Opini  

Sosiologi Halmahera Utara

Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

_____________________________

_“…Halmahera Utara merupakan contoh nyata dari bagaimana ruang-ruang pinggiran di Indonesia kini menjadi arena pertarungan antara kepentingan global, nasional, dan lokal. Antara janji pembangunan dan krisis ekologis…”_

Sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan keberagaman sosial budaya demikian berlimpah, tidak berarti Halmahera Utara sepi dari tantangan. Sebaliknya, pembangunan daerah ini justru tengah berhadapan dengan sejumlah persoalan, seperti : ketimpangan ekonomi, keterbatasan akses layanan dasar, serta kerentanan ekologis akibat ekspansi industri ekstraktif.

Dalam konteks ini, Kepemimpinan Bupati/Wakil Bupati terpilih Dr. Piet Hein Babua dan Dr. Kasman Hi. Ahmad, ditantang untuk dapat mewujudkan pendekatan pembangunan Halmahera Utara dengan mengedepankan prinsip SETARA (dari akronim Sehat, Terdidik, Berbudaya, Aman, dan Sejahtera).

Halmahera Utara ke depan, juga memerlukan narasi dan energi penguatan Sosial, Ekonomi, Tata Kelola, Alam, Religius, dan Adil (SETARA) untuk menjadi kerangka strategis dalam membaca dan merumuskan arah pembangunan berkelanjutan di Halmahera Utara.

Pada kerangka sosial, Halmahera Utara masih menghadapi tantangan pembangunan yang tidak partisipatif serta masih lemahnya pengawasan yang menjadi hambatan serius bagi penguatan pembangunan Halmahera Utara. Dalam laporan KPK (2021), disebutkan bahwa tata kelola pertambangan di Halmahera Utara menghadapi persoalan perizinan, konflik lahan, dan minimnya transparansi (KPK, 2021: 72). Ini mengisyaratkan, prinsip good governance dalam pembangunan Halmahera Utara perlu diperkuat melalui reformasi birokrasi dan pelibatan aktif masyarakat.

Sementara pada aspek ekonomi, Halmahera Utara yang kaya akan nikel dan hasil laut, namun, struktur ekonominya masih eksploitatif dan minim nilai tambah lokal. Menurut data BPS (2023), kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB mencapai 35%, namun hanya sedikit menciptakan lapangan kerja lokal (lihat, BPS Halmahera Utara, 2023: 45). Hal ini menunjukkan apa yang disebut sosiolog David Harvey sebagai accumulation by dispossession—akumulasi kapital melalui pemiskinan struktural (Harvey, 2005: 145).

Hal lain yang dihadapi Halmahera Utara adalah degradasi lingkungan yang menjadi konsekuensi logis dari ekspansi industri tambang yang masif. Hutan lindung dan daerah tangkapan air di wilayah Kao dan Malifut yang kian terancam. Menurut catatan WALHI Maluku Utara, terdapat lebih dari 20 izin tambang aktif yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi (WALHI, 2022: 18). Demikian juga perubahan iklim telah menjadi faktor tambahan yang memperburuk kerentanan ekologis wilayah ini justru berakar dari deforestasi massif yang berkaitan langsung dengan ekspansi pertambangan. Krisis ini mendesak perlunya transisi ekologis menuju pembangunan berbasis daya dukung lingkungan bagi kemajuan Halmahera Utara.

Diakui, dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami gelombang investasi besar-besaran di sektor pertambangan, didorong oleh permintaan global atas bahan tambang untuk industri teknologi dan transisi energi. Halmahera Utara menjadi bagian dari peta kepentingan ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Tania Murray Li, ekspansi kapitalisme ekstraktif acap kali berlangsung melalui “siasat penguasaan ruang dan sumber daya,” di mana negara dan korporasi bersekutu untuk mengakses tanah-tanah kaya sumber daya (Li, 2014: 591). Halmahera Utara adalah salah satu lokasi yang mengalami bentuk “enclosure” semacam ini.

Sebagai wilayah yang dihuni oleh komunitas Muslim, Kristen, dan lokalitas kepercayaan adat, Halmahera Utara menyimpan potensi etika spiritual yang dapat mendorong pembangunan yang lebih manusiawi. Menurut Amartya Sen dalam karyanya Development as Freedom, nilai dan norma lokal merupakan fondasi penting dalam mengembangkan capability approach terhadap kesejahteraan (Sen, 1999: 87).

Sementara itu, keadilan diukur dari sejauh mana kelompok rentan, kaum disabilitas, perempuan, masyarakat adat, dan nelayan kecil dapat dilibatkan dalam proses pembangunan. Studi oleh Komnas Perempuan memperlihatkan, bahwa perempuan di kawasan tambang kerap mengalami marginalisasi dalam pengambilan keputusan dan kehilangan sumber penghidupan (Komnas Perempuan, 2020: 33).

Halmahera Utara merupakan contoh nyata dari bagaimana ruang-ruang pinggiran di Indonesia kini menjadi arena pertarungan antara kepentingan global, nasional, dan lokal, antara janji pembangunan dan krisis ekologis. Karenanya, sangat diperlukan paradigma pembangunan yang adil ekologis (ecologically just development) yang menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek, bukan korban, dari transformasi global.

Membaca Halmahera Utara dalam bingkai sosial, ekonomi, tata kelola, alam, religius, dan adil memberi arah baru dalam merancang pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga bertumpu pada keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan spiritualitas lokal. Kerangka SETARA bisa menjadi panduan etis sekaligus teknokratik untuk merumuskan RPJMD dan kebijakan sektoral di tingkat kabupaten. Perubahan yang transformatif hanya dapat tercapai jika semua elemen—negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta—bergerak secara kolaboratif dalam visi pembangunan yang manusiawi dan berkeadilan. (*)