Hukum  

Propam Polda Malut Klaim Sidang Etik terhadap Bripka Risal Sudah Sesuai Ketentuan

AKBP Syamsul Alam. (Istimewa)

TERNATE, NUANSA – Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Maluku Utara mengklaim sidang kode etik profesi dengan terduga pelanggar berinisial Bripka RT alias Risal yang dipersoalkan Andriani selaku istri sahnya sudah sesuai ketentuan.

Bripka Risal selaku PS Kanit Bhabinkamtibmas Polres Halteng tercatat telah melakukan sejumlah pelanggaran berat seperti dugaan KDRT, tidak melaksanakan tugas hingga perselingkuhan. Namun selalu saja lolos dari sanksi berat baik dari Polres Halteng hingga Polda Malut.

Padahal, Bripka Risal sebelumnya juga telah dijatuhi sanksi, baik disiplin maupun etik. Putusan pertama pada 9 Agustus 2021 terkait KDRT, kedua putusan etik atas pelanggaran tidak melaksanakan tugas, dan ketiga melakukan perselingkuhan yang sidangnya digelar di Mapolda Malut.

Putusan sidang kode etik dugaan perselingkuhan yang digelar Polda Maluku Utara dinilai tidak ada keadilan bagi Andriani selaku istri dari Bripka Risal yang juga ibu Bhayangkari itu.

“Sidang kode etik ini terkait dengan laporan Andriani atas dugaan perselingkuhan yang dilakukan terduga pelanggar Bripka Risal,” ujar Plh Kabid Propam Polda Malut, AKBP Syamsul Alam, Jumat (14/2).

Syamsul menuturkan, dugaan perselingkuhan ini terjadi sejak Februari 2021 dan dilaporkan pada Oktober 2024 lalu.

“Di tahun 2021 saat itu, sudah diselesaikan oleh pak Kapolres Halmahera Tengah, sesuai peraturan kepolisian (Perpol) nomor 8 tahun 2018. Bahkan di tahun tersebut sudah dibuatkan kesepakatan tertulis dan ditandangani,” jelasnya.

Terkait bukti-bukti dan rekaman yang tidak diputar saat sidang kode etik, kata dia, karena pimpinan komisi dan anggota yang menjalani sidang tidak bisa keluar dari materi tuntutan yang telah disiapkan selama pemeriksaan.

“Berkas tuntutan yang kita (komisi) pelajari dan berdasarkan Perpol pasal 31 sebenarnya sudah kedaluwarsa. Akan tetapi, kita harus memberikan kepastian hukum sehingga disidangkan dengan melihat locus dan tempus delicti (tempat serta waktu kejadiannya) saat itu. Makanya, pertimbangan untuk yang bersangkutan dapat memperbaiki,” tuturnya.

Syamsul menegaskan, pihaknya tidak bisa memberikan hukuman berat kepada Bripka Risal, karena baru melakukan pelanggaran disiplin lebih dari satu kali atau belum lebih dari tiga kali.

“Jadi penjatuhan hukuman kepada Bripka Risal dengan putusan yang pertama minta maaf. Kedua, pembinaan selama satu bulan dan ketiga patsus (penempatan khusus) selama 30 hari sudah sangat berat. Tidak sembarangan seorang polisi mendapat patsus 30 hari, karena itu sangat berat,” tegasnya.

Ia menyatakan, sebagai ketua komisi sidang kode etik tidak bisa menyimpulkan 100 persen masuk kategori perselingkuhan. Sehingga apa yang disampaikan Andriani tidak bisa melebar kalau tidak disajikan oleh penuntut. Karena apa yang disajikan berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) berita acara pemeriksaan (BAP).

“Sebagai komisi bertiga orang yang memimpin sidang, berembuk dan melihat berbagai pertimbangan sehingga menjatuhkan hukum itu,” katanya.

“Kalau serta merta merujuk Perpol nomor 7 tahun 2022 maka harus kembali ke Perpol yang lama tahun 2014 dan itu harus mempelajari kembali. Kalau dilihat juga, dari tahun 2021 sampai 2024, keduanya masih menjalani rumah tangga hingga mendapatkan tambahan satu anak,” sambung Syamsul yang juga Kasubdit Waprof Bid Propam Polda Malut itu.

Kemudian, soal pelanggar sebelumnya sudah dilakukan Bripka Risal, yakni sanksi disiplin karena KDRT, putusan etik atas pelanggaran tidak melaksanakan tugas dan terkahir perselingkuhan, seperti yang disampaikan Andriani. Sehingga baru terhitung dua kali pelanggaran. Sebab yang ketiga dengan laporan perselingkuhan ini jika dihitung baru yang ketiga, apabila pelanggarnya sudah keempat kali maka sanksinya lebih berat.

“Perselingkuhan ini kalau kami hitung belum yang ketiga, apabila dihitung tiga kali melakukan pelanggaran jika Bripka Risal kembali melakukan pelanggaran yang keempat. Selanjutnya terkait dengan bukti yang tidak diputar seperti permintaan Andriani itu karena komisi berdasarkan tuntutan penuntut,” tegasnya.

Disentil soal janji salah satu anggota Propam berinisial IBY alias Irfan kepada Andriani terkait pemutaran rekaman dan penunjukan bukti pada saat sidang, Syamsul menyatakan itu tergantung komisi, karena dalam sidang mempunyai hak sepenuhnya yakni komisi yang memimpin sidang.

“Soal perjanjian itu, kami komisi punya hak sebagai pimpinan sidang. Karena kami juga tidak boleh keluar dari aturan dan ketentuan. Pada intinya sidang ini sudah selesai dan dapat memberikan kepastian hukum,” tandasnya. (gon/tan)