Opini  

Kampus dan Tambang Siapa yang Menang?

Oleh: Rabbiul Nguna Nguna

_________________________

SUDAH biayanya mahal, mutu dan kualitasnya juga kacau… Repot-repot kuliah, padahal yang dicari hanya selembar kertas yang bertuliskan ijazah. Ada apakah di balik kertas itu..?

Susah-susah untuk kuliah masih juga dimarahi dosen, skripsi di otak-atik, tukang fotocopy enak di dompet mahasiswa jadi susah, jangankan itu tugas yang tidak sesuai sedikit saja disuruh revisi, uang pas-pasan buat makan terpaksa harus digunakan buat kasih ke tukang fotocopy, mana harus bayar kontrakan atau kosan lagi, apalagi kalau bukan karena ijazah.

Realita saat ini banyak orang memiliki paradigma yang sama yaitu beranggapan bahwa pendidikan adalah jalan menuju ijazah, prestise, dan nanti dapat kerja, sengaja digunakan term nanti, karena fakta yang terjadi selama ini bahwa kuliah tidak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan. Ketika kita konteks-kan hajat hidup masyarakat saat ini dengan tantangan pendidikan, contoh saja ijazah yang belum menjadi jaminan seseorang mendapatkan pekerjaan maka akan masyarakat bertambah yakin bahwa kuliah tidak lagi penting, ditambah lagi kebutuhan hidup masyarakat yang makin kejam menuntut mereka harus bekerja, tidak menentu siapa dia dan kapan dia akan bekerja baik laki-laki atau perempuan, baik orang tua maupun remaja. Hal ini akibat dari daya beli yang semakin kecil, sudah begitu segala sesuatu semua harus dibeli, BBM mahal, sembilan bahan pokok mahal, semua serba mahal. Untuk apa kuliah?

Belakangan ini kehadiran perusahaan tambang bukan sesuatu yang baru, dikutip dari https:/malut.bps.go.id pada 14 Februari 25 menunjukkan bahwa di tahun 2024, Maluku Utara memiliki 127 izin usaha pertambangan. Hadirnya perusahaan tambang menjadi faktor utama penyebab lapangan kerja yang semakin sulit bagi masyarakat biasa, atau sebut saja orang yang tidak memiliki ijazah di tingkat sekolah menengah atas sebagai syarat masuk kerja, sehingga terbitlah fikiran orang tua terkait solusi untuk keluar dari dinamika kehidupan seperti yang dirasakan saat ini yaitu dengan mengorientasikan anak-anak mereka yang setelah kuliah untuk menjadi tenaga kerja di perusahaan tambang.

Lahan pertanian yang merupakan instrumen kehidupan bagi mereka telah sirna dibumihanguskan dan digantikan dengan tambang tempat kerja orang-orang yang mempunyai ijazah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain dan terpaksa setiap remaja saat ini dituntut untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah layaknya orang tua. Tambang yang saat ini semakin menjalar menjadikan masyarakat makin menderita dalam menghidupkan keluarga, belum lagi jika ada masyarakat yang anaknya terlanjur melanjutkan studi. Sehingga itu apa jadinya nasib mereka yang bersangkutan, sungguh ngeri jika dipikirkan. Padahal yang kita ketahui bahwa sumber daya alam di daerah ini sangat luar biasa melimpah, akan tetapi sumber daya tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga hanya dapat memberikan kesejahteraan kepada segelintir orang, tetapi tidak dengan masyarakat lain pada umumnya. Bahkan kita lihat saat ini alam kita justru dijadikan alat untuk menyengsarakan masyarakat.

Sekarang kita akan menggali dan menganalisis data serta fakta yang terjadi agar kita menemukan peluang dan tantangan kampus maupun perusahaan pertambangan yang ada, sehingga kita dapat membuat sebuah terobosan untuk perubahan.

Tunas muda generasi harapan bangsa setelah tamat sekolah jenjang atas berlomba-lomba mengikuti training di perusahan pertambangan, menjadikan tambang sebagai langkah ikhtiar bagi generasi muda untuk memperbaiki ekonomi serta nasib keluarganya yang mengalami keterpurukan. Jika kita bandingkan peserta secara kuantitatif antara perusahaan tambang di PT IWIP dan lembaga perguruan tinggi di Institut Agama Islam Negeri Ternate, maka dikutip dari https;//iwip.co.id pada 12 Februari 25, khususnya di tahun 2024, jumlah anggota peserta IWIP mencapai 16,897 orang, sedangkan jumlah anggota mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri Ternate yang mengikuti PBAK di tahun 2024, dikutip dari https.//iain-ternate.ac.id pada 12 Februari 25 bahwa total mahasiswa PBAK terdiri dari 653 orang.

Sekitar 60% peserta IWIP dari kalangan pemuda berusia rata-rata 19 tahun. Olehnya itu, banyak sekali SDM kita yang dicuri oleh tambang saat ini, dan dapat dibayangkan nasib bangsa ini ke depannya, bahkan tidak menutup kemungkinan kita akan jauh dari harapan dan cita-cita negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak heran kalau negara yang berusia 79 tahun ini mengalami keterbelakangan dan sampai saat ini Indonesia masih terus menjadi negara berkembang, berbeda dengan negara-negara di dunia pada umumnya dan di Asia tenggara pada khususnya yang sudah menjadi negara maju, seperti Singapura dan Brunei Darussalam.

Kita harus turut andil dalam merespons persoalan yang saat ini secara nyata kita alami bersama. Sebagai mahasiswa dan para akademisi yang cinta akan tanah air Indonesia, sudah sepatutnya kita merasa terpanggil ketika masyarakat sudah tidak lagi melihat pendidikan sebagai sesuatu yang penting.

Menurut Said Muniruddin (2017), yang membuat sebuah bangsa maju dan sejahtera adalah pemimpin yang adil serta rakyat yang terdidik, kualitas pemimpin dan rakyat menjadi faktor dalam kemajuan suatu bangsa. (*)