(Refleksi International Women’s Day)
Oleh: Ekklesia Hulahi
_____________________________
KETERLIBATAN perempuan dalam proses politik telah mengalami perjalanan panjang yang penuh tantangan dalam sejarah politik dunia. Namun, peran perempuan dalam politik semakin penting di era modern. Partisipasi perempuan bukan hanya tentang mencapai kesetaraan gender; itu adalah langkah besar menuju demokrasi yang lebih adil, seimbang, dan inklusif. Selain memberikan suara yang lebih bervariasi, partisipasi perempuan dalam politik juga dapat memperkuat undang-undang yang mengutamakan kepentingan masyarakat. Di Indonesia, sangat sedikit perempuan yang berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik. Mengingat hambatan sosial, budaya, ekonomi, dan hukum terus menghalangi perempuan untuk berpartisipasi, kita harus memahami kesadaran gender dan kepemimpinan transformatif.
Kepemimpinan Transformatif & Kesadaran Gender
Mengenai hambatan kepemimpinan perempuan di bagian sebelumnya, terlihat jelas bahwa perempuan adalah korban ketimpangan gender dalam politik. Ketimpangan tersebut menjadi faktor penghambat perempuan dalam menduduki posisi kepemimpinan di pemerintahan. Tetapi banyak juga cerita-cerita inspiratif yang dilakukan pemimpin para perempuan dalam memperjuangkan keadilan gender. Dari kisah para tokoh perempuan di bangsa ini, setidaknya terdapat dua gaya kepemimpinan perempuan yang mendominasi, yakni gaya kepemimpinan berkesadaran gender (gender consciousness) dan transformatif. Kedua gaya kepemimpinan tersebut saling berhubungan karena keduanya bertujuan untuk mencari keadilan, terutama bagi perempuan. Kedua gaya kepemimpinan perempuan tersebut menekankan bahwa dalam partisipasi politik harus inklusif dan harus memperjuangkan keadilan.
Kepemimpinan Transformatif
Sebagai pemimpin yang transformatif, individu akan mendambakan sebuah keadilan yang merata. Menurut Shield (2010), pelopor teori kepemimpinan transformatif, seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan transformatif menekankan kepemimpinannya pada isu-isu keadilan sosial dan demokrasi. Teori kepemimpinan ini muncul sebagai cara untuk melengkapi teori kepemimpinan sebelumnya seperti transformasional dan transaksional (Burn, 1978). Kepemimpinan transformatif ini bertujuan tidak hanya untuk melakukan perubahan pada individu dan organisasi, tetapi perubahan itu juga harus dirasakan oleh masyarakat secara luas. Pemimpin yang memiliki sifat kepemimpinan transformatif ini berusaha menghadirkan nilai-nilai kesetaraan bagi setiap individu agar memiliki otoritas yang sama.
Memberi kesempatan kepada perempuan
Kepemimpinan perempuan bertujuan untuk meningkatkan proporsi perempuan dalam peran kepemimpinan karir selain memberlakukan undang-undang yang netral gender. Karena kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, para pemimpin perempuan termotivasi untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan.
Kepemimpinan perempuan berusaha memberikan komposisi yang merata terhadap perempuan untuk duduk di level kepemimpinan. Mereka memberlakukan sistem kuota ketika dalam penempatan anggota dalam struktur organisasi. Kemampuan melobi dan luwes yang dimiliki perempuan adalah sebuah kekuatan bagi kepemimpinan perempuan. Tidak seperti organisasi yang dijalankan secara maskulin yang hanya melihat keluwesan perempuan sebagai token, pemimpin perempuan menganggap skill perempuan dalam bernegosiasi adalah sebuah kelebihan yang harus diapresiasi. Sehingga mereka juga mempertimbangkan kelebihan perempuan tersebut. Mereka menepis praktik-praktik manajemen organisasi yang menempatkan perempuan di desk-desk yang dianggap lemah. Pemimpin perempuan mengakui bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosi yang lebih baik dari laki-laki, sehingga mereka tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam urusan pengambilan keputusan.
Sejarah mencatat bahwa Selandia Baru sebagai negara pertama memberikan hak suara kepada perempuan pada 1893, diikuti Amerika Serikat (1920), Prancis (1944), Argentina (1947), dan Swiss (1971). Saudi Arabia memberikan hak suara kepada perempuan pada 2015, dan sekarang di Indonesia khususnya Maluku Utara pertama kalinya memberikan hak suara yang lebih kepada perempuan pada pemilihan gubernur 2024. Masyarakat mulai menyadari bahwa penting adanya peningkatan partisipasi perempuan supaya pengambilan keputusan politik yang lebih akomodatif dan substansial. Partisipasi politik perempuan sangat penting dalam membangun sistem politik yang inklusif dan representatif.
Walaupun dalam kontestasi politik Maluku Utara, dari empat kandidat ada salah satu kandidat perempuan dengan dijuluki triple minority memenangkan suara terbanyak. Ini membuktikan juga bahwa peningkatan dan didorong oleh kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender. Perempuan telah membuka pintu kesetaraan dan perwakilan dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan membawa perspektif unik memperkaya debat, menghasilkan kebijakan seimbang, dan menciptakan representasi baik bagi masyarakat. Peran perempuan dalam politik tidak hanya sebagai isu hak asasi manusia, tapi juga sebagai kunci memperkuat demokrasi. Dengan adanya kepemimpinan perempuan menjadi langka awal menuju demokrasi yang lebih seimbang di Maluku Utara. (*)