Oleh: Muhammad Taufan Baba
Ketua Umum DPD IMM Malut
_______________________________
“Jika hari Ini lebih baik dari hari kemarin maka tergolong orang-orang yang beruntung, jika hari ini sama dengan hari kemarin maka tergolong orang-orang yang merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari kemarin maka tergolong orang-orang yang celaka”. Pesan dari Baginda Rasulullah SAW ini merupakan pesan reflektif yang sangat mendalam untuk pribadi maupun organisasi. Manusia dengan keistimewaan akalnya dituntut untuk menuju ke arah yang lebih baik. Konsep manusia dalam pemikiran Ali Syari’ati adalah makhluk dengan dua dimensi, dimensi kesesatan yang kemudian digambarkan dengan tanah, dan dimensi lainnya yang dicerminkan dengan roh Allah. Syari’ati juga memberikan gambaran manusia sebagai makhluk yang menjadi, atau yang bergerak menuju kesempurnaan Ilahiah. Dengan adanya akal budi, manusia akan terus merefleksikan proses perjalanannya di dunia menuju paripurna. Jika tidak maka seperti yang Rasulullah sampaikan, yaitu merugi bahkan celaka. Begitu pula dengan IMM, sebelum bergerak lebih maju, pada momentum tertentu ikatan perlu melakukan refleksi tentang perjalanan organisasi untuk menuju pada cita-cita ikatan, dan pada Milad IMM-lah momentumnya.
61 tahun telah berlalu setelah deklarasi berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada 14 Maret 1964, renungan perjalanan panjang dengan penuh lika-liku itu seharusnya mampu membawa kita pada semangat ikatan yang lebih substansi. IMM lahir merupakan sebuah keharusan sejarah dan juga bagian daripada tanggung jawab dakwah Muhammadiyah di kalangan akademisi atau mahasiswa. Embrio Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah ada saat keinginan Muhammadiyah mendirikan perguruan tinggi pada Muktamar 1936 di bawah kepemimpinan K.H Hisyam, dan pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah tahun 1956, (Farid fathoni, 1990). Setelah IMM lahir, ada opini yang sangat kuat di kalangan masyarakat dan aktivis pada saat itu, bahwa kelahiran IMM adalah sebagai organisasi yang nantinya menampung kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang waktu itu hendak dibubarkan oleh pemerintah karena menolak asas tunggal. Tentunya ini bertolak belakang dengan sejarah, bahwa IMM jelas lahir sebagai sebuah keharusan, cepat atau lambat IMM akan lahir tanpa memandang organisasi apa yang mau dibubarkan.
Suatu organisasi memiliki cita-cita ideal, yaitu sebuah tujuan akhir dari perjuangan yang dilakukan oleh organisasi. Tujuan organisasi merupakan gambaran reflektif dari aktornya dalam menyikapi sebuah realitas pada saat itu dan mimpi terhadap realitas ideal di masa depan. Realitas ideal bersifat abstrak dikarenakan manusia yang berfikir ke depan hanya bisa melihat kondisi ideal dengan ciri-cirinya. Hal ini dapat dilihat dari semua tujuan baik Muhammadiyah atau pergerakan yang lain. Pengembaraan realitas ideal ini menjadi tujuan dalam melakukan segala perjuangan baik yang dilakukan secara kolektif dalam organisasi atau secara personal kader Ikatan. Pengungkapan realitas yang ideal misalnya dalam Gerakan Marxian mengidealkan masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas yang diinginkan adalah kesetaraan dan tidak adanya penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuis kepada kelas proletar.
Menurut Abdul Halim Sani dalam buku manifesto Gerakan Intelektual Profetik, bahwa IMM merupakan ortom dari Muhammadiyah, maka yang dilakukan oleh IMM adalah mencerminkan diri Muhammadiyah itu sendiri. Muhammadiyah dalam gerakan menuju masyarakat yang ideal digambarkan dalam Ideologi Muhammadiyah pada Muqadimah AD dan ART, yaitu “Baldatun Tayyibatun Warabbun Ghafur”.
Pengungkapan tujuan Muhammadiyah terlihat dalam tujuan IMM yaitu “mengusahakan terbentuknya akademisi Islam berakhlak mulia demi tercapainya tujuan Muhammadiyah”. IMM sebagai pionir Muhammadiyah berbasis keilmuan, hal ini dikarenakan tujuan serta basis massa dalam ikatan merupakan masyarakat akademis yang berfikir rasional dan ilmiah. Mencermati dari tujuan serta harapan Muhammadiyah terhadap ikatan bahwa yang dilakukan oleh ikatan adalah gerakan ilmu amaliah dan amal ilmiah. IMM memiliki tugas yang berat, sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo, dikarenakan IMM sebagai representasi dari masyarakat ilmu, kalau istilahnya Ali Syari’ati adalah Rausyanfkr. IMM bergelut dengan hal-hal yang bersifat Ilmiah secara teoritis dan juga melakukan praksis kemanusiaan. Gerakan ilmu dalam IMM berbasis disiplin ilmu pengetahuan kader, bukan dalam tataran ideologis maupun politis. Gerakan IMM dalam bidang ilmu ini yang membedakan dengan gerakan yang lain juga ortom yang berada di lingkup Muhammadiyah. Latar belakang gerakan keilmuan menjadikan pilihan yang sadar dengan basis akademis. Gerakan ilmu yang dimiliki menjadikan tradisi dan etos dari satu komunitas yang membedakan dengan komunitas yang lain. Gerakan ilmu yang tertanam dalam diri merupakan tindakan praksis kemanusiaan dalam upaya beribadah kepada Allah. Abdul Halim Sani kemudian memilah pengejawantahan diksi berakhlak mulia dipahami menjadi dua macam, yang pertama sebagai tindakan praksis, yang berikut sebagai tindakan transendental. Tindakan akhlak menjadikan kader sebagai icon manusia ideal, kemudian tindakan transendental yang memposisikan manusia sebagai hamba.
Dari sini kita mulai merenungkan kembali bagaimana konsep ideal masyarakat ilmu jika dibenturkan dengan realitas saat ini. Tentunya kita semua akan berkesimpulan bahwa masih jauh dari cita-cita luhur itu, belum lagi ke tujuan Muhammadiyah, ke akademisi Islam saja kita hampir belum sampai. Kita mungkin tidak mundur, tetapi juga belum maju, artinya kita adalah orang-orang yang merugi menurut Rasulullah. Lalu apakah kita harus terus berdiam diri dengan situasi semacam ini? Tentu tidak, semangat substansi harus bangkit, semangat substansi yang dimaksud adalah semangat intelektual, literasi dan gerakan sosial. Kader IMM jangan terjebak dengan semangat seremoni sehingga spirit substansinya terabaikan.
Milad IMM ke-61 ini harus menjadi titik balik pergerakan IMM menuju idealnya gerakan. Selamat Milad Ikatan Tercinta, tumbuh subur bersama gerakan intelektual, dan jangan mati karena kejumudan sosial. Tampil gemilang sebagai kaum tercerahkan. (*)