Opini  

Boomerang di Negeri Seribu Pulau

Oleh: Fani Ajid

_____________________

POTRET alam bangsa ini telah redup bahkan sampai ke titik jenuh, hilang tak terkendali. Ratapan rakyat kini dianggap tindak kriminal, pelanggaran bahkan ancaman bagi penguasa. Keadilan tak lagi merata. Yang berhak memutuskan, menghakimi dan mengambil kendali adalah mereka yang berseragam. Sementara mereka yang tak berseragam selalu saja dikambinghitamkan, sebab segala tindakan rakyat akan mengundang kehancuran bagi pihak-pihak yang berkepentingan khusus.

Warna kebebasan hidup telah hitam pekat, investasi penguasa begitu diutamakan demi mendapatkan untung, sementara investasi rakyat hanya menjadi boomerang yang menipu. Di negeri ini, kehidupan sebagai rakyat dan pemimpin memiliki proporsi yang jauh berbeda. Ya, tentu saja rakyat sudah sangat terbiasa merespons segala andil penguasa. Sampai tak ada lagi ruang bagi rakyat untuk memprotes, mengkritik, membela dan menyuarakan haknya.

Kasus kerugian yang pantas dinobatkan sebagai tragedi luar biasa bangsa ini adalah penggusuran ruang hidup seluruh makhluk. Jaminan kesejahteraan ternyata hanyalah angin lalu. Bagaimana mungkin rakyat mampu bertahan hidup di atas tangan-tangan penguasa yang merampas hak kesejahteraan yang sering dijanjikan. Wajar saja rakyat tak lagi betah dan mulai melawan kebijakan yang sifatnya hanyalah seremonial.

Fenomena yang tengah disorot saat ini adalah perampasan hak hidup. Bisa kita lihat perlawanan rakyat mengisyaratkan ketidaknyamanan atas kebijakan penguasa. Yang berkuasa bersikap seolah memiliki hak dominan yang tak bisa dirasionalisasi oleh rakyat. Contoh kasusnya adalah hutan Halmahera Timur, khususnya desa adat Sangaji Maba yang telah diklaim oleh ketua Lembaga Pengawasan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LPP-Tipikor) Maluku Utara nyatanya telah dikelola secara ilegal tidak langsung diselidiki. Lucunya, masyarakat adat yang berangkat menerjang sungai dan tidur di atas rasa harap akan datangnya keadilan malah diangkut oleh aparat kepolisian dan dijadikan tersangka tindakan premanisme. Sungguh memprihatinkan. Yang membela haknya tetap saja tertindas.

Bisa kita pikirkan atas dasar apa warga memberanikan diri menghadapi kerakusan penguasa? Tentu untuk masa depan anak cucu. Mereka yang tak lagi memikirkan nyawa meskipun terancam dikarenakan tabiat penguasa. Atas segala profesi dimiliki, uanglah yang menjadi tempat pijakan penguasa. Yang berkuasa wajib dijamin keamanannya, sementara rakyat tetaplah warga biasa yang digempar habis-habisan.

Tindakan rakyat Sangaji Maba nyatanya sangatlah sederhana untuk dimaknai. Mereka hanya meminta pertanggungjawaban atas tindakan yang mengancam kenyamanan hidup warga setempat. Mereka hanya ingin dijamin hak hidup tanpa adanya kerugian alam pun manusia. Mereka hanya menekan kesejahteraan yang dijanjikan oleh penguasa. Jika kita lihat, Halmahera adalah pulau yang Tuhan anugerahi berjuta kekayaan alam. Wajar rasanya jika sebagai manusia yang dititipi kekayaan, terbersit rasa ingin memelihara. Bukan merusak atau malah digusur habis tanpa adanya perhatian khusus.

Berbicara soal perampasan ruang hidup adalah sebuah problematik yang sampai saat ini belum mampu menawarkan solusi. Harapan terbesar rakyat adalah keadilan pemerintah, sedang yang didapati adalah campakkan. Rakyat selalu saja dikecewakan, entah bagaimana respons penguasa tidak lebih dari apa yang diharapkan rakyat. Kasus demi kasus akan berlalu tanpa adanya transparansi antar rakyat dan penguasa. Begitulah tabiat negeri ini. Negeri yang tidak lagi berbicara tentang kesejahteraan rakyat, melainkan kesejahteraan penguasa. Salam solidaritas. (*)

Exit mobile version