Oleh: Sriyanti Nihi
________________________
TANGGAL 21 April selalu dikenang sebagai hari bersejarah oleh bangsa Indonesia, yakni Hari Kartini. Hari Kartini tidak sekadar menjadi ajang mengenang sosok R.A. Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga menjadi momen reflektif untuk kembali menghayati pemikiran dan semangat perjuangannya, terutama dalam konteks yang terus berubah. Salah satu bidang yang sangat terinspirasi oleh gagasannya adalah dunia pendidikan termasuk pendidikan anak usia dini, yang menjadi landasan penting bagi kemajuan bangsa.
Kartini sangat menyadari bahwa pendidikan merupakan gerbang menuju kemajuan peradaban. Dalam surat-suratnya, ia berkali-kali menekankan pentingnya perempuan memperoleh pendidikan yang layak, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, namun demi mencetak generasi penerus yang lebih baik. Dalam hal ini, pesan Kartini tetap relevan, bahkan semakin penting saat membahas kualitas pendidikan anak di Indonesia saat ini.
Pendidikan Anak Dimulai dari Ibu yang Terdidik
Salah satu warisan pemikiran Kartini yang terus hidup hingga kini adalah keyakinannya bahwa perempuan, sebagai ibu, memegang peran sentral dalam membentuk karakter anak. Dalam konteks pendidikan anak usia dini, peran ibu dan keluarga sangat penting. Meskipun Kartini belum mengenal istilah modern seperti “parenting” atau “stimulasi dini”, gagasan dasarnya tentang pentingnya memberdayakan perempuan untuk menjadi pendidik utama anak-anaknya menunjukkan pandangan yang sangat visioner.
Seorang ibu yang berpendidikan tidak hanya mampu mengajarkan aspek kognitif seperti membaca dan berhitung, tetapi juga dapat menanamkan nilai-nilai moral, membentuk karakter kuat, dan menumbuhkan rasa ingin tahu pada anak. Pendidikan yang dimulai sejak usia dini akan membentuk fondasi kehidupan anak yang akan memengaruhi masa depannya. Dengan demikian, pendidikan anak mencerminkan arah masa depan bangsa sebuah prinsip yang telah disadari Kartini jauh sebelumnya.
Menghadapi Tantangan Pendidikan di Era Modern
Di zaman yang serba digital dan penuh arus informasi seperti sekarang, pendidikan anak menghadapi tantangan baru yang kompleks. Teknologi berkembang pesat, dan anak-anak mudah terdistraksi oleh berbagai hal. Dalam situasi ini, pemikiran Kartini menjadi pengingat penting bahwa pendidikan bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tapi juga membangun manusia seutuhnya yang memiliki potensi tanpa batas.
Pendidikan yang membebaskan, seperti yang diimpikan Kartini, bukanlah pendidikan yang kaku dan terbatas pada kurikulum, tetapi yang mendorong anak berpikir mandiri, kreatif, dan peduli terhadap sesama. Dalam praktiknya di PAUD, hal ini dapat diterapkan melalui pendekatan pembelajaran yang menyenangkan, berbasis permainan bermakna, dan menghargai keunikan tiap anak.
Menghidupkan Semangat Kartini di Dunia Pendidikan
Gagasan-gagasan Kartini tidak seharusnya berhenti menjadi bagian dari sejarah atau dirayakan hanya sekali dalam setahun. Gagasan tersebut perlu dihidupkan dalam cara guru mengajar, dalam kebijakan pendidikan yang ramah anak dan inklusif, serta dalam keterlibatan aktif para orang tua. Guru PAUD dan para orang tua adalah penerus semangat Kartini masa kini, yang memiliki tanggung jawab besar menciptakan ruang belajar yang aman, menyenangkan, dan menghargai setiap anak sebagai manusia seutuhnya.
Mewujudkan nilai-nilai Kartini berarti juga bersuara untuk memperbaiki sistem pendidikan anak, mulai dari menolak segala bentuk kekerasan dalam proses pembelajaran, memperjuangkan akses pendidikan yang merata bagi semua anak, hingga menuntut peningkatan kesejahteraan para pendidik PAUD. Inilah wujud nyata dari perjuangan yang selaras dengan semangat Kartini.
Mewarisi Kartini, Mendidik dengan Kasih
Suara Kartini dalam pendidikan anak adalah seruan tentang cinta, kesetaraan, dan harapan. Ia bukan hanya lambang perjuangan kaum perempuan, tetapi juga simbol masa depan cerah yang dimulai dari pendidikan yang adil dan manusiawi. Sebab anak-anak hari ini adalah cerminan kualitas bangsa di masa depan.
Mendidik anak bukan pekerjaan biasa dalam rumah tangga, melainkan pekerjaan yang mulia dan profesional, yakni membangun sebuah peradaban. Tugas ini tidak cukup dijalankan dengan otoritas saja, melainkan dengan kasih sayang dan ketulusan. Dalam perjuangan besar ini, semangat Kartini akan terus hadir menginspirasi, membimbing, dan memberi harapan. (*)