Oleh: Dr Muammil Sun’an
Akademisi Universitas Khairun
__________________________________
JALANNYA sebuah pemerintahan, tentunya sangat bergantung pada sistem birokrasi yang dijalankan oleh SDM aparatur yang memiliki kompetensi dan berintegritas sehingga pelayanan publik berjalan efektif dan efisien. Kebijakan meritokrasi merupakan langkah strategis yang ditempuh untuk menunjang sistem birokrasi pemerintah agar bisa berjalan secara optimal. Meritokrasi dapat diterapkan yakni dengan pengangkatan dan penempatan jabatan-jabatan strategis yang tentunya berdasarkan kompetensi atau kemampuan. Hal tersebut menghendaki komitmen dari pemimpin atau kepala daerah sebagai penguasa politik untuk melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh dengan menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam penempatan jabatan ASN sehingga bisa terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (good and clean governance).
Pemerintahan yang dijalankan harusnya bisa terhindar dan terbebas dari adanya konflik kepentingan (conflict interest), sehingga terciptanya budaya organisasi yang sehat. Realitas yang terjadi seringkali membuktikan bahwa kepentingan politik masih mendominasi, bahkan dapat merusak sistem birokrasi pemerintah sehingga pengangkatan dan penempatan jabatan-jabatan ASN tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, bahkan lebih pada adanya hubungan kekerabatan atau koncoisme.
Koncoisme menjadi dasar yang kokoh dalam penempatan jabatan-jabatan strategis di lingkup pemerintahan, sehingga uji kompetensi yang sering dilakukan hanya sekadar memenuhi persyaratan administrasi negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi koncoisme adalah paham yang mengutamakan kawan sebagai mitra kerja. Dalam perspektif ilmu politik ekonomi, lingkup definisinya dapat pula diartikan hubungan informal antara mitra kerja baik kawan maupun kerabat yang mengalami ketergantungan pada pemegang kekuasaan.
Fenomena koncoisme semakin nyata dan meresahkan dalam sistem pemerintahan, di mana hanya segelintir orang atau elite yang memiliki koneksi dengan penguasa pastinya mendapatkan kewenangan yang besar untuk mengatur jalannya roda pemerintahan. Ketika posisi kepala daerah hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki koneksi atau kedekatan dengan petinggi politik, maka demokrasi yang sejati tidak tercapai, bahkan meritokrasi tak dikenal lagi dalam sistem yang model ini. Situasi ini menciptakan eksklusivitas dalam pengisian jabatan publik, di mana terdapat orang-orang atau para ASN yang mungkin memiliki kapabilitas dan integritas justru tersingkirkan karena tidak memiliki koneksi yang memadai. Koncoisme hanya akan merusak sistem pemerintahan dan bahkan melahirkan masyarakat nekrofilia sebagai pengambil kebijakan publik.
Masyarakat nekrofilia yang lahir dari adanya koncoisme hanya akan menjadi penyakit birokrasi yang sulit disembuhkan, sehingga good governance hanya menjadi sebuah impian dan ilusi belaka. Meritokrasi pada akhirnya tersingkir oleh kuatnya sistem koncoisme dalam pemerintahan yang katanya demokratis dan terbuka. Harapan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan pemerintahan yang bebas dari KKN tentunya masih menunggu antre yang berkepanjangan disebabkan pemerintahan koncoisme sudah mengambil jatah sumberdaya. (*)