Oleh: Rahmat A Abdina
_____________________________
WAKTU itu, dunia masih cukup gelap. Siangnya listrik padam, malamnya hanya dinyalakan di pukul 18:00 WIT lalu padam lagi di pukul 23:00 WIT. Terkadang jika bahan bakar habis, masyarakat harus menggunakan lampu Loga-loga sebagai penerangan di saat malam. Dua dekade yang lalu masyarakatnya masih sangat bergantung dengan alam sekitar. Memasak dengan kayu bakar, mencuci tanpa bantuan mesin lalu mendengar musik hanya di radio ataupun kaset.
“Orang tua-tua dahulu tak banyak mendebat soal kapan mulai puasa. Mereka hanya melihat tanda-tanda lalu memutuskan besok sudah mulai puasa,” gumam seorang pria paruh baya di sebuah desa di Halmahera.
Zaman berganti, teknologi kian canggih namun penentuan kapan di mulainya puasa ataupun 1 Syawal jatuh di hari apa masih saja menjadi perdebatan setiap tahun. Perdebatan ini kerap kali mengundang keresahan di masyarakat hingga timbul ragam pertanyaan seperti apakah pemerintah dan pemuka-pemuka agama tidak mencarikan solusinya, apa langkah-langkah yang diambil hingga kendala-kendala apa saja yang dihadapi. (Fuad Yusuf, 2004).
Perbedaan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara tempat agama Islam awal berkembang seperti Arab Saudi juga sering terjadi persoalan ini. Di Indonesia sendiri, perbedaan penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal akan mengerucut kepada kelompok Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Perbedaan metode penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal menjadi sumber perdebatan. Perbedaan keduanya disebabkan oleh cara memahami dalil dan metode pengambilan hukum. Kalangan Muhammadiyah biasanya menggunakan metode hisab, sedangkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU) biasanya menggunakan metode rukyatul hilal. Akan tetapi, banyak juga kalangan ulama NU yang menggunakan metode hisab dalam penentuan awal Ramadhan. Sementara itu, pemerintah Indonesia, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) no 2 tahun 2004 dalam penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal menggunakan kedua metode tersebut yakni hisab dan rukyatul hilal. Hasil perhitungan hisab digunakan sebagai informasi awal, dan selanjutnya dikonfirmasi melalui mekanisme rukyat. Hasil hisab dan rukyat selanjutnya dibahas bersama dengan ormas Islam, duta besar negara sahabat, serta para pakar dalam Sidang Isbat.
Namun, kembali lagi bahwa perbedaan haruslah disikapi dengan bijak. Hal ini mesti dipandang sebagai khazanah keilmuan. Karena, dalam fikih sendiri, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah. Perbedaan biarlah menjadi perbedaan, namun satu hal yang perlu ditelisik dan menjadi perhatian bersama bahwa sidang isbat yang menjadi forum penentuan awal Ramadhan secara tak langsung mengikis tradisi masyarakat lokal di Halmahera dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Fa Tabuhan adalah tradisi menyambut Ramadhan di tiap-tiap masjid di Halmahera. Fa Tabuhan memiliki kemiripan dengan tradisi Tabuh Bedug di Kudus, Jawa Tengah. Akan tetapi tradisi Tabuh Bedug juga diiringi dengan lantunan sholawat. Fa Tabuhan menjadi momen paling di tunggu-tunggu oleh masyarakat muslim di Halmahera. Menjelang magrib di hari terakhir bulan Sya’ban akan dihiasi dengan tabuhan tifa dan sorak gembira anak-anak di halaman masjid tiap-tiap desa. Tifa menjadi salah satu alat musik tradisional yang menjadi identitas daerah Papua dan Maluku. Alat musik ini kerap digunakan dalam mengiringi tarian adat, penyambutan tamu hingga tarian perang. (Antaranews.com). Tifa menjadi sangat sakral, bahkan sebelum Islam datang ke Halmahera. Hingga agama Islam hadir dengan proses akulturasinya membuat tifa digunakan sebagai penanda waktu shalat dan tradisi keagamaan semacam Fa Tabuhan.
Fa Tabuhan dalam dekade belakangan berangsur-angsur hilang. Tabuhan tifa menjemput malam 1 Ramadhan tidak lagi terdengar. Hal ini karena masyarakat sibuk memantau televisi dan gawainya guna memastikan hasil sidang Isbat.
Tradisi ini mulai terkikis karena waktu pelaksanaannya harus pada saat menjelang azan magrib. Sedangkan di Indonesia terbagi menjadi tiga zona waktu yang mana di Indonesia bagian timur lebih dahulu terbenam matahari. Sidang isbat sendiri harus menampung hasil rukyatul hilal dari berbagai daerah di Indonesia dan hasil keputusannya baru diumumkan ketika di Indonesia bagian timur telah masuk waktu shalat isya. Pada akhirnya, Fa Tabuhan telah hilang dari generasi muslim di Halmahera.
Tulisan ini adalah bentuk penghayatan untuk mencari solusi akan perdebatan penetapan 1 Ramadhan. Perbedaan pendapat dalam hal penentuan awal Ramadhan memang tidak dilarang, dan juga tidak mutlak harus taat kepada keputusan pemerintah. Namun untuk prinsip “kemaslahatan publik ”(al–maslahah al-‘âmmah), pemerintah menjadi jembatan untuk tiap-tiap perbedaan berbagai kelompok di Indonesia. (M. Nasril, 2022). Masyarakat muslim Halmahera punya opsi untuk menetapkan 1 Ramadhan berdasarkan keputusan pemuka agama setempat. Maka, penetapan 1 Ramadhan bisa lebih awal sehingga tradisi Fa Tabuhan tetap terjaga. Selain itu, pemerintah juga punya opsi untuk menggunakan metode hisab yang dikenal lebih awal dalam hal penentuan 1 Ramadhan. Hal ini karena, memakai metode hisab ataupun metode rukyatul hilal sama-sama dibolehkan dan sah dalam agama Islam.
Keputusan pemerintah menjadi solusi untuk menghilangkan kebingungan masyarakat muslim di Indonesia. Olehnya itu, pemerintah haruslah lebih awal dalam penetapan 1 Ramadhan, mengingat antusiasme masyarakat beragama begitu tinggi. Kegembiraan yang menyeruak dalam menyambut Ramadhan telah mengakar di nusantara dengan hadirnya berbagai tradisi menyambut Ramadhan seperti Fa Tabuhan. Semoga Sidang Isbat adalah solusi untuk tiap-tiap yang berdebat begitupula tradisi-tradisi yang telah lama melekat di masyarakat setempat. (*)