan masyarakat dunia. Lalu pada tahun 1887 diselenggarakan deklarasi Tokyo yang mempopulerkan terminologi pembangunan berkelanjutan. Nanti pada konferensi Rio De Janeiro pada 1992 itulah yang meletakkan fondasi dasar segmen lingkungan dan pembangunan.
Belakangan, muncul solusi dari negara-negara adidaya untuk mengatasi emisi karbon yang terus mengalami peningkatan dengan cara menggantikan kendaraan konvensional dengan kendaraan listrik. Kendaraan listrik dianggap lebih ramah lingkungan, untuk itu dijadikan sebagai megaproyek global untuk dipakai di seluruh dunia. Kendaraan listrik tersebut bahan dasarnya adalah nikel, sehingga dalam hal produksi dan penggunaan kendaraan listrik dibutuhkan stok nikel yang banyak. Negara penghasil nikel terbanyak di dunia adalah Indonesia, sebaran cadangan nikel itu ada di Sulawesi dan Maluku Utara. Di Maluku Utara titiknya ada di Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Halmahera Selatan.
Pada tahun 2019, Jokowi meneken PERPRES No 55 tahun 2019 tentang percepatan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia. Per 2024 kemarin, Kumparan menginformasikan sebanyak 62,409 ribu motor listrik dan 12.248 Mobil Listrik yang sudah mengaspal di Indonesia.

Artinya bahwa, Maluku Utara disiapkan untuk menjawab kebutuhan global dalam hal ini megaproyek kendaraan listrik yang diinisiasi oleh negara-negara adidaya. Hal ini secara nyata telah dibuktikan dengan pengoperasian PT IWIP di Halteng, termasuk CBL dan PT Antam di Haltim dengan masa kontra ratusan tahun.

Dalam kacamata ekologi, ini merupakan ancaman besar yang nantinya merusak tatanan ekologi Maluku Utara. Bayangkan, jika kendaraan listrik ini berhasil menggusur produksi kendaraan berbahan bakar fosil, dipakai oleh miliaran penduduk China, Amerika dan 283,49 juta penduduk Indonesia, bisa dipastikan Maluku Utara akan hilang dari peta Indonesia dan bisa jadi hilang selamanya.

Pada posisi ini, Maluku Utara memiliki persoalan yang berbeda sekaligus ganda dari daerah-daerah lain. Selain disiapkan sebagai lahan empuk untuk menjawab megaproyek tersebut, daerah ini juga akan mencatat sejarah kerusakan lingkungan hidup yang masif dan penyelewengan hak asasi manusia secara terstruktur dan berkelanjutan.

Peran HMI di Maluku Utara 

Himpunan Mahasiswa Islam jauh-jauh hari telah masuk dan tumbuh di Maluku Utara, tepat pada 15 Agustus 1964 di Ternate sehingga dinamakan HMI Cabang Ternate. Seiring waktu, inisiasi pemekaran cabang di wilayah Maluku Utara seperti Tidore, Sula, Bacan dan Morotai sebagai cabang-cabang baru terus berkembang, dalam rangka untuk mempermudah gerak perjuangannya, berhubung karena rentang kendali antar daerah yang cukup jauh. Dengan semangat yang sama, yaitu untuk mewujudkan Mission Sacre HMI di Maluku Utara.

Sebagai Civil Society yang tumbuh-berkembang di daerah ini, HMI mesti mempertegas arah perjuangannya, tentu penegasan itu lahir dalam dialog panjang tentang persoalan mendasar yang menyandra daerah hari ini dan yang akan datang, bukan hanya di internal HMI, tetapi juga di kalangan lainnya.

Seperti yang sudah penulis jelaskan pada bahasan di atas, Maluku Utara secara nyata terancam secara ekologis. Olehnya, HMI di Maluku Utara yang memiliki puluhan ribu anggota/kader harus mengambil peran strategis dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan hidup di Maluku Utara. Kekuatan HMI harus diarahkan pada ruang-ruang terpencil dan terpelosok yang saat ini sudah dieksploitasi oleh perusahaan. Karena persoalan masyarakat tidak hanya terjadi di pusat kota, banyak persoalan dan nasib rakyat di desa-desa yang tidak terungkap karena sengaja ditutup-tutupi, oleh karena rentang kendali dan kuasa segelintir orang membuat rakyat tak berdaya membela hak dan kepunyaannya.

Melalui momentum milad ini, kita harus kembali (return) menangkap semangat konstitusi, yang secara hirarki menempatkan “HMI Sebagai Organisasi Perjuangan pasal 8 AD HMI dan menempatkan “HMI Sebagai Organisasi Perkaderan di pasal 9 AD HMI. Bahwa secara konstitusional, “Perjuangan” diletakkan pada posisi paling atas dari “perkaderan”. Walaupun sama-sama dibahas dalam Anggaran Dasar tapi bagi penulis, ada semangat dan keinginan konstitusi menginstruksikan kepada jagad HMI untuk benar-benar terjun di tengah hiruk-pikuk sosial-ekologis yang terus mengalami keterancaman.

Sudahi refleksi HMI yang berkutat pada persoalan konflik internal yang tanpa makna, kurangi pesismisitas seakan HMI tidak lagi relevan dalam perkembangan zaman hari ini, HMI masih ada, dan akan terus hidup mengawal urat nadi dan perjalanan negeri ini.

“Selamat Milad Himpunan Mahasiswa Islam yang ke 78 Tahun”. (*)