Daerah  

Hippmamoro Sebut DPRD Morotai tak Becus Kawal Aspirasi Warga

Faturrahman Djaguna. (Istimewa)

DARUBA, NUANSA – Ketua Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Morotai (Hippmamoro) Yogyakarta, Faturrahman Djaguna, menyebut DPRD Morotai tidak becus mengawal aspirasi masyarakat. Pasalnya, sejumlah masalah yang paling kompleks di Morotai seperti keluhan nelayan lokal, yakni sulitnya mendapatkan BBM subsidi, turunnya harga jual ikan tuna, dan masuknya kapal pencuri ikan di wilayah tangkap nelayan setempat, seringkali dipandang sebelah mata. Namun, masalah receh seperti pergantian sekretaris dewan (sekwan), DPRD-lah yang paling ngotot di hadapan publik menentang kebijakan itu.

“Kami menilai DPRD Morotai tidak becus dalam menyerap dan mengawal aspirasi masyarakat Morotai,” tegas Faturrahman kepada Nuansa Media Grup (NMG), Sabtu (26/4).

Padahal, pihaknya telah melayangkan surat audiensi bersama DPRD dengan Pemkab Morotai sejak Senin, 14 April lalu untuk membahas ihwal keluhan rakyat, terutama masalah nelayan Morotai. Meski telah berkoordinasi berulangkali dengan unsur pimpinan DPRD, namun pihak DPRD selalu berkilah tanpa alasan yang pasti.

“Bahkan ketua DPRD ketika dihubungi sampai saat ini belum ada respons terkait surat audensi dari Hippmamoro Jogja. Kami merasa bahwa ketua DPRD tidak memiliki hati nurani dan ini bentuk pengkhianatan sebagai pimpinan DPRD terhadap para nelayan tuna Morotai,” ujarnya.

“Tetapi ketika sekwan diganti oleh bupati, DPRD bersuara paling cepat yang katanya tidak ada konfirmasi, menyalahi aturan dan tidak dihargai. Akan tetapi ketika surat audensi Hippmamoro DIY untuk nelayan tuna sudah dimasukkan ke DPRD, tapi DPRD tidak menghargai surat itu dengan tidak merespons baik secara kelembagaan. Artinya DPRD tidak perduli hajat hidup orang banyak,” sambungnya.

Menurut Faturrahman, terdapat masalah nelayan yang merupakan salah satu sumber pendapatan daerah paling besar ini mestinya diperhatikan secara serius. BBM subsidi untuk nelayan tidak lagi didistribusikan menyebabkan nelayan membeli BBM eceran dengan harga tinggi.

“Ini mencerminkan pelanggaran atas asas kepastian hukum (lex certa) serta hak konstitusional atas pekerjaan dan penghidupan layak sebagaimana dijamin pasal 27 ayat (2) UUD 1945,” terangnya.

Lebih lanjut, saat harga BBM yang tinggi, harga ikan tuna di tingkat nelayan pun anjlok. Tidak adanya perlindungan harga dasar membuat nelayan terjebak dalam permainan korporasi nelayan. Kata dia, hal ini melanggar semangat Pasal 33 UUD 1945 dan asas keadilan sosial (ius est ars boni et aequi).

Selain itu, masalah nelayan lainnya yang terus berulang seperti maraknya kapal pencuri ikan dari luar daerah yang memasuki zona tangkap nelayan kecil tanpa pengawasan efektif dari Pemda dan aparat kepolisian setempat.

“Situasi ini jelas menciptakan konflik wilayah, menurunkan hasil tangkap nelayan lokal, dan mengancam kenyamanan nelayan Morotai. Pemerintah gagal menjalankan prinsip pro poor dan social justice dalam pengelolaan wilayah laut,” pungkasnya. (ula/tan)