Opini  

Polemik Revisi UU TNI: Ancaman terhadap Demokrasi dan Supremasi Sipil

Oleh: Muhamad Rifai Karim
Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair

_______________________________

REVISI Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa perubahan regulasi ini berpotensi mengancam nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan sejak era reformasi. Kekhawatiran ini muncul karena revisi tersebut mengingatkan pada praktik Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, yang memberikan peran ganda bagi militer dalam bidang pertahanan serta politik dan pemerintahan sipil.

Dalam sistem demokrasi, supremasi sipil adalah prinsip fundamental yang menegaskan bahwa militer harus berada di bawah kendali pemerintahan sipil. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 UUD 1945, yang menyatakan bahwa sistem pertahanan negara harus tunduk pada otoritas sipil. Namun, revisi UU TNI justru memperluas kewenangan militer di luar tugas pertahanan, sehingga melemahkan prinsip supremasi sipil yang menjadi dasar sistem politik demokratis di Indonesia.

Selain itu, perubahan ini bertentangan dengan semangat reformasi yang bertujuan memisahkan peran militer dari urusan politik dan pemerintahan sipil. Reformasi dilakukan untuk menghapus praktik Dwifungsi ABRI yang selama Orde Baru bertentangan dengan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian, perluasan kewenangan militer dalam ranah sipil yang dimuat dalam revisi UU TNI dapat dianggap sebagai kemunduran demokrasi.

Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah berkurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan institusi negara, termasuk militer. Dalam sistem demokrasi, militer seharusnya tunduk pada keputusan politik yang dibuat oleh pemerintah sipil. Namun, jika militer memiliki peran dalam lembaga sipil, maka terdapat risiko tumpang tindih kewenangan yang dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban. Akibatnya, transparansi pengelolaan sektor pertahanan menjadi semakin sulit diawasi oleh publik dan lembaga demokrasi.

Dari perspektif hukum tata negara, Jimly Asshidiqie dalam bukunya ‘Pokok-Pokok Hukum Tata Negara’ menegaskan bahwa sistem politik Indonesia didasarkan pada prinsip negara hukum, prinsip konstitusionalisme, dan prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling berkaitan dan mendukung satu sama lain. Jika salah satu prinsip diabaikan, maka sistem politik akan menjadi pincang. Dalam konteks ini, revisi UU TNI dapat dikatakan bertentangan dengan ketiga prinsip tersebut karena memperluas peran militer di luar tugas pertahanan yang telah diatur dalam konstitusi.

Dari perspektif sosiologis dan psikologis, Erich Fromm dalam analisisnya mengenai otoritarianisme menyatakan bahwa individu dengan kecenderungan otoriter cenderung mencari perlindungan pada otoritas yang kuat untuk menghindari ketidakpastian yang datang dengan kebebasan. Dalam konteks revisi UU TNI, perluasan kewenangan militer dapat dianggap sebagai langkah menuju stabilitas melalui penguatan otoritas negara, meskipun hal ini dapat mengorbankan kebebasan sipil.

Jika revisi ini diterapkan tanpa kontrol yang ketat dari masyarakat dan lembaga demokrasi, maka terdapat kemungkinan bahwa sistem politik Indonesia akan bergeser menuju bentuk pemerintahan yang lebih otoriter. Hal ini bertentangan dengan cita-cita reformasi yang menempatkan demokrasi dan supremasi sipil sebagai pilar utama tata kelola negara.

Penting bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mendengarkan kritik publik serta mempertimbangkan kembali implikasi dari revisi ini. Upaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertahanan dan prinsip demokrasi harus menjadi prioritas utama dalam proses legislasi yang menyangkut peran TNI dalam kehidupan bernegara. Tanpa pengawasan dan diskusi yang matang, perubahan ini dapat menjadi ancaman serius terhadap demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. (*)